Rabu, 30 Januari 2013

Duh... PKS! Duh... KPK!

Tengah malam tergangun.... buka smartphone. Di status contact BB seorang teman tertulis: Duh PKS. Ada apalagi ini, tanyaku di batin. Terus setel TV jelang el classico Madrid vs Barca, breaking news dan headline news berita TV dini hari tadi semua soal penangkapan Luthfi Hasan Ishaq (LHI), presiden PKS, oleh KPK. Oh ... rupanya teman tadi mengkomentari tertangkapnya LH terkait suap daging impor.... Berita soal Raffi dan Wanda pun tidak seheboh kemarin.

PKS telah menjadi fenomena sejak pendiriannya. Bahkan buku khusus membahas PKS (Dilema PKS -- Burhanudin Muhtadi) menjadi best seller. Slogan partai dakwah, bersih dan peduli menjadi jargon partai ini. Dan, karenanya penangkapan LHI pun menjadi sangat ironis, bagaimana mungkin partai yang memproklamirkan diri sebagai dakwah, ketua / presiden-nya melanggar prinsip amanah? Memang seperti kata petinggi partai ini, Nur Hidayat Wahid dan Anis Matta, bahwa kasus yang menimpa LHI murni urusan pribadi dan tidak terkait dengan partai. Namun, pertanyaan sederhana adalah: kalau LHI bukan presiden PKS atau bukan anggota dewan, kira-kira importir daging akan menyuap dia 'gak ya?

Memang nanti keputusan pengadilan yang akan mem-vonis dia bersalah atau tidak. Tapi mengatakan ini urusan pribadi semata, apa iya sih? Pasalnya, tentu pihak penyuap punya kepentingan tertentu, berharap power yang dimiliki oleh LHI dalam jabatannya dapat memperlancar kepentingan-kepentingannya.

Dengan penangkapan LHI maka hampir di semua parpol politisinya tersandung kasus korupsi. Tak terkecuali partai yang berbasis konstituen kalangan yang ingin mengedepankan nilai-nilai agama lebih diakomodir dalam kehidupan sosial politik. Kasus yang menimpa LHI semakin memperparah dugaan bahwa para politisi dari kalangan agama hanya menjadikan agama sebagai kedok, sebagai bahan jualan kampanye, namun ujung-ujungnya bertujuan memperkaya diri sendiri, Agama hanya menjadi tunggangan. Secara demikian, nilai-nilai moralitas yang didengungkan berasal dari nilai agama, semakin menemukan tantangan dari kalangan yang berfikir sekularistik, atau kalangan yang menganggap bahwa keberagamaan itu pure urusan pribadi, jangan dibawa-bawa ke ranah politik.

PKS pun dengan kasus ini akan semakin menuai kritik dan harus mencari alasan-alasan yang tetap dapat melegitimasi citranya sebagai partai dakwah. Sebagai partai yang jelas-jelas menjadikan Islam sebagai asas, apakah nantinya para kader yang akan dimintai sebagai saksi-saksi akan bersikap jujur dan adil atas perkara ini. Bagi KPK sendiri, setelah berani menjadikan seorang presiden partai menjadi tersangka, beranikah menjadikan tersangka ketua partai lain yang sudah lama disebut-sebut dalam kasus korupsi yang nilainya lebih besar? Kalau tidak bisa mengungkap tuntas kasus Hambalang alias hanya menangkap aktor-aktor yang di permukaan saja, mungkin kita harus bilang : Duh, KPK!

Minggu, 27 Januari 2013

Antara kualitas kandidat dan kualitas pemilih

Penangkapan sejumlah artis karena penyalahgunaan narkoba, satu di antaranya Wanda Hamidah anggota DPRD DKI Jakarta dan satu lainnya Raffi Ahmad sedang digadang-gadang untuk menjadi calon legislatif, mengungkap kembali sisi buruk kehidupan artis. Tanggapan pun beragam, salah satunya yang mengiringi adalah terkait rekrutmen politisi dari kalangan artis oleh partai politik. "Inikah politisi Indonesia, yang tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, asalkan populer bisa duduk di kursi wakil rakyat?" --begitulah salah satu comment yang saya cuplik dari jejaring sosial.

Rekrutmen politik menjadi bahasan yang selalu menarik. Dan tiap parpol punya caranya sendiri menarik tokoh sebagai vote getter. Parpol dengan basis keagamaan, akan menarik tokoh dari kalangan ulama / kyai / pendeta / tokoh agama dengan harapan pengikutnya akan memilih parpol tsb, Ini sangat wajar. Tokoh pengusaha direkrut dengan harapan sumber dana dan jaringan akan membantu membesarkan partai. Kesimpulannya, politisi lahir bukan dari rahim parpol sebagai hasil proses penempaan kaderisasi melalui berbagai pelatihan dan perjuangan di internal partai, namun menjadi tokoh dulu di luar partai, baru dicomot untuk kemudian diminta membesarkan parpol.

Partai tertentu disebut-sebut memiliki sistem kaderisasi yang bagus. Namun toh tidak menutup peluang bagi kader non partai menjadi calon legislatif. Ini harus dilakukan karena ekstensifikasi konstituen perlu dilakukan agar patai makin memperoleh banyak suara. Di tngkat lokal, maka hubungan-hubungan kekerabatan, kedaerahan, sangat kental mewarnai alasan orang memilih si A atau si B. Visi dan Misi seorang kandidat menjadi pertimbangan nomor sekian. Di tingkat regional dan nasional lebih pada menekankan 'siapa' yang menganjurkan memilih dia. Patronase masih tinggi. Demokrasi rasional masih di angan-angan.

Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya masyarakat pemilih. Mengapa? Karena terbatasnya referensi yang bisa diperoleh oleh pemilih tentang kandidat yang ada. Hanya mendengar nama sudah bagus, kadang nama orang yang harus dipilih baru diketahui jelang pemilihan. Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh parpol untuk mengajukan kandidat yang sudah dikenal, populer, dan tidak asing bagi masyarakat, mengajukan artis sebagai kandidat. Soal bagaimana kompetensinya di bidang politik, ah... itu nanti bisa dipelajari.

Tidak semua kandidat dari kalangan artis seburuk yang kita stigmakan. Pasti ada yang baik juga. Dan sebagai warga negara, sah-sah saja mereka terjun di politik. Hanya saja kalau terus menerus seperti ini rekrutmen politik, maka demokrasi rasional tidak akan pernah ada di negeri ini alias utopia belaka.

Sabtu, 19 Januari 2013

Banjir Jakarta, pemindahan ibu kota dan belajar dari Putrajaya

Harian lokal Purwokerto pagi ini (Sabtu, 19/01/13) menurunkan headline "Purwokerto nominasi Ibu Kota". Selain memang pernah disebut-sebut sebagai salah satu nominasi, tentu ini strategi koran untuk lebih laku, ketika koran ini dijajakan di perempatan-perempatan traffick light. Soal pemindahan ibukota dari Jakarta ke kota lain mencuat lagi, setelah Jakarta dilanda banjir, tak terkecuali Istana Presiden. Ada yang pro dan yang kontra. Jusuf Kalla (JK) salah satu tokoh yang menolak dengan alasan pragmatis terkait anggaran: "pemindahan kantor gampang, tapi bagaimana dengan pemindahan personilnya, taruhlah ada 200 ribu personil karyawan pusat, berapa perumahan yang harus disediakan untuk mereka". Logis juga sih...
JK menekankan, wacana pemindahan ibukota seharusnya tidak menjadi prioritas dalam menyelesaikan persoalan banjir di Jakarta. Melainkan prioritas dalam perbaikan-perbaikan infrastruktur untuk mencegah terjadinya banjir. "Nggak ada gunanya pindah tapi Jakarta tetap kumuh. Yang kita hindari kekumuhannya, kemacetannya, banjirnya diselesaikan, bukan ibukotanya diselesaikan. Jangan balik pikiran," demikian kata JK dikutip JPPN.
Soal pemindahan ibukota sudah menjadi pemikiran Bung Karno sejak 1957. Dikutip dari VISI INDONESIA 2033, pada 1957 Bung Karno pernah punya gagasan untuk memindahkan ibukota ke Palangkaraya. Sebagai tahap persiapan, ia bahkan telah meletakkan batu pertamanya di Kampung Dayak, di jantung Kalimantan pada 17 Juli 1957. Palangkaraya yang berarti tempat suci, mulia, dan agung didesain sebagai ibu kota Indonesia Raya.

Namun usaha Soekarno kandas. Selain karena faktor pengadaan bahan dan medan yang sangat sulit, saat itu juga sedang dipersiapkan penyelenggaraan Asian Games (1962) dan ajang olahraga tandingan Olimpiade Games of the New Emerging Forces (Ganefo).

Palangkaraya memiliki luas mencapai 2.678,51 km2, sedangka Jakarta hanya 661,52 km2. Ini berarti Palangkaraya sangat punya potensi untuk dikembangkan sebagai ibu kota baru, arsitekturnya, jalan-jalan lebar, infrastruktur, taman-taman hijau, dan bebas gempa sebagaimana daerah di Kalimantan lainnya.

Sementara itu Jakarta kini merupakan salah satu kota paling sibuk di dunia, berpenduduk kira-kira 12 juta pada siang hari dan sembilan juta pada malam hari. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Jakarta dianggap kota terjorok ketiga di dunia setelah Meksiko dan Thailand. Di samping itu, Jakarta juga telah menjadi gudang kemacetan, polusi udara, pusat kriminalitas, ditambah banjir setiap tahunnya. 

Sebenarnya bisa saja tidak memindahkan ibukota, tetapi memindahkan sebagian kantor lembaga pemerintahan (administratif) keluar Jakarta. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Malaysia dengan memindahkan kantor Perdana Menteri (eksekutif) ke Putrajaya, kurang lebi setengah jam perjalanan dari Kualalumpur, sementara Kepala Pemerintahan (Raja) dan parlemen tetap di Kualalumpur. Kebetulan saya pernah ke Putrajaya,  menyaksikan tata kota yang menawan yang tentunya sudah memperhitungkan segala aspek amdal. Ada danau besar buatan, kanal-kanal lebar, bangunan-bangunan yang berada di atas perbukitan. Tata kota Putrajaya direncanakan dengan sangat baik dan memperhatikan keseimbangan lingkungan, di antaranya dengan membangun jalan dan trotoar yang lebar, serta ruang terbuka hijau yang luas. Selain itu, semua bangunan, taman, danau maupun fasilitas publik yang ada di Putrajaya didesain dengan cantik dan menarik. Tak heran kalau Putrajaya menjadi objek wisata baru Malaysia yang sukses menarik kunjungan wisatawan dari berbagai penjuru dunia.

Pernah di jaman Soeharto terdengar wacana memindahkan kantor-kantor pemerintahan ke Jonggol, namun isu ini mereda seiring jatuhnya Soeharto. Dengan pemindahan tidak terlampau jauh dari pusat, mungkin apa yang dikhawatirkan JK tentang 'bagaimana' memindahkan personil tidak akan terjadi. Tapi Jonggol mungkin akan terkendala aspek lingkungan mengingat letaknya di 'atas' Jakarta yang berarti akan terajadi pengurangan resapan air, dan dampaknya pasti akan dirasakan Jakarta lagi.

Bergeser ke arah timur yang 'sejajar' dengan Jakarta seperti Karawang kemudian Purwakarta dan Subang, mungkin perlu dipelajari oleh para ahli. Dengan demikian konsentrasi populasi, kendaraan, dan dampak ikutannya akan sedikit banyak terurai dan beban Jakarta tidak semakin berat. Jadi bukan pemindahan ibu kota, tapi pemindahan pusat administratif pemerintahan yang tidak telalu jauh dari ibu kota, mungkin bisa menjadi solusi. Tetangga kita sudah melakukannya, rasanya untuk hal baik tidak perlu malu untuk meniru. Mungkin ada pendapat bahwa problem Jakarta lebih kompleks daripada Kualalumpur, dan tidak sesederhana membuat 'Putrajaya' sebagai solusi Jakarta. Tapi kalau setiap tahun problemnya sama dan segala upaya penanganan tak kunjung ada perbaikan, sampai kapan isu banjir dan macet Jakarta akan selalu menjadi komoditas politik semata?

(sekedar celoteh keprihatinan melihat 'nasib' ibukota kita yang tak kunjung membaik, dan dalam beberapa kali Pilgub problem Jakarta yang semestinya 'diselesaikan' malah lebih menjadi komoditas politik dalam rangka memperoleh simpati publik)
ilustrasi: southeastasiadreams.com

Rabu, 16 Januari 2013

Daming, "Jika memvonis pemerkosa, bayangkan ibunyalah korbannya!"


Muhammad Daming Sanusi (MDS), calon hakim agung, ramai-ramai dicela gara-gara pernyataan bernada canda yang kontroversial: pemerkosa tidak pantas dihukum mati, karena pemerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati. Hmm.... MDS pun mendadak sontak menjadi hakim paling terkenal hari-hari ini sekaligus penegak hukum yang paling banyak menerima cercaan. Dia tidak pantas menjadi hakim, apalagi hakim agung!

MDS tidak peka, tidak mampu menyelami perspektif korban. Nuraninya tidak tertembus perasaan iba dan empati pada korban. Inikah memang karakter hakim, hukum dan palu pengadilan kita yang tidak pernah menghukum berat pemerkosa?

Dan sejak dulu, pemerkosa tidak pernah dihukum berat. Membaca koran dan situs berita, isinya mirip hanya beda judulnya saja. Isinya mirip tentang vonis pada pemerkosa: Ringan! Kalimat-kalimat ini saya temukan --secara tidak sengaja-- dalam puisi karya (alm) Ragil Suwarna Pragolapati (RSP) yang ditulis di tahun 1988... yang termuat di Salam Penyair terbitan Bentang Budaya. Isi sajak ini relevan dengan 'kasus' Daming.

Membaca Koran Tempel

Hari-hari memberikan kabar monoton. Isi mirip beda judul
Advertensi pun menerkam semua kolom besar, over membius
"Gadis diperkosa!" teriak seorang bocah, jemu dan kesal
Kau pun menekur. Mahkota perawan dikoyak di kolom sudut
Bramacorah sexualita jadi siluman di desa-desa dan kota
Hakim, KUHP dan palu Pengadilan menaburkan opini kecewa
Hukum suka melecehkan kesucian perawan pada vonis ringan
"Hakim ini dilahirkan dari rahim Wanita!" gerutumu marah
"Jika memvonis pemerkosa, bayangkan ibunyalah korbannya!"
Esok, esok, dan esoknya lagi, kabar serupa muncul kembali
Di halaman dua, ada vonis hakim. Ringan! Dicemooh publik
Di halaman muka, ada "seminar Keadilan Hukum" jadi proyek

Jageran, 1988

Puisi RSP yang ditulis 24 tahun lalu telah 'meramalkan' kasus vonis ringan pada pemerkosa akan datang dan datang lagi. Dan kini, bukan hanya vonis ringan yang sering diketokkan 'palu pengadilan' oleh hakim, tetapi hakimnya sendiri melecehkan korban pemerkosaan sebagai 'ikut menikmati'. Astaghfirullah...

Menyitir sajak RSP, maka perlu disampaikan kepada si biang kontroversi: "bayangkan ibumu yang diperkosa wahai Daming!"


Selasa, 08 Januari 2013

Jumlah Parpol 10, masih kebanyakan?

Tergelitik untuk berceloteh tentang politik, karena tingkah aneh politisi terkait hasil verifikasi KPU sehingga banyak parpol harus gugur sebelum bertanding dalam Pemilu 2014. Kalau sudah terbukti tidak mampu membentuk kepengurusan sesuai Undang-Undang, mestinya legowo, tidak perlu mencari-cari alasan bahwa Pemilu itu bentuk keragaman maka harus mengakomodir partai-partai kecil dsb.... Mau sampai kapan proses seperti ini harus dijalankan? Hemat saya KPU harus tegas dan tidak ada toleransi lagi. Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan kalau setiap kali mau Pemilu mesti ada verifikasi ulang. Usai Pemilu 2014 parpol yang layak ikut Pemilu sudah seharusnya didasarkan pada raihan suara pada Pemilu sebelumnya dengan threshold sekian persen sesuai yang diputuskan.

Sejarah bangsa ini memang mencerminkan kita ini senang dengan keriuhan politik. Peserta Pemilu di Indonesia dari tahun ke tahun penyelenggaraan menunjukkan dinamika politik kita. Di Pemilu pertama 1955 jumlah partai politik ada 172 parpol. Pemilu 1971 ada 10 parpol, dan setelah itu di Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 jumlah parpol disederhanakan oleh rezim Orde Baru (era Soeharto) menjadi 3 parpol: PPP, Golkar dan PDI (dengan urutan selama 5 kali Pemilu tetap seperti itu). Di masa orde baru ada seloroh "sebenarnya tidak usah Pemilu, karena pemenangnya sudah bisa dipastikan yaitu Golkar". Ya karena cengkeraman kekuasaan Soeharto sangat kuat sehingga tidak ada celah untuk PPP dan PDI memenangkan Pemilu. Sering dikritik bahwa parpol di masa orde baru hanya kosmetik, pemanis saja agar tetap bisa disebut Indonesia menganut demokrasi, dengan ciri ada pemilihan umum. Kekuasaan sesungguhnya terpusat pada satu figur: Soeharto.

Nah di era reformasi, ibarat kuda lepas dari kandangnya, muncul euforia politik luar biasa. Maka pada Pemilu 1999 ada 48 parpol, di Pemilu 2004 menyusut menjadi 24 parpol, dan di Pemilu 2009 membengkak lagi menjadi 38 parpol. Nah di Pemilu 2014 nanti KPU pada rapat pleno Selasa 8 Januari 2013, menetapkan 10 partai politik yang berhak ikut sebagai kontestan pada pemilu 2014. Ini tertuang dalam keputusan KPU No.5/Kpts/KPU/2013 tentang penetapan partai politik peserta pemilu tahun 2014.

Hanya Nasdem partai baru non-parlemen saat ini yang akan ikut bersaing merebut hati rakyat. Keberhasilan Nasdem tidak lepas dari dukungan dana besar dari para penyokongnya di Jakarta yang terdiri dari para pengusaha. Iming-iming dana kampanye milyaran yang ditawarkan ke daerah, rupanya menarik politisi di daerah untuk bergabung ke Nasdem. 

Keriuhan politik sering menimbulkan ketidakstabilan politik yang berujung pada lambannya perekonomian. Sibuk dengan urusan kekuasaan, pemerintah lupa pada tugasnya membangun dan mensejahterakan rakyat. Contoh nyata saja betapa infra struktur di tahun-tahun belakangan ini sangat jelek. Jalan raya misalnya. Sebagai pembayar pajak rasanya 'enek' kalau melewati jalan raya penuh dengan lobang-lobang. Ini salah satu penyebab kecelakaan yang tinggi di Indonesia (75 sampa 90 orang meninggal setiap hari karena kecelakaan lalu lintas, salah satu penyebabnya jeleknya infra struktur jalan).

Pemerintah abai pada perbaikan yang komprehensif pada soal ini. Belum bentuk pelayanan lain yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Makanya ada satu hal positif yang bisa diambil dari era Soeharto: stabilitas sebagai syarat keberlangsungan pembangunan. (Jargon saat itu: Trilogi Pembangunan (1) Stabilitas politik (2) Pertumbuhan dan (3) Pemerataan. Tidak akan ada pembangunan yang akan menumbuhkan ekonomi kalau tidak ada stabilitas, tidak akan ada pemerataan kalau tidak ada pertumbuhan ekonomi).

Kalau di era orde baru stabilitas dibentuk atas dasar represi, maka di era reformasi ini stabilitas dibangun di atas kedewasaan politik berdemokrasi. Termasuk kedewasaan adalah penerimaan pada kenyataan bahwa parpol tidak lulus verifikasi sehingga harus gugur sebelum bertanding. DPR perlu menegaskan batas ambang (threshold) yang semakin meningkat sehingga parpol semakin menyusut, sederhana, dan tidak terlalu menimbulkan keriuhan politik. Pada saatnya mungkin ada 5 parpol saja, karena 10 menurut saya masih kebanyakan.

Bagaimana dengan keragaman yang ada? Keragaman yang dimaksud tidak lebih dari keragaman kepentingan. Para elit yang ingin berpolitik tinggal memilih masuk di 5 parpol yang ada, yang paling dekat secara idealisme dengan pandangan politiknya.  Sikap yang harus dibuang jauh dari para elit ini adalah: kalau tidak terpilih menjadi pimpinan di satu partai, lalu membuat partai baru. Ini yang menjadikan jumlah partai di Indonesia selalu banyak (saat tidak ada represi). Tantangannya adalah bagaimana menyederhanakan jumlah parpol secara alamiah melalui proses demokrasi. Ini berpulang pada tingkah laku (behaviour) para politisi sendiri dan seberapa komitmen bangsa ini pada sebuah tujuan: kesejahteraan kehidupan bangsa sesuai cita-cita proklamasi.


Minggu, 06 Januari 2013

Kali Kalong Tonjong dan jalan yang harus digeser lagi

Pagi-pagi membaca berita yang di-post seroang temen di grup BBM. Tebing di depan SMA Muhammadiyah Tonjong, Kabupaten Brebes, longsor. Kendaraan pun harus antri menunggu giliran satu per satu melewati bahu jalan yang sudah sejengkal saja jaraknya dengan tebing yang menganga.... Ingat Sungai Kalong, selanjutnya disebut saja Kali Kalong, jadi ingat dulu waktu sekolah di SMP Pemda Tonjong (yang kini sudah bubar/tutup), karena saban hari harus menyeberangi jembatan kereta Kali Kalong atau kalau tidak melewati jembatan kereta ya harus benar-benar menyeberangi kali Kalong di selatan Kampung Baru.

Kalau melewati perkampungan Tonjong berarti harus menyeberangi jembatan kereta api Kali Kalong, karena saya dari dusun memang berjalan kaki menelusuri jalan kereta sepananjang 3 km-an. Nah kalau menerobos melalui pematang sawah setelah jembatan Kali Glagah belok kanan, dan sebelum Linggapura belok kiri menuruni tebing, kemudian menyeberangi Kali Kalong, lalu naik tebing lagi dan begitu naik sampai di depan SMP Pemda Tonjong.

Kali Kalong bukan kali besar, kalau kemarau bahkan aliran sungai sangat kecil. Namun di musim hujan luapan air Kali Kalong menghanyutkan. Ia bermata air di lereng Gunung Slamet di daerah Kecamatan Sirampog, membelah dan melewati desa Linggapura dan bermuara di Kali Glagah, untuk kemudian bertemu dengan Keli Pedes dan bermuara di Kali Pemali. Dulu di tahun 70-an Kali Kalong juga yang menyebabkan jalan di Linggapura setelah pasar harus dipindah ke jalan yang saat ini ada, bergeser kurang lebih 30-an meter ke utara. Nah longsor yang terjadi saat ini adalah tepat di pertemuan antara jalan lama (yang kini menjadi jalan/gang kampung Baru Tonjong berbatasan dengan Linggapura) dan jalan baru yang dibangun di awal era 70-an itu.

Jalan aspal bekas jalan lama dulu sering dipakai penduduk untuk menjemur gabah, kini sudah menyempit dipadati rumah penduduk yang makin banyak. Dengan longsornya tebing ini maka alternatif jalan raya (kalau mau membangun lagi yang menjauh dari Kali Kalong) adalah menggeser ke utara lagi dan harus terletak di utara perumahan warga Desa Tonjong melewati sawah-sawah dan bertemu di surupan (Under Pass) Karangjati Tonjong, terus ke Ciregol. Sangat besar biayanya tentu saja karena harus membebaskan tanah milik penduduk.

Kalau harus dibenteng, tebing di depan SMA Muhammadiyah memiliki ketinggian kurang lebih 30 meter. Dan sepanjang tahun akan selalu terancam longsor. Sabagaimana Ciregol yang sekalipun sudah dipapras bukit yang dulunya hutan jati, dengan tingginya tebing Kali Glagah di sebelah selatan dan derasnya Kali Pedes di utara, maka kondisi tanah selalu labih dan amblas selalu mengancam.

Nah di kecamatan Tonjong ini berarti ada 2 titik rawan longsor yang mengancam jalan nasional, yaitu di Ciregol dan di Tonjong depan (seberang) SMA Muhammadiyah ini. Bagaimana solusinya? Ahli-ahli di pemerintahan tentu harus mempelajarinya. Namun pernahkah terpikir membangun jalan nasional Purwokerto ke Tegal ini dengan jalur misalnya dari Kaligadung belok kiri ke Kelurahan Kalijurang, kemudian ke Kelurahan Galuhtimur dan terus ke utara (via Makamdawa) ke Kembeng kemudian membangun jembatan Kali Glagah sebelum Gardu (Kelurahan Kutamendala)? Ini akan menghindari 2 titik longsor itu. Jalur yang ada adalah peningkatan dari jalan Kabupaten menjadi jalan nasional. Namun tentu membutuhkan pelebaran di sana-sini dan 'pelurusan' di jalur dengan tikungan-tikungan yang tajam.

Foto: bumiayu.net

Selasa, 01 Januari 2013

Nyasar ke Mertoyudan

Posting rute yang paling cepat perjalanan dari satu kota ke kota lain dengan jalur jalan bagus, nyaman dan tentu saja cepat, ternyata banyak di-search di google. Sekalipun google maps menyediakan alternatif-2 dengan gambar dan jarak km dan waktu tempuh, namun kondisi jalan apakah banyak lobang, tanjakan/turunan, tajamnya tikungan tidak terinformasi di situ. Saya ingin share di sini perjalanan dari Muntilan - Borobudur - Purworejo dan selanjutnya bisa ke Kebumen, Cilacap, Purwokerto, Bandung, dll tanpa harus memutar balik ke Jogja. Bagi yang mau ke Wonosobo dan Banjarnegara bisa melalui jalur ini via Kretek. Setelah Salaman belok kanan di Tempuran... cuma jalannya banyak tikungan tajam sebelum Kretek.

Masih menyambung tulisan kemarin, dari pos pemantau aktititas Babadan saya melanjutkan pulang ke Purwokerto. Kalau balik lagi ke Jogja terus ke Wates - Purworejo, saya berarti memutar ke kiri mengikuti putaran jarum jam dan secara jarak akan lebih jauh, belum kemacetan di Jogja. Saya ingat jalan Borobudur - Salaman, yang logisnya lebih cepat. Dari Salaman terus ke Purworejo melalui jalur 'Menoreh' utara. Kalau mengikuti jalur besar, maka dari Blabag belok kanan arah Magaleng, kemudian di Mertoyudan belok kiri ke arah Purworejo (artinya ke utara dulu baru ke barat daya, tentu akan lebih lama juga).

Nah lewat Borobudur - Salaman pasti lebih cepat. Kalau Anda dari Ketep (Sawangan, atau mungkin dari Boyolali) di Blabag belok kiri dulu sekitar 3 km (kalau dari Muntilan berarti belok kiri di pertigaan dengan papan besar menuju wisata Borobudur).Di jalan nasional Muntilan - Magelang ikuti penunjuk arah ke Borobudur yang jalannya lebih kecil. Kalau 'nuruti' jalan besar maka kita akan nyasar ke Mertoyudan Magelang alias ketemu lagi jalan nasional Muntilan Blabag Magelang.... Dari Borobudur ke barat melalui jalan Mungkid - Salaman kita akan ketemu jalan Magelang - Purworejo. Setelah pertigaan dengan ciri 'tugu' berbentuk candi di kiri jalan ada rumah makan yang ramai, tempat mobil travel biasa berhenti. Parkir luas dan menu makanan nasi rames dengan lauk berbagai pilihan... rumah makan ini masih memasak dengan kayu bakar.

Maunya ke Ketep Pass, malah ke Pos Babadan

Tiap liburan pasti harus ada wisata alam yang dikunjungi... jangan hanya 'putar-putar' kota. Libur panjang bertepatan hari Natal kemarin berkesempatan ke Jogja. Sekalipun sudah sangat sering ke Jogja, tapi tetap saja Jogja ngengeni.

Perjalanan Purwokerto-Jogja lebih lamban dari biasanya, maklum musim liburan. Long week end banyak dimanfaatkan orang untuk wisata. Dan Jogja menjadi salah satu destinasi favorit orang-orang dari Jateng barat (Purwokerto, Cilacap, Purbalingga, dll). Ini terbukti, saat makan siang di sebuah rumah makan di Kebumen ketemu teman bersama keluarganya yang juga akan ke Jogja. Di hotel kami menginap hampir separuh kendaraan ber-plat R yang parkir di situ. Dan di alun-alun selatan Jogja, ketemu lagi teman dari Purbalingga ... Dunia sepertinya sempit.

Hari terakhir sekaligus perjalanan pulang, niat hati menuju Ketep Pass, yang konon dari Ketep bisa melihat panorama 5 gunung : Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing dan Slamet. Dari Jogja ke arah Magelang, nah sebelum Magelang tepatnya di daerah Blabag ada pertigaan ke kanan (di situ ada papan / plang : ke KETEP PASS). Ketep Pass berada di jalur Mungkad - Boyolali.

Bedug sejak 1948
Sebenarnya sejak berangkat agak ragu-ragu karena cuaca mendung alias langit berawan. Tidak mungkin panorama 5 gunung bisa terlihat. Tapi dengan berharap cuaca akan cerah sesampai di lokasi, kami tetap melanjutkan perjalanan. Sampai di Sawangan, kami berhenti di sebuah masjid untuk sholat Dhuhur. Masjid An-Nur namanya, masjid cukup tua yang dibangun pada th 1936. Bedug-nya dibuat 1948. Masyarakat di situ tampak 'sadar sejarah' terlihat dari penulisan angka-angka tahun penting dimana masjid itu direhab. Juga di gantungan bedug tertulis angka 1948. Tiang-tiang kayu masih asli.

Di masjid Sawangan saya ngobrol dengan seorang pemuda setempat. Nah di sinilah rencana berubah. Pemuda tadi menyarankan tidak usah ke Ketep Pass karena cuaca buruk dan pemandangan bagus tidak akan terlihat. Dia menyarankan ke Babadan, Kecamatan Dukun, pos pemantau aktifitas Gunung Merapi, yang jaraknya hanya 4,4 km dari puncak Merapi. Tahun lalu mantan presiden Megawati dan adiknya (Guruh) menurut pemuda tadi berkunjung pula ke Babadan, "Jalannya bagus mas, karena sering ada kunjungan pejabat ke sana", kata pemuda yang saya lupa menanyakan namanya. (Rupanya infra struktur itu dibangun pertama-tama untuk kepentingan pejabat ya... he3).

Memang dari Sawangan ke Babadan hanya menemui jalan jelek saat menyeberang kali dan di jalur kira-kira 3 km sebelum pos Babadan ada banyak lobang di sepanjang 50-an meter. Namun saat pulang, ada beberapa warga sedang menutup lobang-lobang itu dengan pasir. Kesadaran yang patut ditiru.

Pemuda tadi baik hati sekali mau memandu kami. Dia naik motor di depan mobil kami. Perjalanan ke Babadan dari Sawangan harus menyeberangi sungai Pabelan, karena jembatan yang menghubungkan Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Dukun ambruk tergerus banjir lahar Merapi. Sudah dibangun jembatan darurat dari bambu, namun hanya sepeda motor yang diperbolehkan lewat jembatan darurat tersebut. Jadi mobil benar-benar menyeberangi kali.

Sampai di Babadan hanya ada satu mobil wisatawan dan beberapa sepeda motor. Sunyi dari aktifitas manusia, yang terdengar ci ci cuit kicauan burung. Di atas semak, tampak seekor elang terbang rendah mengincar mangsa. Udaranya segar. Menengok ke selatan, tampak bekas pohon yang meranggas kena wedus gembel Merapi.

Puncak Merapi sendiri hari itu tertutup kabut, jadi kurang beruntung hari itu kami sekeluarga tidak bisa melihat keindahan puncak Merapi dari pos Babadan. Tapi lumayan, di situ bisa melihat foto-foto aktifitas Merapi. Kalau melihat foto-2 yang di-upload beberapa orang di internet, memang sangat indah. Ya wis lah.... kapan-kapan lagi ke situ,