Kamis, 07 Juni 2012

Standarisasi masuk sekolah dan perguruan tinggi

ilustrasi - lokerseni.web.id
Bulan Juni-Juli adalah bulan yang sibuk bagi orang tua yang anaknya baru menyelesaikan pendidikan di berbagai tingkatan dan akan melanjutkan ke jenjang berikutnya. TK lanjut ke SD, SD ke SMP, SMP ke SMA dan SMA ke perguruan tinggi (PT). Selain sibuk mempersiapkan biaya, juga tak kalah 'heboh' adalah mencari sekolah / PT yang sesuai keinginan dan juga 'pas' di kantong. Bukan rahasia lagi, biaya pendidikan saat ini bisa dikatakan mahal. Mungkin untuk biaya sekolah (SPP) bisa terjangkau, namun biaya yang timbul bukan hanya SPP, tapi uang sumbangan pembangunan (atau apa pun istilahnya seperti uang gedung, dana bantuan pendidikan, dll), dan setelah masuk nanti yang tak kalah penting adalah: biaya les atau tambahan pelajaran.

Sistem penerimaan siswa/mahasiswa baru yang berbeda antar sekolah/PT tidak jarang membingungkan siswa dan orang tua. Sekolah X menerima siswa baru dengan seleksi cukup dari nilai UAN/Unas. Sekolah Y dari test seleksi masuk. Tanggal pendftaran pun berbeda-beda. Ada yang sudah menerima pendaftaran bahkan sebelum UAN/Unas digelar. Dari cara penerimaan ini saja sudah menggambarkan tidak adanya standarisasi dalam tahapan 'melanjutkan' ke sekolah ke jenjang lebih tinggi.

Apalagi untuk masuk PT ada sekian banyak cara penerimaan yang dilakukan oleh perguruan-2 tinggi, bahkan antar PTN yang notebene 'milik negara' pun berbeda-beda. Dulu ada SIPENMARU yang terbuka diikuti oleh semua lulusan SMA/kejuruan, dengan membolehkan 2 (dua) pilihan fakultas/jurusan. Soal-soal SIPENMARU sama untuk semua daerah. Perbedaan ada pada standar penerimaan faklutas/jurusan di masing-2 PTN. Di luar SIPENMARU ada jalur Penelusuran Minat dan Ketrampilan (?) (PMDK) dimana siswa SMA dengan nilai rapor bagus dari kelas 1 hingga kelas 3 mendapat 'kehormatan' masuk PTN tanpa test. Tentu saja tidak semua sekolah mendapat 'jatah' jalur PMDK ini.

Tahun depan (2013) konon seleksi masuk PTN akan menggunakan nilai ujian akhir nasional (UAN/UNAS). Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana kredibilitas dan integritas pelaksanaan UAN/Unas? Dapatkah 100 persen dipercaya sebagai hasil optimal dari proses yang jujur? Selain itu dengan materi uji hanya berjumlah sekian puluh soal, apakah mencerminkan 'kemampuan' siswa untuk melanjutkan di jenjang perguruan tinggi tsb? Bukan rahasia lagi, bahwa pembelajaran anak sekolah saat ini lebih fokus pada bagaimana belajar mengerjakan soal-soal ujian. Selama setahun (2 semester) yang namanya 'try out' UAN bisa diikuti puluhan kali oleh siswa. Apakah mereka belajar memang hanya untuk itu?

Kalau try out dilakukan sungguh-2 untuk meraih hasil optimal secara fair tidak masalah. Yang jadi soal adalah ketika terjadi praktek tidak fair demi meraih nilai tinggi. Misalnya jual/belu jawaban yang biasanya terjadi. Bagaimana seleksi menuju PTN dikatakan fair apabila tidak memperhitungkan praktek curang ini? Kasihan mereka yang lebih pintar tapi juga jujur dalam mengerjakan UAN, namun ranking 'sedikit di bawah' mereka yang melakukan kecurangan, sehingga gagal masuk PTN.

Ini kekhawatiran yang umum saya kira. 'Kegalauan' positif yang menginginkan pendidikan negeri ini baik karena tidak ada peradaban yang maju tanpa pendidikan yang baik.