Senin, 24 September 2012

Uji Nyali di Londa - Tana Toraja

Tana Toraja dengan kekhasan adat budayanya yang khas, unik, dan merupakan entitas yang bertahan masih sangat terasa, paling tidak dari apa yang bisa dilihat dari bangunan rumah (tongkonan), makam, pasar kerbau, dan ukiran kayu. Tentang suku Toraja dimuat di http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

Di antara adat yang paling menarik minat wisatawan adalah upacara pemakaman. Sayang pada saat saya berkunjung ke sana tidak sedang ada upacara tersebut, hanya saja saya melihat bambu-bambu yang ditata seperti panggung memanjang di dekat tongkonan (rumah adat Toraja) yang kata teman saya itu bekas tempat duduk para tamu yang menghadiri upacara pemakaman.

Hotel-hotel dibangun dengan bentuk bangunan mirip tongkonan. Di Rantepao saya menginap 2 malam di sebuah hotel dengan 'wall paper' anyaman bambu yang asri. Tanpa menyalakan AC kita tidak akan kepanasan karena Rantepao termasuk kota yang berada di dataran tinggi.

Sebagai muslim saya tidak sulit menemukan rumah makan yang halal dan bisa makan dengan penuh keyakinan bahwa yang saya makan diperbolehkan dalam agama saya. Rumah makan atau warung mudah dibedakan karena dengan terus terang tanpa ada tendensi SARA memajang papan 'warung muslim'. Kalau menu yang disediakan babi juga jelas dipajang, misalnya 'bakso babi'. Warung makan 'halal' umumnya diusahakan oleh orang dari suku Bugis dan Jawa.

Batu Tumonga

Dari Rantepao menempuh perjalanan sekitar 45 menit, melewati jalan yang hanya pas untuk berpapasan, bahkan di beberapa tempat harus mengalah berhenti untuk memberikan keleluasaan lewat terlebih dulu. Kondisi jalan di beberapa lokasi rusak berlobang. Melewati perkampungan, kebun kopi, dan areal persawahan di lembah-lembah dengan pola teras siring yang apik.

Di sana-sini terlihat 'makam' di batu besar yang 'dibobok', juga Patane (kuburan dari kayu yang berbentuk rumah Toraja). Kita juga menjumpai rumah tongkonan yang tiang di depannya disusun tanduk kerbau sembelihan saat upacara pemakaman anggota keluarganya. Dari referensi yang saya baca dan cerita teman-teman, makin banyak tanduk kerbau menunjukkan makin tinggi status sosial keluarga tsb. Di kawasan ini anda dapat menemukan sekitar 56 batu menhir dalam satu lingkaran dengan 4 pohon di bagian tengah. Kebanyakan batu menhir memiliki ketinggian sekitar 2 – 3 meter. Dari tempat ini anda dapat melihat keindahan Rantepao dan lembah sekitarnya. Terletak di daerah Sesean dengan ketinggian 1300 Meter dari permukaan laut. Di Batu Tumonga saya berjumpa beberapa turis asing.

Selanjutnya saya Kete' Kesu, dimana di situ terdapat deretan rumah adat Tongkonan tua, yang merupakan obyek yang mempesona di desa ini. Di sini juga terdapat lumbung padi dan bangunan megalith.

Yang menakjubkan adalah kompleks makam yang terletak sekitar 100 meter di belakang perkampungan ini. Sebuah situs pekuburan tebing dengan kuburan bergantung dan tau-tau (patung)dalam bangunan batu yang diberi pagar. Konon tau-tau ini memperlihatkan penampilan pemiliknya sehari-hari. Perkampungan ini terkenal dengan seni ukir-nya dan sekaligus sebagai tempat yang nyaman untuk belanja suvenir. Terletak sekitar 4 km dari tenggara Rantepao.

Londa

Tibalah saya di Londa, salah satu objek wisata yang paling popular di Tana Toraja. Obyek wisata ini sangat menantang, karena goa Londa menyimpan banyak mayat dari berbagai usia dan status sosial dalam masyarakat Tana Toraja. Memasuki Londa jadi teringat acara televisi Uji Nyali.

Londa terletak di desa Sandan Uai, berjarak kurang lebih 6 km dari arah selatan Rantepao. Londa berwujud sebuah tempat pekuburan dari bebatuan kapur dimana terdapat banyak deretan tau-tau (patung) di sepanjang dinding bukit, tulang dan tengkorak serta erong di dalam dinding goa. Untuk masuk ke dalam goa dibutuhkan nyali yang cukup besar karena suasananya yang menegangkan. Di sepanjang dasar dinding goa terdapat tulang dan tengkorak kepala manusia yang berserakan. Karena di dalam goa belum ada penerangan, masuk ke dalam harus membawa peralatan seperti senter dan lampu minyak tanah. Nah, saya menyewanya dari penduduk yang mangkal di mulut goa sekaligus sebagai pemandu 'berkeliling' goa yang dipenuhi mayat dan sebagian sudah menjadi tulang belulang. Jenazah yang masih baru tersimpan dalam peti, diaruh di sela-sela dinding di dalam goa.

Menurut adat Tana Toraja, setiap jenazah di Goa Londa yang dimakamkan melalui upacara adat tertinggi akan dibuatkan replikanya dalam bentuk patung yang dinamakan tau-tau lengkap dengan pakaian adat Toraja sedangkan mayatnya disemayamkan dalam peti mati khas yang disebut erong. Seringkali juga pada tau-tau disertakan benda kesayangan dari sang mendiang, seperti makanan, rokok dan sebagainya. Posisi erong pun dibedakan menurut status sosialnya. Semakin tinggi letak erong pada dinding gua semakin tinggi pula status sosialnya di masyarakat Tana Toraja.

Gambar-2 Toraja di sekitar Rantepao

Sabtu, 22 September 2012

Melihat pesona kota Jayapura dari menara TVRI

Menyaksikan kota Jayapura dari menara (tower) pemancar TVRI Jayapura sungguh mengasyikan. Lanskap kota dan bukit di belakang kota dan pelabuhan serta laut membiru di hadapannya sungguh memukau. Karena letaknya yang tinggi, rupanya kompleks menara TVRI ini menjadi obyek kunjungan wisata Jayapura. Banyak anak muda duduk-duduk santai menikmati keindahan panorama Jayapura.

Saya sebelumnya membayangkan kota Jayapura menghadap langsung ke Samudera Pasific. Namun sungguh luar biasa kota ini dibangun 'membelakangi' lautan lepas samudera terluas di dunia itu. Berada di teluk Jayapura, di belakang kota adalah bukit yang 'membentengi' kota dari hempasan ombak samudera secara langsung.

Menurut sahibul wikipedia, kota ini didirikan oleh Kapten Infanteri F.J.P Sachses dari kerajaan Belanda pada 7 Maret 1910. Dari tahun 1910 ke 1962, kota ini dikenal sebagai Hollandia dan merupakan ibukota distrik dengan nama yang sama di timur laut Papua Barat. Kota ini sempat disebut Kota Baru dan Sukarnopura sebelum memangku nama yang sekarang pada tahun 1968. Arti literal dari Jayapura, sebagaimana kota Jaipur di Rajasthan, adalah 'Kota Kemenangan' (bahasa Sanskerta: jaya yang berarti "kemenangan"; pura: "kota").

Dari bawah menara TVRI yang tingginya hampir sejajar dengan bukit di belakang kota, kita dapat menyaksikan keindahan kota, panorama laut, pulau kecil di depan kota yang tampaknya berpenghuni dengan mercu suar yang melambangkan tanda salib. Menengok ke tenggara kita bisa melihat pegunungan di perbatasan Papua Nuginea (PNG) yang membiru.

Gambar-2 Jayapura dari sisi barat ke timur (bukit di ujung timur menjorok ke selatan yang menjadikan kota ini berada di cekungan - teluk).

Sabtu, 15 September 2012

Soal nasi rames ... yang 'recomended' di Purwokerto


Semakin bertambah usia, kalau ketemu teman lama salah satu topik yang dibicarakan setelah topik anak, tempat tinggal, dan pekerjaan adalah soal makanan. Di mana tempat makan yang sedang favorit di sini? atau biasanya suka makan menu apa? Nah kali ini saya ingin bercerita soal kuliner di Purwokerto, tapi bukan kuliner kaliber restoran atau rumah makan yang semakin bertambah jumlahnya, bahkan franchaise luar negeri pun sudh masuk ke sini. 

Ini soal makanan rakyat: nasi rames. Nasi rames biasa juga disebut makanan dengan cara masak seperti biasa dimasak di rumah (masakan rumahan). Tidak neko-neko dan sederhana. Di Jakarta kalau kita sebut nasi rames maka akan menunjuk pada menu masakan yang disajikan Warteg (warung tegal), walau sebenarnya nasi rames konon sebenarnya memiliki ciri tertentu dalam ragam lauk yang disajikan: oseng (saya biasanya meyebut sambel goreng) kentang, tempe kering, oseng kacang-kacangan plus lauknya: telor bulet, daging / ayam, dan srundeng. Saya menemukan menu seperti itu di rumah makan Tirto Sari Purwokerto. Jenis penyajian yang sama saya temukan di Mojokerto, di depot-depot makan. 

 

Nah Purwokerto memiliki beberapa warung makan yang masih bertahan dengan menu 'masakan rumahan'. Untuk menyebut beberapa warung makan yang agak sering saya kunjungi dan recomended di Purwokerto --ini menurut saya lho ya :), ada rumah makan Intan Sari, Tirto Sari, warung Bu Dibyo, warung/cafe Brazil, Hopan. Di Sokaraja ada yang sudah puluhan tahun bertahan dan masih ramai hingga saat ini yaitu warung nasi "WARU DOYONG". Ciri warung makan ramai biasanya gampang dikenali dari banyaknya kalender dinding yang dipajang. Pemilik brand di kalender pasti sudah tahu kalau tempat tsb banyak dikunjungi orang dan menjadi tempat yang efektif untuk promosi. 

Pelayan dan juru masak WARU DOYONG sudah 'sepuh' alias nenek-nenek. Namun semangatnya luar biasa. Ketika warung makan lain banyak bermunculan, lalu tenggelam, warung WARU DOYONG mampu tetap exist. Pelanggannya dari berbagai kalangan.

Selain tempat makan nasi rames yang disebut di atas, tentu masih banyak warung nasi rames lainnya terutama di daerah dekat kampus Unsoed Grendeng dan Karangwangkal. Kalau mau agak keluar kota ada yang terkenal dan menjadi 'buruan' orang-orang dari Purwokerto yang 'nguja' makan di sana. Tapi dikenal bukan sebagai warung nasi rames, meskipun menyediakan menu masakan rumahan juga, tapi lebih dikenal sebagai warung 'ikan kali lembutan' sebagai ciri khas menu yang diandalkan. Ada Warung Lik Tuti di Banyumas (Patikraja ke timur sebelum pertigaan sebelah utara jembatan Kali Serayu) dan warung makan Gudril di Sidabowa.

Anda tentu saja punya warung nasi favorit juga 'kan? 

Sajian Menu WARU DOYONG - Sokaraja
Pelanggan WARU DOYONG berbagai kelas masyarakat