Selasa, 24 Juli 2012

Tak perlu menunggu 2 abad untuk bisa internetan di desa kami

Menurut wikipedia tanggal 21 Oktober 1879 adalah hari lahirnya lampu pijar listrik pertama oleh tangan si jenius Thomas Alva Edison. Namun baru lebih dari dua abad kemudian -- ya 200 tahun lebih di kemudian hari, yaitu di tahun 1995 kampung kami benar-benar dialiri listrik! Atau 3 tahun sebelum kekuasaan orde baru tumbang! Apa kaitannya denga orde baru? Nanti saya jelaskan.
 

Di Indonesia sendiri baru di akhir abad ke-19 sejarah ketenagalistrikan di Indonesia dimulai. Yaitu ketika beberapa perusahaan Belanda mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk keperluan sendiri. Pengusahaan tenaga listrik tersebut berkembang menjadi untuk kepentingan umum, diawali dengan perusahaan swasta Belanda yaitu NV. NIGM yang memperluas usahanya dari hanya di bidang gas ke bidang tenaga listrik. Selama Perang Dunia II berlangsung, perusahaan-perusahaan listrik tersebut dikuasai oleh Jepang. Setelah Indonesia merdeka, tentu saja dikuasai oleh pemerintah Indonesia.


Kembali ke listrik di desa kami, Galuhtimur, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes. Sebelum ada listrik lampu penerangan kami adalah lampu teplok (lampu minyak tanah), gembreng (lampu minyak tanah yang digantung) dan petromak. Beberapa orang kaya memiliki lampu gantung berwarna perak, berukir, dan berkap putih berkilauan. Yang lebih sederhana adalah bekas kaleng susu (atau juga bisa dari botol) yang diisi minyak, kemudian minyak dialirkan melalui sumbu dari lilitan kain yang ujungya dimasukan dalam 'gulungan' seng. Lampu-lampu berbahan bakar minyak tanah ini menghasilkan asap hitam, dan kalau bangun tidur.... begitu mengusap lobang hidung maka jari-jari menghitam, karena ingus yang 'menahan' asap karbon. Saya mengalami belajar dengan lampu-lampu teplok ini dari SD sampai SMP. 

Kalau mau bepergian malam hari pakai 'cleng-ceng', dua ruas bambu yang diisi minyak tanah, kemudian diberi sumbu dari kain. Ini obor ketika kecil kami pergi mengaji 'turutan' atau Juz 'Amma ke rumah guru ngaji. 
 
Lampu petromak adalah barang mewah. Selain boros minyak tanah juga tidak setiap rumah tangga mampu membeli petromak. Merk-merk lampu petromak yang saya ingat: Butterfly dan Ting Kwan. Petromak hanya dinyalakan kalau malam Jum'at, menghormati hari Jum'at yang disebut hari baik. Petromak juga menyala di rumah-rumah yang sedang mengadakan hajatan, pengajian dibahan (pembacaan kitab barzanji atau diba'i) atau mengumpulkan orang untuk tasyakuran atau keramaian lainnya. Saya juga ingat di tahun 70-an sampai 80-an orang-orang main bulu tangkis di malam hari dengan penerangan lampu petromak.  


Sejarah masuknya listrik ke kampung kami hampir bersamaan dengan diaspalnya jalan desa yang menuju kampung kami. Dari jalan besar Tegal - Purwokerto, yaitu dari Kaligadung ke kampung kami yang berjarak kurang lebih 8 km, baru diaspal tahun 1995 (1996?). Sebelumnya untuk menuju jalan besar, jalan masih berupa jalan batu dengan sedikit pasir. Orang-orang menuju ke pasar atau kota lebih suka jalan kaki menyusuri rel kereta api, baik menuju Talok/Bumiayu maupun ke Tonjong/Linggapura. Demikian juga anak-anak sekolah SMP/SMA berjalan menapaki ribuan bantalan rel setiap hari.


Kenapa baru berlistrik dan beraspal mendekati tahun tumbangnya orde baru? Sebab pasti tidak diketahui. Konon, kenapa jalan tidak segera diaspal karena jalur ke desa kami merupakan jalur buntu (tidak nyambung ke desa lain). Namun yang membuat tanda tanya adalah, apakah karena desa kami di masa orde baru Golkar tidak pernah menang? Kalaupun menang, menangnya hanya tipis. Golkar selalu kalah dominan dari PPP. Pernah dalam kampanyenya Golkar mengiming-imingi: kalau Golkar menang, jalan diaspal. Kalau Golkar menang listrik masuk desa. Pernah dalam satu Pemilu menang, tapi nyatanya juga tidak kunjung diaspal dan listrik tidak kunjung masuk. 


Itu masa lalu. Dan tibalah pada saat Kepala Desa dijabat Moch Achir (alm) melalui program Listik Masuk Desa, listrik benar-benar bisa masuk ke desa kami. Itu pun yang berupa Inpres/Banpres hanya sampai ke Galuhtimur I. Untuk yang ke dukuh Karangasem sebagian menggunakan dana swadaya masyarakat untuk pengadaan tiang/pal-nya. Masyarakat rela membayar lebih demi segera menikmati listrik. Demikian juga untuk jalan. Sebagian merupakan inpres desa tertinggal (IDT), program TNI Manunggal, dan juga swadaya masyarakat. Ada pula yang melalui program pembangunan kecamatan (PPK). Kini hampir semua perdukuhan di desa kami terhubung oleh jalan yang dilalui kendaraan roda empat. Namun kondisi jalan antar pedukuhan kondisinya rusak. Listrik juga sudah mengaliri hampir semua perdukuhan. 

Menilik ke belakang sejarah tersebut, yaitu jarak antara penemuan pertama listrik (lampu pijar) di dunia, kemudian listrik pertama kali ada di Indonesia seabad kemudian, lalu di desa kami dua abad kemudian, maka kini rupanya terjadi akselerasi yang luar biasa atas segi-segi kehidupan yang lain. Tekonologi komunikasi dan digital, tidak perlu menunggu berabad-abad untuk baru masuk ke kampun kami. Telkom memang belum ada, tapi telepon seluler mengatasi kendala jaringan kabel. Teknologi komunikasi nirkabel juga memungkinkan internet masuk dengan modem. Produk-produk telepon genggam dan jaringan seluler memungkinkan anak-anak bisa menikmati layanan sosmed. Facebook dan Tweeter bukan lagi barang asing, dan tidak perlu menunggu 2 abad (kelak di tahun 2200-an) -- sebagaimana kami menikmati listrik -- untuk bisa ber-facebook-ria sejak Mark Zuckerberg mempopulerkannya di tahun 2006.


Akselerasi ini menuntut kesiapan untuk menangkal dampak negatif yang berpotensi ditimbulkan oleh penggunaan teknologi ini. Para pendidik, tokoh masyarakat, ulama, tokoh pemuda perlu mengenali dunia teknologi ini untuk bisa mengurai dampak positif yang harus bisa dielaborasi, dan menemukan solusi atau pemahaman apa-apa yang harus dihindari dari pemanfaatan teknologi komunikasi ini.


MP, Ramadhan hari ke 5 1433 H.