Kamis, 30 Agustus 2012

Bersama Andika hiking ke Guci

Ini cerita dua puluh enam tahun lalu bersama teman remaja dan pemuda se kampung yang bergabung dalam Andika. Andika semacam organisasi remaja/pemuda, bargerak di bidang olah raga, kesenian, dan kajian/ngaji. Singkatan dari Anak Didik Karangasem, tapi saya improvisasi menjadi TamAN muda-muDI KreAtif. Saya menjadi salah satu pendiri sekaligus ketua pertama. 

Peresmian nama Andika dilakukan di rumah saya, berbarengan dengan syukuran saya diterima masuk perguruan tinggi negeri tanpa test. Kegiatan rutin adalah sepakbola dengan sering mengikuti turnamen tarkam, kesenian (ada drama, grup dang dut Andes, qasidah bagi remaja putri) dan pengajian (setiap Kamis malam ada Yasinan dengan tambahn kultum secara bergiliran). Secara insidental melakukan GAS (gerakan amal sholeh) berupa membersihkan langgar/musholla dan jalan kampung. 

Untuk kesenian beberapa kali mengadakan "Malam Pesona Andika" dengan performance dari  anggota Andika sendiri maupun dari luar yang kami undang. Ada lawak, vocal group, dang dut, drama dan tentu saja qasidahan. Pernah vocal group kami menyanyikan lagu awal tahun 70-an yang sering kami dengar dari TOA yang ditanggap orang hajatan, yaitu lagu "Wahai pemuda-pemudi Islam... Dengarkanlah kitab ruci Al-Qur'an...." orang tua sampai ada yang menangis ingat jaman ketika kampanye partai politik dulu dimana lagu itu konon sering diperdengarkan. Kami pun sampai punya Mars Andika, yang salah satu syairnya: 

Andika arena 'tuk maju.... tempat berlatih dan bergaya

Bersama Andika... kita berjaya....

Olahraga seni dan ngaji.... dst (lupa nih ...)

Nah salah satu aktifitas pada Januari 1986 adalah melakukan hiking ke Guci Tegal. Sekitar 14 orang kala itu berjalan kaki, menempuh jarak sekitar 40-an km dari Galuhtimur ke Guci. Kami berangkat pagi (setengah 7-an) dan sampai di Guci sore menjelang Ashar. Menyusuri rel kereta api Galuhtimur-Tonjong, lalu ke Linggapura, Balapusuh, Cempaka, Jegjeg, Bumijawa dan Guci... 

Saya saat itu tahun ke-2 sebagai mahasiswa. Entah karena kepercayaan yang tinggi dari teman-2 atau memang kegiatan ini menarik dan langka pada saat itu, sehingga ide hiking ditanggapi positif oleh teman-2. Sebelumnya, hiking dilakukan dari Galuhtimur ke waduk Penjalin tapi dengan jumlah peserta yang sedikit. 

Beberapa nama yang ikut (seingat saya): Subekhi, Sairin, Abdul Muntholib, Jaruki, Taruno, Abd Hanif, Abdulloh (Duloh), Yusuf (pentholan grup dangdut Andes), Taruno, Nur, Saoji, Maftukha dan Khafidin. Dua nama terakhir sudah mendahului kita (mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-2nya dan menerima amalnya.. Amien). Kami membawa tenda, tape recorder, aki dan tentu saja gitar. Tidak lupa peralatan masak, beras dan bumbu-2 bekal kami memasak di Guci. Secara bergantian kami memikul aki an tape recorder. Semangat darah muda kami tak menyurutkan langkah, meski terik matahari membakar kami dan tentu saja jalan yang menanjak dan menurun yang lekas membuat kaki pegel-pegel.

Entah berapa kali kami berhenti istirahat untuk melemaskan otot kaki. Menjelang Ashar tiba di lokasi, segera membuat tenda karena hari tampak akan hujan. Bagian masak segera mengumpulkan kayu bakar untuk perapian.

Yang menarik adalah ketika pulang melewati jalan berbeda, yaitu ke Kalibakung dan kemudian ke Banjaranyar. Di Kalibakung saat itu ada kolam renang, dan kami mampir berenang di situ. Dasar anak kampung, kami hanya memakai celana dalam (bukan celana renang atau celana pendek) mencebur ke kolam, dan kontan diperingatkan oleh petugas. Tapi karena sudah tidak ada ganti, teman-2 kami cuek saja. Gaya berenangnya pun tidak beraturan, karena memang kami bisa berenang karena sering mandi di kali dan kedung (bendungan di kali untuk mengalirkan air ke sawah). Yang penting tidak tenggelam dan bisa bergerak ke sana-sini.

Sebagai remaja yang ingin hal-hal baru dan aneh, dan juga karena keterbatasan sangu, maka begitu sampai di Banjaranyar yang merupakan jalur bus/truk Tegal-Bumiyu-Purwokerto, kami pun berusaha menyetop truk yang lewat untuk ikut menumpang alias 'nDayak' (istilah untuk tumpangan truk gratis). Dari Banjarnyar dapat truk tumpangan sampai Karangsawah.... lumayan. Dari Karangsawah jalan kaki lagi ke Tonjong kemudian Galuhtimur. Sampai rumah sudah hampir Maghrib.




Rabu, 29 Agustus 2012

Berbuat sesuatu untuk kampung halaman

عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس »

Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah Shallallahualaihiwassalam bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)

Hadits ini dishahihkan oleh al Albani didalam “ash Shahihah” nya.
Hadits di atas menjadi pendorong kita untuk melakukan 'sesuatu' yang bermanfaat untuk lingkungan, termasuk lingkungan dimana kita pernah lahir dan besar dulu.

Karenanya dengan senang hati saya memenuhi keinginan beberapa alumni Ikatan Pelajar Galuhtimur (IPAGA) untuk memberikan sharing dalam halal bi halal dan seminar sehari pelajar Galuhtimur.

Hal ini pula yang saya lakukan belasan tahun lalu, kata Mukhammad Murdiono 16 tahun lalu, di tempat yang sama di Balai Desa Galuhtimur memberikan sharing, bimbingan, motivasi ketika dulu IPAGA di era dosen UNY itu masih bergiat aktif. Kini setelah 16 tahun vacum IPAGA dicoba digerakkan lagi oleh alumni yang peduli dengan kemajuan generasi muda Galuhtimur. Mukhammad Murdiono merasakan sendiri manfaat aktifitas berorganisasi yang dirasakanya beberapa tahun kemudian. Kini dia sedang mengambil S3 dan siap menjadi profesor sebelum berusia 45 th.

Harapannya, pelajar-2 Galuhtimur kini juga aktif kembali menghidupkan kegiatan2 yang akan dirasakan manfaatnya bagi mereka sendiri.

Era yang hilang

Sungguh disayangkan memang selama 16 tahun itu kegiatan IPAGA terhenti. Tentu bukan berarti tidak ada aktifitas pelajar, karena bisa saja mereka aktif di organisasi pelajar di sekolah (OSIS, IPNU, IRM, dll). Namun yang fokus peduli pada kemajuan remaja pelajar Galuhtimur di tengah perubahan sosial yang cepat hampir tidak ada. Yang ada adalah klub-2 bola, band, genk-2 remaja yang kadang menonjolkan egoisme kelompok terlalu tinggi sehingga bentrokan alias tawuran kadang terjadi. Kalau mendengar adanya perilaku-2 yang menjauh dari nilai agama kita jadi miris, seperti peredaran miras, pergaulan bebas, dan perilaku anarkis yang terjadi.

Di tengah situasi global yang mau tidak mau berpengaruh ke pedesaan, melakukan sesuatu untuk menjaga dan meluruskan arah perjalanan hidup mutlak dilakukan. Generasi muda perlu diberitahu arah yang memungkinkan mereka berkembang, mengembangkan potensi diri, dan tidak larut dalam kecenderungan gaya hidup hedonis yang akan menghancurkan masa depan.

Seperti dikatakan salah satu peserta seminar, potensi anak-2 Galuhtimur tidak kalah dengan anak-2 kota. Terbukti di sekolah mereka mampu menduduki peringkat bagus. Tahun ini ada 2 anak lulusan SMA yang diterima di IPB. Luar biasa, ini meneruskan tradisi anak-2 Galuhtimur bisa menembus PTN besar favorit yang jumlahnya masih amat sedikit. Ke depan harus lebih banyak lagi... sekalipun hal ini bukan jaminan satu-2nya jalan untuk sukses. Banyak jalan menuju Roma!

Namun yang pasti adalah: pelajar Galuhtimur harus punya cita-cita setinggi langit, harus punya mimpi (DREAM)setinggi mungkin, yakin dan kuat tekad untuk mengejar impian itu, demi apa? Demi perbaikan kualitas hidup. Demi perubahan ke arah lebih baik.

Selasa, 28 Agustus 2012

Kokohnya jembatan Kalibelang lama

Kokohnya jembatan Kalibelang lama dapat dilihat dari foto-2 di bawah ini :
Sayang .... Grafiti mengotori dinding jembatan ....

Melihat brug Kalibelang terkini

Brug (jembatan) kereta api Kelibelang, yang terletak antara track Purwokerto - Prupuk, yaitu di antara stasiun Bumiayu dan Linggapura, tepatnya di desa Galuhtimur, Tonjong, Brebes, kini sudah bertambah menjadi dua jembatan dengan selesainya pembangunan jembatan baru proyek double track. Menarik mengamati dan membandingkan jembatan lama yang dibangun (konon) sejak 1914 dengan jembatan baru yang selesai di tahun 2012 ini. Dalam bahasa kelakar sering dikatakan: akan awet mana jembatan bikinan penjajah Belanda dengan jembatan baru bikinan asli Indonesia? (mudah-2an sih tidak bernasib seperti jembatan gantung di Kukar yang sudah 'roboh' sebelum waktunya). Kalau jembatan lama terdiri dari 22 tiang, dengan bentuk seperti tangga yang mengerucut ke atas dengan tumpuan pondasi yang kokoh. Jembatan baru terdiri dari jumlah tiang dengan jarak lebih renggang dan tentu saja lebih sedikit. Bentuknya menyerupai tangga, tetapi lurus dan tidak menyempit di atas sebagaimana jembatan lama. Tiang pancang (paku bumi) menancap dalam menghujam bumi sebagai pondasi penyangga jembatan baru ini. Saya tidak tahu soal teknis bangunan, tapi itulah yang sempat saya lihat. Foto-2 lama Internet membuat jarak / rentang waktu terasa menjadi pendek. Dari browsing internet, saya mendapatkan foto-2 lama brug Kalibelang saat pembangunan dan saat kereta melintas. Di foto dengan kereta api tengah melintas, tampak ada seorang petugas berpakaian seragam berdiri di 'lurung' jembatan. Kalau untuk ukuran kereta jaman sekarang, berdiri di situ pasti sudah 'keserempet'. Rupanya kereta jaman dulu tidak selebar kereta api jaman sekarang. Foto saat pembangunan menunjukkan steger2 kayu dan bambu yang menjulang... membayangkan di awal abad 20 material-2 didatangkan ke lokasi menggunakan apa? jalan raya saat itu belumlah seperti sekarang. Besi-2 yang sudah dirakit tampak ada di situ. Lalu terbayang kerja keras para pekerja saat itu.... Sebuah karya yang luar biasa.