Sabtu, 17 Agustus 2013

Main bola, PORGA dan Lapangan Garuda

PORGA Legend 2013
Lebaran 1434 H tahun ini (2013) akhirnya kesampaian juga main bola di lapangan lebar, di lapangan Garuda Galuhtimur, walaupun hanya sekitar 30 menit. Bersama pemain-pemain bola yang konon disebut sebagai 'legend' di Galuhtimur dengan nama PORGA old star, saya bernostalgia mengenang masa remaja tahun 80-an. Porga adalah nama persatuan sepak bola era 70-an sampai 80-an yang menyatukan potensi dan bakat pemain bola se kelurahan Galuhtimur dan mewakili desa dalam ajang turnamen tahunan menyambut HUT RI (17-an) di Lapangan Widodo Tonjong. Saya bermain di era 80-an akhir.. Kalau sedang tidak bermain untuk PORGA yang mewakili desa, saya bermain di klub ANDIKA -- yang saya dirikan tahun 1984 dan sebagai ketua pertama. Klub Andika (ANDIKA FC) sampai saat ini masih exist.

Sejak tahun 90-an akhir PORGA meredup seiring tumbuhnya klub-klub perdukuhan (tingkat RW bahkan RT) dan tidak adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk penyatuan. Nah yang bermain kemarin di hari ke 3 Syawal 1434 H itu adalah pemain antar generasi berbeda. Saya, Romedhon, Sugito, Kardi, Slamet Priyanto, Muslihudin, Khariri, Muslih dan Maryadi satu generasi dan sering bermain bersama. Namun Gabel (Rudy), Sobri, Siwo, Pajil, Sekhu, Agung, Majid, dll yang saya tidak bisa sebut namanya di sini (karena beda generasi) adalah pemain-pemain sepak bola setelah generasi saya (awal 90-an). Pernah main bareng tapi tidak sangat sering.

Bermain bola adalah olah raga paling murah dan paling menyenangkan. Sebelum memiliki lapangan desa (Lapangan Garuda) semasa anak-anak harus berjalan kaki sejauh 1 km lebih untuk menuju lapangan (tepatnya tanah tegalan/sawah yang tidak digarap) di "Beber" dan "Gendung" (dua tempat yang merujuk pada daerah kawasan pertanian di utara desa). Yang terkenal adalah Beber Tohari (milik Bapak Tohari berupa lahan sawah yang tidak digarap), dan Gendung Be'an (kalau ini tanah tegalan yang disewa oleh desa dan digunakan untuk main bola). Selain di tanah tegalan itu, main bola juga dilakukan di halaman sekolah, pekarangan, tanah es-es (SS) di sebelah rel kereta api, dan tanah lapang lain yang memungkinkan.

Lapangan Garuda dibangun di era lurah Sumarna menjelang akhir beliau menjabat, yang membebaskan tanah pekarangan yang ditumbuhi pohon bambu (termasuk tanah pekarangan milik mbah saya -- alm Saleh), yang ditukar guling dengan tanah desa di sebelah barat Karangasem (tanah desa ini setahu saya milik Pak Waid, dimana Pak Waid mendapat kompensasi dari desa berupa tegalan di tangsi? -- saya tidak tahu persisnya). Mungkin sekitar tahun 1986-an lapangan Garuda dibangun. Saya ingat waktu itu sholat idul fitri pernah diadakan di lapangan Garuda (saya sudah kuliah tahun ke-2). Sayang hanya sekali itu sholat ied diadakan di lapangan Garuda dengan tokoh yang mengusulkan saat itu seingat saya adalah Pak Tholib (seorang guru SD asli Karangasem Galuhtimur, kini menetap di Kesambi Prupuk).

Di masa kecil bermain bola di lapangan lebar adalah suatu kemewahan. Bisa merumput di lapangan Dukuh Satir, Lapangan OB (Widodo) Tonjong dan lapangan Asri Bumiayu terasa sangat 'wah'. Maklum sebelum punya lapangan Garuda, biasa main di lapangan yang tidak rata, dengan kontur tanah naik turun dan miring seperti parabol (tinggi di tengah kemudian di sisi kanan dan kiri menurun). Kini generasi muda lebih nyaman memiliki lapangan Garuda, yang walaupun tidak sempurna namun masih lebih baik daripada ketika saya masih anak-anak, yang harur berjalan kaki 1 km lebih untuk menuju lapangan -- yang sebetulnya tidak layak disebut sebagai lapangan bola.