Minggu, 29 April 2012

Menikmati Pesona Danau Sentani dari Monumen MacArthur


Pesona Danau Sentani_nayla salsabila
Saya sungguh bersyukur bisa mendapat tugas kantor ke berbagai penjuru nusantara, sehingga bisa menikmati keindahan berbagai belahan bumi katulistiwa ini. Koes Plus yang menciptakan lagu berjudul Nusantara sampai beberapa seri tidaklah salah, karena pesona nusantara memang sangatlah memukau. Salah satunya adalah pesona danau Sentani, di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Selain menikmati  pesona alam, juga tak terlupakan pengalaman kuliner: menikmati masakan khas suatu daerah di tempat asalnya. Sik asik ‘kan?

Salah satu kesempatan yang tidak pernah terlupakan adalah ketika bertugas di Papua. Dari semenjak mendengar kabar saya akan bertugas untuk memberikan pelatihan dan pendampingan di sana, langsung teringat sebuah danau yang fotonya pernah dikirim oleh seorang teman di Papua (Raymond – Tks a lot).

Dari sumber bacaan di http://mepow.wordpress.com, danau Sentani merupakan danau vulkanik, berada 70 – 90 m diatas permukaan laut. Terletak juga di antara pegunungan Cyclops. Sumber airnya berasal dari 14 sungai besar dan kecil dengan satu muara sungai, Jaifuri Puay. Diwilayah barat, Doyo lama dan Boroway, kedalaman danau sangat curam. Sedangkan sebelah timur dan tengah, landai dan dangkal, Puay dan Simporo. Disini juga terdapat hutan rawa di daerah Simporo dan Yoka. Dalam beberapa catatan disebutkan, dasar perairannya berisikan substrat lumpur berpasir (humus). Pada per-airan yang dangkal, ditumbuhi tanaman pandan dan sagu. Luasnya sekitar 9.360 Ha dengan kedalaman rata rata 24,5 meter. Di sekitaran danau ini terdapat 24 kampung. Tersebar dipesisir dan pulau-pulau kecil yang ada ditengah danau.

Bagaimana menikmati keindahan danau Sentani? Saya datang ke tepian danau, dari jalan raya Jayapura - Sentani masuk ke selatan dengan jalan beraspal lebar dan halus. Malintasi jalan menuju tepian danau, kita melewati kebun (atau hutan?) sagu dan saya sempat melihat orang-orang yang sedang menebang dan memotong batang pohon sagu. Saya pun tak melupakan berfoto dengan salah satu dari mereka. Air danau membiru dengan ombak kecil menggoyang perahu kecil yang hendak menyeberang ke pulau kecil yang berpenghuni. Angin semilir menerpa wajah, sehingga sinar matahari siang itu tidak terasa menyengat kulit.

Namun sensasi terindah adalah menikmati pesona danau Sentani dari sebuah kawasan bukit bernama Ifar Gunung, dimana di situ terdapat monumen Jenderal Douglas MacArthur, seorang Jenderal tentara sekutu pada Perang Dunia II. Monumen itu berdiri di atas bukit di daerah bernama Ifar Gunung, yang belakangan lebih terkenal sebagai Bukit Makatur. Nah dari atas bukit itu, kita bisa melihat pesona danau Sentani, kota Sentani dan bandara Sentani.

Tugu monumen MacArthur

Ditemani seorang pegawai yang berasal dari Buton Sulawesi (Rusman) dan sopir dari Jayapura (keturunan Chinese Makasar, saya lupa namanya, tapi thanks untuk Merlin Nussy yang sudah merelakan sopir dan juga mobilnya untuk mengantar saya). Hanya butuh waktu sekitar 15 menit dari Sentani untuk mencapai monumen melewati  jalan yang mulus dan berkelok, namun sempit. Sebelum sampai di lokasi, kami melapor ke pos penjagaan kawasan Resimen Induk Kodam (Rindam) XVII Cendrawasih. Lokasi Bukit Makatur berada di dalam kawasan Rindam sehingga kita diharuskan melapor terlebih dahulu sebelum memasukinya. Kalau sedang ada latihan tentara, maka kita tidak diperbolehkan masuk kawasan.




Sepanjang jalan suasana terasa sejuk karena berada diantara pepohonan akasia yang rimbun. Di sebelah barat kelihatan Gunung Cyclops, yang puncaknya sering berkabut. Nah di sebelah selatan, atau kanan jalan menuju bukit sudah tampak danau Sentani dan kota Sentani serta bandaranya yang landasannya membujur sejajar dengan kota Sentani, memanjang dari barat ke timur. Jadi teringat sebelum pesawat mendarat, burung besi mengitari danau sehingga tampak pemandangan yang indah.





Di bukit Makatur ini terdapat situs Tugu MacArthur, sebuah tugu berwarna dasar hitam kuning bertahtakan pedang dan tongkat runcing atau tombak. Di tugu itu ada prasasti yang menerangkan secara singkat mengenai sejarah tempat ini. Terdapat juga bangunan kecil museum yang isinya menceritakan sepak terjang Jenderal MacArthur selama PD II. 







kota Sentani, landasan bandara, dan danau di 'belakang'nya
Dari bukit Makatur ini, yang tingginya 325 meter di atas permukaan laut (mdpl) kita dapat lepas melihat dengan jelas hamparan Danau Sentani, pulau-pulau kecil di tengahnya, perbukitan yang mengelilingi danau, dan juga pemandangan gunung Cyclops. Pesona danau dari berbagai sudut pandang sangat memukau. Danau Sentani dan beberapa pulau kecil di tengahnya terlihat begitu indah. Dari sini pula apabila ada pesawat tinggal landas atau take off, kita dapat melihatnya secara jelas. Menurut Poeloeng Catur, teman yang berdinas di Sentani, kita bisa membayangkan seperti kita sedang memainkan pesawat mainan dari kejauhan. Hmmm….






Prasasti MacArthu
Tengang biografi Jenderal Douglas MacArthur Anda bisa baca di link ini: http://id.wikipedia.org/wiki/Douglas_MacArthur ,  

Ada juga kisah kunjungan ke Ifar Gunung yang ditulis seorang Ibu dalam blog-nya. Dia yang juga berkunjung ke sana di sela-sela tugas kantor, sama seperti saya, namun sangat menarik Ibu ini menulisnya dengan melengkapi referensi tentang MacArthur, khususnya tentang sequel MacArthur sehingga membangun barak militer di Ifar Gunung Sentani, yang kemudian didirikan monument MacArthur di situ : http://edratna.wordpress.com/2007/08/14/napak-tilas-jejak-jend-mac-arthur-di-ifar-gunung-sentani/

Tidak hanya indahnya alam yang mengesankan saya dalam kunjungan ke Papua, tapi juga merasakan penghormatan yang sangat membanggakan dari rekan-rekan di sana, orang-orang di sekitar dimana saya tinggal sementara, dan keramah-tamahan yang luar biasa dari orang yang saya temui. Semua itu menjadikan saya ingin ke Papua lagi….

Jalan ke tepi danau halus... melintasi pohonan sagu

tampak kampung di pulau tengah danau

bersampan ke kampung pulau tengah danau

bersama penebang / pengolah sagu

aktifitas penebangan / pengolahan sagu

di Sentani masjid dan gereja berdampingan damai
Makan papeda
Kabut sering menyelimuti Sentani
Pusat Perbelanjaan Sentani
Jalan menuju Jayapura dari Sentani
Jalan ke bukit Makatur
tampak kampung di pulau tengah danau

prasasti MacArthur in 'bahasa'








Gunung Cyclops yang seringkali diselimuti kabut / awan

Sabtu, 28 April 2012

Melintasi Parakan: jejak tua kota lama

Seringnya saya melakukan perjalanan Purwokerto-Semarang, menjadikan Parakan sebagai kota yang makin terngiang di pikiran untuk tahu lebih jauh tentang kota ini. Melintasi kota ini selalu melihat dokar --alat transportasi tua -- yang masih berahan di kota ini. Terus melewati jalan sempit padat dengan bangunan kuno yang masih tampak jejak-jejaknya. Masjid, gudang, atau bangunan bekas toko dan rumah tinggal. Ada juga klenteng, jembatan kuno.

Ketertarikan saya mungkin karena pernah membaca di kota ini dilahirkan tokoh pejuang Mohamad Roem (penandatangan perjanjian Roem-Rojen). Kemudian pencarian lebih jauh tentang Parakan menemukan hal yang 'mencengangkan'. Bahwa para penabuh gamelan dari Parakan adalah para penabuh musik tradisional Jawa yang konon kemudian mengilhami musikus Perancis Claude Debussy menciptakan karya-karyanya. Ini saya baca di  http://warisanindonesia.com/2012/04/slamet-abdul-sjukur-hubungan-gelap-debussy-dengan-gamelan-jawa/  :
"Ceritanya, pada tahun 1889, ada l’exposition universelle sebagai peringatan 100 tahun Revolusi Prancis di penjara Bastille. Suatu festival besar-besaran diselenggarakan, termasuk didirikannya Menara Eiffel menandai peringatan sejarah tersebut. Belanda juga diundang ikut merayakan karena mereka punya koloni di Indonesia. Belanda memamerkan teh hasil perkebunan Parakan Salak, dan sebagai penggembiranya, orang orang dari perkebunan tersebut bermain gamelan bersama empat penari yang waktu itu masih berusia 14 tahunan. Menurut dokumen festival, Claude Debussy saban hari datang ke situ. Kagum." kata Tokoh Musik Kontemporer Slamet Abdul Sjukur.

Ya, Parakan, Kabupaten Temanggung memang kota yang diapit dua gunung: Sumbing dan Sindoro, yang lerengnya subur dan tempat tumbuh tanaman sayur-mayur, tembakau dan tentu saja teh.

Kota ini juga melegenda dengan Bambu Runcing, di mana banyak pejuang kemerdekaan melakukan 'penyepuhan' senjata tradisional bambu runcing agar 'bertuah' sebagai senjata melawan penjajah, dengan tokoh bambu runcing yang terkenal adalah KH Subchi (tentang ini silahkan baca: http://ahbabanas.blogspot.com/2011/04/kiai-dan-bambu-runcing.html?showComment=1335659927999#c7307086632608455409 ).

Maka saya pun, dari atas kendaraan, jeprat-jepret pada obyek yang menunjukkan jejak tua kota ini. Hasilnya jangan ditanya secara kualitas teknis gambar... :) saya hanya ingin mengabadikan di sepanjang lintasan yang dilalui, obyek-obyek  yang menunjukkan jejak-jejak lama Parakan.

dokar ngetem di depan pasar tradisional
Dokar di Parakan 'berebut' jalan dengan angkot
                                                    
jelang Parakan dari arah Wonosobo
                                                       
Masjid di Parakan yang pasti bersejarah
                
pemukiman padat tengah kota Parakan
                                                           
Bangunan tua Parakan yang tersisa
                                                           
Gudang tua - Jejak lama Parakan
Kota Perjuangan Hizbullah, namun agama / kebudayaan lain juga hidup
               
monumen di tengah kota Parakan

jembatan kuno, sayang ada mobil berpapasan ...

perbatasan Parakan - Bulu ... jembatan air atau kereta ya?

lereng gunung yang subur

gudang tembakau modern

Minggu, 15 April 2012

Menginjak ribuan bantalan rel tiap hari, demi 'menghilangkan kebodohan'

Setiap kereta akan melewati jalur (track) antara stasiun Bumiayu menuju stasiun Linggapura, Kab Brebes, Jawa Tengah,  dalam perjalanan ke Jakarta dari Purwokerto,  saya selalu  ingin berada di bordes, untuk bisa leluasa melihat kanan-kiri pemandangan di sepanjang jalur itu dari balik kaca pintu. Apakah ada yang berubah dari 32 tahun lalu, apakah hutan jati dan sono keling masih rimbun di kanan kiri jalur itu.

Ya antara tahun lalu 78-80, rel kereta api yang membelah Galuhtimur,  desa kelahiran saya, menuju ke Tonjong (tepatnya stasiun Linggapura -entah kenapa dinamai stasiun L:inggapura, padahal lokasinya di desa Tonjong)  menjadi saksi bisu ketika setiap pagi harus berjalan 'menghitung bantalan rel' menuju sekolah SMP Pemda Tonjong. Jaraknya sekitar  3 km. Kalau jarak antar bantalan 1 mtr (pasti kurang sih) maka jumlah bantalan yang saya injak dalam sehari minimal 6000 (enam  ribu) bantalan (pulang-pergi). Kalau dikalikan jumlah hari selama bersekolah di SMP, berapa kali menginjak bantalan rel? He..he...

Ketika itu bantalan rel masih terbuat dari besi baja, bila hujan licin dan kalau siang hari panas karena terkena sinar matahari. Bantalan kemudian diganti dengan bantalan kayu, dan kini sejak beberapa tahun lalu berganti menjadi bantalan terbuat dari beton.

Tak terbayangkan kalau itu dilakukan hari ini, ketika transportasi sudah lebih mudah dengan dibangunnya infra struktur jalan raya Galuhtimur - Kaligadung. Ketika saya SMP, jalan itu masih berupa jalan tanah, sebagian berupa jalan batu yang tidak tertata. Tidak ada angkutan mobil. Sesekali ada mobil masuk ke kampung kami, yaitu mobil Pak Camat yang harus pelan-pelan melewati jalan yang 'pating gricul' (tidak rata dengan batu pecah tidak rata).

Dan kalau mengukur semangat kala itu, kalau dikenang sekarang, sungguh luar biasa. Berjalan sejauh 3 km setiap hari menuju sekolah! Apalagi, tidak hanya berjalan di atas rel yang antara dua rel ada batuan kerikil penyangga rel, namun harus menyeberang jembatan kereta dengan rongga menganga di antara bantalan. Kalau terpeleset, ya jatuh ke sungai penuh batu besar (tentu saja keras, karena bukan 'apem') dengan ketinggian lebih dari 20 meter.

Kok bisa ya melakukan semua itu?!

Ada tiga jembatan yang harus dilalui untuk sampai  ke Tonjong. Pertama jembatan Kali Belang (lihat posting tentang jembatan peninggalan Belanda ini); jembatan Kali Glagah, dan jembatan Kali Kalong. Jembatan Kali Belang tidak menantang, karena ada jembatan kedua di bawahnya yang dibuat khusus untuk dilewati orang. Yang menantang dan beresiko tinggi jembatan Kali Glagah dan Kali Kalong.

Menyeberang dua jembatan itu, telapak kaki kita harus meninginjak tepat di bantalan dengan seimbang, kalau terlalu ke depan atau ke belakang, bisa terpeleset dan terjatuh ke sungai. Jembatan Kali Glagah cukup panjang, mungkin lebih dari 50 meter, kali kalong sekitar 20 meter. Yang paling menakutkan kalau malam sebelumya  turun hujan, bantalan basah dan licin. Kelicinan bertambah kalau ada olie dari mesin loko yang menetes. Kalau kondisi sangat licin, kami memilih turun lewat jalan setapak, kemudian menyeberangi sungai, melepas sepatu dan melompat dengan pijakan batu untuk menghindari kedalaman sungai. Jembatan Kali Glagah ini pernah memakan korban, seorang pelajar (kakak angkatan saya) terjatuh karena terpeleset saat menyeberang. Untuk menambah kepercayaan diri, kami kadang berjalan bergandengan tangan dengan teman. Atau kalau ada yang lebih tua, biasanya yang tua menggandeng yang lebih muda.

Resiko lainnya saat menyeberang jembatan, adalah kalau ada kereta yang lewat.... hmmm, harus punya pendengaran yang kuat. Kami harus buka telinga lebar-lebar dulu, adakah gemuruh suara kereta yang biasanya sudah terdengar walaupun masih jauh. Kalau tidak ada suara ... "oh berarti tidak segera akan ada kereta yang lewat, maka berani menyeberang". Tapi sebaliknya kalau ada suara gemuruh yang terdengar, sekalipun lamat-lamat penyeberangan harus ditunda sampai kereta lewat.

Setiap hari kami harus berjalan cepat kalau tidak ingin terlambat masuk kelas dan disetrap Pak Guru. Sampai di sekolah berpeluh keringat dan tentu saja bau tak sedap, tapi kami tak pedulikan. Teman-2 dari Tonjong dan Linggapura yang dekat dengan sekolah pun tampak maklum, kami orang desa dari pinggiran ini memang harus berkeringat.

Tidak hanya para pelajar yang harus berjalan pulang pergi sejauh 3 km demi menuntut ilmu 'ngilangna kebodohan', tapi juga para petani dan pedagang sayur-mayur, dan pemilik warung yang harus setiap hari bolak-balik Galuhtimur-Tonjong dengan berjalan kaki. Petani menjual hasil bumi (jagung, singkong, melinjo, kacang tanah, dll) ke pasar prapatan Tonjong, ada juga yang dipool oleh pedagang sayur mayur (terutama daun so/melinjo), sedangkan pemilik warung kebutuhan sehari-hari mesti kulakan setiap hari. Ada pula penjual kayu bakar yang harus memikul dua gulungan ikat kayu untuk  dijajakan di sekitar pasar Tonjong. Tapi para penjual kayu bakar ini biasanya berangkat lebih pagi (habis subuh), dan ketika pulang berpapasan dengan kami para pelajar.

Mungkin karena jarak tempuh yang jauh, jumlah anak yang melanjutan sekolah setelah lulus SD/MI bisa dihitung dengan jari. Pun generasi angkatan saya. Dari 11 teman yang lulus SD di angkatan saya, hanya 6 yang melanjutkan ke SMP, namun seingat saya yang 2 DO. Jadi hanya 4 yang sampai lulus. Dari 4 teman ini, 2 sampai jenjang SMA dan 2 tamat  PT (saya dan M Najib Ronas, lulusan Fak Teknologi Tekstil UII, kini pengusaha di Bandung). Jadi bisa dibayangkan tingkat pendidikan penduduk desa kami saat itu.

Kenapa dulu dari kampung kami ada sedikit anak-anak, termasuk saya, yang mau berpeluh keringat setiap hari pergi ke sekolah? -- Kalau pulang matahari masih belum jauh berada di atas ubun-ubun, panasnya jangan ditanya. Kalau hujan pasti kehujanan dan harus meneruskan perjalanan karena sepanjang jalur rel tidak ada 'tempat berteduh'. Tidak ada kampung atau rumah penduduk di pinggir rel antara Galhtimur - Tonjong. Saat itu kami tidak pernah bertanya, mengapa dan kenapa mau seperti itu (capai-capai berkeringat) saban hari?

Ketika ada omongan-2 yang menggoda 'Arep dadi apa sekolah duwur-duwur?' (Mau jadi apa sekolah tinggi-tinggi), kami hanya nyengir dan 'he..he...he...'. Hanya menggumam dan tidak bisa mendebat. Hanya saja saya ingat, masa-masa itu membayangkan suatu saat kelak bisa menyandang predikat 'mahasiswa'. Kata 'mahasiswa' kedengarannya sangat keren untuk ukuran saya yang tinggal di kampung saat itu. Pasalnya ada satu orang dari kampung kami yang di akhir dekade 70-an menyandang status itu (kuliahnya di Universitas Brawijaya Malang), yang kalau pulang ke kampung mengenakan jaket kebesarannya yang terlihat sangat keren. Tidak hanya itu, ia juga terlibat dalam aktifitas politik, dan berkampanye (Pemilu '77) untuk sebuah partai di jaman Orba. Kalau mau berangkat kampanye ia dijemput dengan mobil (walaupun mobil masuk ke kampung kami saat itu harus bersusah payah, karena jalan belum diaspal). Kelihatan sangat dihargai dan hebat sekali orang yang menyandang status 'mahasiswa'.

Kalau ada pertanyaan yang ditujukan kepada orang tua kami dari orang-orang yang masih berfikir 'eman-eman' mengeluarkan biaya untuk pendidikan anak, jawabnya tidak berbelit-belit, atau mencari-cari alasan yang logis (atau dilogis-logiskan).

Contohnya pertanyaan: "Angger nggo tuku kebo... biaya nyekolahna bocah wis olih pira kuwe.." (Kalau dibelikan kerbau biaya untuk menyekolahkan anak dapat berapa ekor itu?). Orang tua kami setahu saya tidak pernah mendebat atau menyampaikan alasan-2 yang logis, karena ayah saya sekolah hanya SR (itu pun tidak berijazah setahu saya, tapi tulisan latinnya mirip-2 tulisan Bung Karno) dan ibu saya bahkan buta huruf (kalau angka masih mengerti). Paling-paling hanya menjawab, "Niate ngilangna kebodohan" (Niatnya menghilangkan kebodohan).

Tidak berfikir sama sekali "supaya jadi ini... jadi itu... dll", karena membayangkan 'suatu profesi' saja kayaknya tidak bisa bagi orang tua kami. "Sing penting dadi wong sing pinter, dadi apa-apa tah apa mbesuke bae" (Yang penting jadi orang yang pintar, jadi apa nanti pekerjaannya itu urusan kelak).

Jadi tidak perlu bertele-tele menjawab 'mengapa dan kenapa'... tapi 'jalani saja dengan sungguh-sungguh dan niatnya ikhlas'. Begitu mungkin prinsip orang tua kami. Dan bagi kami para pelajar saat itu, bisakah disebut (bagian dari) telah 'full tilt' dalam meraih sesuatu?
Jembatan Kali Belang dekat kampung kami 

Di jembatan Kali Belang bisa lewat atas dg aman (atas)

                  di Jembatan Kali Belang kita bisa lewat bawah (jembatan dari kayu, ini gambar 3 tahun lalu)
ilustrasi : bantalan rel yang tiap hari harus dilalui

Menyeberang jembatan kereta seperti ini yang harus dilakoni tapi dengan type jembatan spt di bawah ini (tidak ada besi baja di kanan / kiri):


Ilustrasi: jembatan Kali Keruh yang tiang-2nya mirip jembatan Kali Glagah (foto dari blog anaksastraunida)