Kamis, 28 Maret 2013

Tridianto: Saya mewakili majelis rendah, SBY mewakili majelis tinggi

Judul di atas saya ambil dari berita di WARTA PANTURA (26/03) yang memberitakan deklarasi Tridianto, mantan ketua DPC Partai Demokrat Cilacap,  sebagai calon ketua umum Partai Demokrat di KLB Bali 30-31 Maret 2013. Tergelitik untuk mengulas karena Tridianto cukup fenomenal, menggelitik, bahkan tidak jarang membikin tawa geli dalam pembicaraan jagat perpolitikan Indonesia.

Dalam obrolan di pantry, kumpul dengan teman-teman, dan chat di BB nama Tridianto selalu menjadi bahan obrolan menarik. Seorang teman selalu sms kalau Tridianto sedang tampil di televisi "Tuh Tridianto temanmu lagi diwawancara di TV".... Temanmu? ketemu dan kenal dimana? Seorang teman di Jakarta juga BBM "Kancamu kae Tridianto gemblung ya.... nekad banget deklarasi maju ketua Demokrat"... Wakkkkk. "Gemblung" di sini dalam dialek Banyumasan atau Tegalan bukanlah kata yang secara harfiah diartikan sebagai 'Gila' dalam pengertian 'tidak waras' tapi lebih sebagai ungkapan bernada guyonan yang menganggap luar biasa atau di luar batas kewajaran. Entah dari sudut mana di luar batas kewajarannya, mungkin karena yang 'dilawan' Tridianto adalah seorang SBY, yang dari sisi manapun bukan lawan tanding yang sepadan bagi seorang Tridianto. Kalau bicara soal hak, tentulah itu hak asasi Tridianto.

Bahwa Tridianto bukan lawan yang sepadan, secara tidak sadar diakui sendiri oleh Tridianto. Dalam berita di situs yang sama, Tridianto berkomentar yang menurut saya nggegeti (juga lugu) karena tidak biasa ditemukan dalam peristilahan politik kita. "Saya mewakili majelis rendah dan aspirasi bawah, dan Pak SBY majelis tinggi,” katanya.

Tentu Majelis Tinggi dikenal dalam struktur Partai Demokrat, tapi majelis rendah tidak dikenal dalam struktur partai. Majelis rendah ada dalam lembaga politik di beberapa negara. Jadi tidak connect sebenarnya ungkapan 'mewakili majelis rendah' vs 'mewakili majelis tinggi' dalam konteks pertarungan merebut Ketua Umum Demokrat. Kalau aspirasi bawah... okelah biasa kita dengar. Dan maksud Tridianto pastilah dia menganggap dirinya mewakili arus bawah, sedangkan SBY mewakili elite partai.

Kenapa Tridianto berani tampil, apakah ada yang men-setting untuk menjalani lakon yang sedang dijalani tsb? Seorang temannya sesama mantan pengusaha jamu berujar, Tridianto memang type pemberani dan bermental luar biasa. Soal sepak terjangnya yang menjadi 'menasional' sejak penetapan Anas Urbaningrum (AU) menjadi tersangka oleh KPK dan menjadi pembela setia AU, dipandangnya ibarat segmen 'goro-goro' dalam sebuah pentas pewayangan. Goro-goro ini merupakan babak dalam pagelaran wayang yang biasanya ditandai dengan kemunculan para punakawan (Gareng, Petruk, cs). Isinya merupakan petuah/pitutur/wejangan yang diselingi kisah humor segar oleh para punakawan.

Jadi gak ramai kalau tidak ada Tridianto, karena dialah yang dengan 'kepolosannya' mau melawan SBY, yang bisa menjadi 'humor segar' dalam kancah perpolitikan negeri ini. Cuma, dimana kita mendapatkan wejangan/pituah/pitutur dari aksi Tridianto ini ya? Apakah dari pembelajaran (hikmah) dibalik semua gonjang-ganjing partai itu, dimana sejatinya pengkaderan yang sebenarnya tidak berjalan di partai dan partai cenderung menjadi monarkis dengan kemunculan nama-nama dari dalam lingkaran SBY? 

Artinya kita masih jauh dari demokrasi ideal dimana meritokrasi menjadi bagian penting dari proses demokrasi. (Meritokrasi menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan. Kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin),

Nah, Tridianto yang mewakili 'majelis rendah' yang justeru berani tampil, sementara tokoh-tokoh lain yang lebih punya kapasitas justeru malu-malu (walaupun mau sebenarnya) dan tidak mau terus terang maju sebagai Ketua Umum, apalagi setelah berkembang wacana pemunculan SBY dan Any Yudhoyono sebagai calon ketua umum.

Tridianto -- sampai kapan akan tampil di panggung 'goro-goro' Demokrat? Selamat menikmati perannya Mas Tri!

Sabtu, 23 Maret 2013

Balai paras Satria, tempat potong rambut murah di Purwokerto

Balai Paras "Satria Group" di Jalan Adhyaksa Purwokerto menjadi tempat potong rambut (cukur) yang paling ramai saat ini. Murah, tidak antri, hasil OK. Maka tua muda, orang tua dan remaja, karyawan/PNS, pelajar suka potong rambut di situ. Hanya 7 ribu perak untuk potong rambut. Plus parkir seribu rupiah (motor) atau dua ribu (mobil).

Tukang potong rambut berseragam batik, kadang pakai baju warna biru muda dengan celana biru tua. Kita datang akan disambut oleh 'navigator' yang akan mengarahkan kita masuk ke bilik yang mana. Jarang orang yang datang ke situ (bahkan saya tidak pernah melihat) minta dipotong rambut dengan tukang cukur si A atau si B. Begitu kita datang, kalau ada tukang cukur yang sedang tidak mengerjakan tugasnya, langsung diarahkan oleh navigator menuju ke kursi tukang potong tsb.

Kalau semua tukang sedang bekerja, kita dipersilahkan menunggu, duduk-duduk di kursi tunggu. Nah ke bilik yang sebelah mana dan dengan tukang potong rambut siapa, kita tidak akan tahu sampai dipanggil untuk masuk bilik yang diarahkan sang navigator.

Saya sendiri sudah beberapa tahun potong rambut selalu di situ, dan model potongan serta hasil kerja mereka hampir sama. Apalagi saya potong rambut dengan gaya konvensional alias tidak neko-neko sehingga semua tukang potong rambut di balai paras Satria bisa melakukannya.

Buka jam sembilan pagi sampai jam 9 malam, balai paras SATRIA menjadi langganan banyak orang, khusus pria --tua, muda dan anak-anak. Dalam satu lajur bangunan, teriiri dari 4 ruang/bilik, dan dalam satu bilik ada 3 s/d 4 tukang potong rambut. Jadi memang dibuat dengan tujuan cepat alias tidak antri. 

Bingung potong rambut dimana? kalau pengin cepat, datang saja ke BALAI PARAS SATRIA GORUP!
(ilustrasi: mestiliat.blogspot.com)
 

Minggu, 03 Maret 2013

Terima Kasih Pak Mardjoko!

Salah satu bupati yang disebut-sebut terbaik di Indonesia tumbang dalam pertarungan memperebutkan kembali singgasananya. Yang menumbangkan bukan siapa-siapa, tapi justru wakilnya sendiri yang kurang lebih 5 tahun terakhir mempimpin Banyumas. Ya, Mardjoko di luar dugaan kalah telak dari Husein dengan perolehan suara di atas 40 %, sementara Mardjoko sendiri mendapatkan suara di bawah 30 %. Dengan legowo, Mardjoko menerima kekalahan itu.

Tulisan ini tidak akan berspekulasi dalam analisa: mengapa Mardjoko bisa kalah, biarlah itu menjadi bahan studi para pengamat politik lokal dan lembaga-lembaga survei. Sebagai penghuni kota Purwokerto saya ingin mengungkapkan apa yang bisa dilihat sebagai 'perubahan' khususnya aspek fisik 'wajah' kota Purwokerto.

1. Bangunan Mangkrak banyak berkurang

Sebelum Mardjoko menjabat bupati, gedung eks Istana Olah Raga (ISOLA) dan toko MATAHARI adalah pemandangan yang tidak enak dipandang di Jalan Sudirman, depan ruko eks KODIM. Perseteruan antara dua pengusaha besar di Purwokerto menyangkut perijinan bangunan (IMB) bisa diselesaikan ketika Mardjoko menjabat dan berdirilah Rita Mall di atas eks bangunan toko MATAHARI dan (dulunya) gedung badminton ISOLA.

2. Alun-alun Purwokerto lebih bersih

Inilah babak paling seru dari perubahan yang dilakukan Mardjoko menyangkut renovasi alun-alun Purwokerto. Banyak protes dari berbagai kalangan ketika Mardjoko meminta pembongkaran pohon beringin yang berada di tengah dan 'menyatukan' alun-alun yang semula terbelah dua. Lambat laun protes melemah dan Mardjoko keukeuh dengan pendiriannya. Kini rumput alun-alun menjadi bagus, permukaan tanah rata, tidak lagi 'jlegang-jlegong' sehingga anak-anak dengan aman dan nyaman bermain dan berlarian di alun-alun di sore hari hingga petang, terutama di akhir pekan. Pedagang kaki lima yang dulu mangkal di sekeliling trotoar alun-alun kini tidak ada lagi, sehingga kebersihan bisa lebih terjaga. Ditambah videotron di ujung tenggara, alun-alun Purwokerto tampak lebih indah. Di sore dan petang hari, kalau cuaca bagus tidak hujan, menjadi tempat kumpul dan bermain warga. (foto alun-alun: banyumasnews.com).


3. Jalan-jalan protokol lebih diperlebar

Jalan dokter Angka kini tidak lagi semrawut dan lalu lintas di sepanjang jalan itu lebih lancar. Penataan Jalan Dokter Angka awalnya menuai protes keras karena penebangan pohon-pohon yang rindang di sepanjang jalan tersebut. Namun Mardjoko tidak bergeming. Jalan yang semula sempit karena ada jalur sepeda/becak di kanan dan kiri itu, kini menjadi jalan yang paling lebar di kota Purwokerto. Tidak hanya itu, jalan Dr Angka dari perempatan barat Hotel Horizon (d/h Dynasty) hingga pertigaan Jl. A Yani pun diperlebar. Demikian pula Jalan HR Bunyamin dan Jl. Jend Sudirman timur lebih lebar dengan penataan trotoar yang mempercantik wajah kota Purwokerto. (foto Jl Dr Angka : kasamago.wordpress.com)

4. Veerboden banyak berkurang

Dulu Purwokerto dikenal memiliki banyak 'jebakan' jalan veerboden. Orang luar kota sering bingung untuk menuju suatu point tujuan dan sering kena tilang karena melanggar veerboden ini. Banyaknya veerboden membingungkan pengendara. Alih-alih membuat lalu lintas lancar, veerboden membuat ketidaknyamanan. Di bawah Mardjoko jalan satu arah dikurangi dan menyisakan beberapa ruas jalan saja.

5. Berdirinya taman kota Andhang Pangrenan

Ini 'peninggalan' Mardjoko yang fenomenal. Bekas terminal bus lama disulap menjadi taman kota Andhang Pangrenan Purwa Kerta setelah melalui perdebatan panjang rencana penggunaan lahan eks terminal bus di jalan Gerilya itu. Andhang Pangrenan kin menjadi salah satu tempat santai, nongkrong, dan rekreasi keluarga. Ada arena joging, gowes, aula, panggung untuk acara-acara besar, dan kuliner khas Banyumasan. (foto Andhang Pangrenan: dok pribadi)



6. Hotel baru

Mardjoko juga menjadi bupati yang memuluskan pendirian hotel-hotel baru. Sebagian sudah selesai (HOTEL ASTON), lainnya sedang dalam pembangunan: Hotel Santika, Hotel dan Supermall Rita, Hotel Widodo. Berdirinya hotel baru berkelas menjadikan suasana kompetisi tumbuh, sehingga hotel Dynasty pun berubah nama dengan menggandeng HORISON sebagai pengelola dan mejadi nama hotel yang dulu menjadi hotel 'satu-satunya' di Purwokerto.(foto Aston: dok pribadi)


7. Penataan pedagang kaki lima

Dulu jalan Pereng hanya ramai saat bulan Ramadhan. Banyak pedagang tiban menjual lauk-pauk dan tajil. Kini menjadi tempat pedagang mangkal yang dulunya tersebar di Jalan Ragasemangsang dan alun-alun. Jalan Ragasemangsang yang berada di sebelah timur kantor BNI dan barat PLN dulu sangat krodit, sudah sempit, masih ada pedagang makanan kaki lima dengan tenda-tenda. Saat pengantar anak ke sekolah Al-Irsyad dan Susteran, jalan Ragasemangsang sering macet. Kini lebih lancar.

Tidak boleh dilupakan juga adalah pemindahan pasar burung dari jalan DI Panjaitan (selatan Pasae Wage) ke daerah Situmpur --jalan terobosan dari Moro ke Jl. S Parman. Sangkar-sangkar burung yang dulu bergelantungan di trotoar peretokoan Jl. DI Panjaitan dan tumpukan keranjang-2 burung, kini tidak ada lagi dan mendapat tempat khusus di pasar burung tersebut.

Yang belum mendapat solusi yang disepakati semua pihak adalah pemindahan PKL di Jalan Sudirman Timur di sekitar Pasar Wage, yang menggunakan trotoar di depan pertokoan sehingga toko-toko di situ 'tidak tampak'.

Banyak ide-ide dan action Mardjoko yang brilian dan tidak akan dilupakan warga Banyumas. Janjinya membangun pabrik bio etanol tidak terwujud dengan berbagai kendala, namun pabrik semen sudah mulai dikerjakan di daerah Ajibarang arah Gumelar (Darmakradenan). Tempat wisata yang dikelola swasta juga banyak berdiri seperti water park Dream Land Ajibarang, wisata alam Baseh, dan revitalisasi obyek wisata milik pemerintah daerah sendiri yaitu Baturaden.(foto Dream Land: banyumasnews.com)

Terakhir tapi terkait erat dengan identitas Banyumas adalah kesukaan Mardjoko berpidato dengan selingan basa Banyumasan yang selalu diselipkan tanpa canggung. Beberapa kali saya mengikuti acara dimana beliau berpidato, selalu muncul kata-kata Banyumasan yang disampaikan dengan percaya diri tanpa bermaksud melucu (maklum di level nasional basa Banyumasan cenderung menjadi materi lawakan). Identitas Banyumas juga ditampilkan Mardjoko dan pasangannya dengan memakai blangkon dan surjan sebagai foto resmi dalam kartu suara Pilbup yang lalu.

Tentu saja masih banyak hal yang belum disebut atas keberhasilan Mardjoko. Tapi itulah yang bisa sekilas gampang terlihat dengan mata kepala.

Apa pun kekurangan yang ada pada Pak Mardjoko, jejak langkah kebijakannya telah meninggalkan kesan bagi warga Purwokerto khususnya dan Banyumas pada umumnya, walau tentu ada juga yang kecewa. Wajar dan normal belaka. Terima kasih Pak Mardjoko, matur kesuwun wis balik maring Banyumas ora ketang mung limang taun, ning wis nggawa akeh perubahan. Sugeng tindak Jakarta malih, selamat momong putu...

MP - Maret 2013