Kamis, 24 Juli 2014

Kenapa sering menulis rute alternatif?

Saya senang kalau orang membaca tulisan saya tentang rute jalan yang harus ditempuh menuju kota atau tempat wisata. Karena dengan demikian saya telah membantu mereka yang sedang bingung. Semua tulisan tentang rute perjalanan ini pernah saya alami dan tempuh. Pekerjaan saya menjadikan saya harus berkeliling ke berbagai daerah, terutama Jawa Tengah bagian tengah dan barat.

Paling banyak di wilayah eks karesidenan Banyumas atau dikenal sebagai daerah ngapak (Bralingmascakeb : Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen), eks karesidenan Pekalongan (Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Batang) dan sebagian Kedu (WOnosobo, Temaggung, Purworejo). Oh ya Kebumen masuk Kedu, namun secara budaya sebenarnya lebih dan sangat mBanyumas.

Hampir selama dua dekade ini sering berpergian di daerah-daerah itu. Seringnya pakai kendaraan sendiri, dan sangat jarang dengan kendaraan umum kalau sudah harus blusukan ke daerah-daerah. Kalau tujuannya kota yang ada angkutan umum nyaman, travel, bus patas AC maupun kereta api, saya baru memilih moda angkutan umum itu.

Jadi saya relatif paham rute jalan kabupaten, apalagi jalan nasional. Paham pula tempat makan yang enak dan kalau bisa enak dan murah. Sego pecel yang enak di Banjarnegara dimana? Saya tahu sekalipun tempatnya ndlesep. Atau tempat makan dengan lauk pauk rumahan di Kutoarjo, sop daging sapi di Kebumen, garang asem Pekalongan, dan dimana harus membeli kudapan atau cemilan yang khas. Insya Allah tahu.

Mungkin suatu saat saya akan posting, kalau Anda perjalanan dari Purwokerto ke Semarang, tempat makan mana saja di perjalanan yang saya rekomendasikan. Atau dari Purwokerto ke Jogja. Dan rute jalur lainnya.

Alternatif rute ke Tegal dari Purwokerto, menghindari macet di Bumiayu - Klonengan Prupuk

Jalan Moga-Guci (foto Wignyo Hery Susanto)
Menjelang arus mudik lebaran 2014 ini, kondisi lalu lintas sudah dibuat macet parah oleh amblesnya jembatan Comal. Pengalihan jalur ke selatan melalui Tegal-Bumiayu-Purwokerto, atau Pemalang-Randudongkal-Purbalingga membuat jalur tengah yang menghubungkan pantura dan selatan Jawa ini beberapa kali lumpuh, seperti pada Sabtu (19/07) lalu. seorang kawan menempuh perjalanan Bumiayu - Brebes pada Sabtu itu dalam waktu 7 jam... pasti bete.

Tidak ada jalan atau jembatan ambles pun, jalur Bumiayu-Kolengan Prupuk saat arus mudik dipastikan macet. Seorang kawan yang akan berlebaran di Tegal bertanya, apakah ada rute lain ke Tegal dari Purwokerto menghindari macet di situ? Pada Sabtu atau Minggu besok (H-2 dan H-1) dipastikan pemudik dari Jakarta akan memadati jalur atau rute Brebes - Klonengan Prupuk - Bumiayu - Ajibarang. Kalau ke Tegal pada hari itu pasti akan berhadapan dengan ribuan kendaraan pembawa kaum migran itu.

Lalu baiknya lewat mana? Ada alternatif yang bisa ditempuh, yaitu melalui Purwokerto-Purbalingga-Bobotsari-Karangreja-Belik-Randudongkal-Moga, kemudian dari Moga bisa mengambil alternatif Moga-Guci-Bojong-Lebaksiu atau Moga-Jatinegara-Slawi. Pengalaman saya melewati jalur itu, maka secara jarak lebih dekat Moga-Jatinegara-Slawi, namun kondisi jalan sempiy dan rusak. Agak menjauh memutar ke barat (Guci) jalan lebih halus dan lebih lebar. Saya menempuh jalur ini ketika tanjakan Ciregol, Kutamendala, Tonjong ambles.

Jalur atau rute Randudongkal - Moga - Guci - Lebaksiu - Slawi halus dan terpelihara karena merupakan jalur wisata. Memang secara jarak menjaduh daripada melalui Ajibarang - Bumiayu - Prupuk. Namun kalau harus berjalan 'glesar-gleser' memasuki kota Bumiayu, jarak tempuh akan lebih singkat kalau melewati timur Gunung Slamet ini.

Hanya saja, saya mengingatkan, di Karangreja ada tanjakan yang cukup curam dan harus benar-benar berhati-hati, misalnya menjaga jarak dengan kendaraan besar di depan (khawatir tidak kuat menanjak), dan di Karangreja ini sering terjadi kecelakaan. Terakhir hari ini Kamis (24/7) ada bis turun dari arah utara mengalami rem blong dan melindas pengendara motor.

Anda yang dari Tegal atau Slawi kalau mau ke Purbalingga, Purwokerto atau Banjarnegara bisa pula melewati rute yang saya sebutkan di atas. Tegal-Slawi-Lebaksiu-Guci-Moga-Randudongkal-Belik-Karangreja-Bobotsari-Purbalingga.... dst mau ke Banjarnegara atau ke Purwokerto setelah sampai Purbalingga.

Namun tute ini saya sarankan apabila jalur Ajibarang-Bumiayu-Klonengan Prupuk benar-benar macet parah dan lumpuh. Jangan lupa aplikasi map di gadget Anda agar akurat dalam menempuh rute ini, dan tentunya awasi rambu-rambu penunjuk arah.

Semoga membantu.

Selasa, 22 Juli 2014

Pilpres 2014: Meneladani para pendiri NKRI, tidak demi pencitraan tapi dalam kesejatian

Tanggal 22 Juli 2014 hari penentuan KPU untuk mengumumkan pasangan capres-cawapres yang menjadi pemenang dalam Pilpres 2014. Siapapun yang menang sesuai rekapitulasi suara oleh KPU, sepanjang nantinya tidak ada gugatan hukum yang menghasilkan putusan berbeda, ialah pasangan yang akan menjadi nakhoda NKRI 5 tahun ke depan (2014-2019) yang penuh tantangan dan berat karena berbagai persoalan yang menyelimuti negeri ini.

Pra dan pasca pengumuman ini, tampak ketegangan para elite poltiik dan tim suskes (timses), terlihat dari perang pernyataan dan klaim kemenangan maupun klaim telah dicurangi bertebaran di media, baik media massa maupun media sosial (medsos). Demikian pula para pendukung fanatik masing-masing, tampak dari postingan di medsos yang kadang provokatif, nyinyir, dengan bahasa-bahasa yang menjurus kasar. Tata krama komunikasi di medsos kontradiktif dengan citra bahwa bangsa ini adalah bangsa yang ramah, sopan, santun dan tepo selira. Sampai-sampai Panglima TNI Jenderal Moeldoko berujar perang di dunia maya sulit dikendalikan, seraya ia berharap perang hanya terjadi di dunia maya, tidak akan terjadi di dunia real.

Dunia memang sudah berubah, tata nilai lama cara berkomunikasi yang penuh dengan sanepo, maksud utama tersembunyi dibalik kata-kata yang tersurat, bertrasformasi menjadi nilai-nilai baru yang lebih egaliter, transparan dan bersifat langsung. Batas antara yang egaliter, transparan dan langsung itu kadang sangat tipis dan ‘debateble’ dengan penghinaan, pelecehan, pembunuhan karakter dan sifat-sifat jelek lainnya. Inilah resiko keterbukaan dan kebebasan yang kita dapatkan, dan harus diterima menjadi kenyataan dan menjadi bagian dari perjalanan kehidupan bangsa.

Mensikapi Hasil Rekap KPU

Yang lebih penting saat ini adalah pensikapan atas pengumuman KPU. Baik kandidat, timses maupun pendukung diharapkan mengedepankan sikap kedewasaan, bijak, dan melihat kepentingan yang lebih besar alias maslahat bagi bangsa. Sikap ini berlaku bagi yang menang maupun yang kalah. Sing menang ora umuk, sing kalah ora ngamuk. Yang menang tidak sombong, dan yang kalah tidak rusuh. Demikian jargon positif yang bertebaran di medsos.

Yang menang, Jokowi-JK dengan perolehan suara 53%, tidak perlu menganggap rendah yang kalah (menang tanpa ngasorake), tetap menaruh respek dan apresiasi kepada yang kalah, karena telah menjadi partner yang seimbang dalam proses menuju kekuasaan pemerintahan. Apalagi dengan selisih tidak sampai 2 digit (hanya sedikit di atas 50 %), mensiratikan dukungan yang tidak bulat dan berpotensi menjadi handicap dalam mengendalikan pemerintahan, apabila kubu pemenang tidak bisa mengambil hati pihak yang kalah. Upaya kandidat lain yang sangat gigih, perlu diapresiasi karena menjadikan upaya yang harus lebih gigih lagi dari tim Jokowi-JK agar terus punya energi menuju kemenangan.  Karenanya selebrasi yang berlebihan hanya akan membuat luka hati sang partner dan berpotensi menutup pintu rekonsiliasi.

Yang kalah,  Prabowo-Hatta dengan perolehan 47%,  tidak perlu merasa rendah, apalagi terhina dan menyesal berkepanjangan. Karena segala upaya faktanya telah dilakukan, telah ‘fulltilt’ meminjam istilah James Gwee, dalam upaya berkreasi merebut simpati rakyat melalui berbagai saluran yang mungkin bisa dilakukan. Media TV, radio, koran, media online, medsos, timses yang berada di lapangan – pendeknya matra laut, darat dan udara sudah ditempuh—sudah dicoba untuk meraup dukungan sebanyak-banyaknya. Dan hasilnya –meskipun tetap belum menang—sebenarnya mencerminkan upayanya yang sudah sangat keras (dalam bekerja).

Kalau menilik survey beberapa bulan lalu, yang dirilis Indikator Politik pada Oktober 2013, dalam simulasi 4 calon presiden  (Jokowi, Prabowo, Aburizal, Dahlan), hasil survey untuk Prabowo hanya 15 %, sementara Jokowi sudah pada posisi 47,4%. Sementara Aburizal 12,6%, Dahlan 3,7 % dan belum tahu 20,5%. Hasil survey selalu menempatkan Jokowi bertengger di atas, bahkan pernah di atas 60 %, sampai-sampai ada pengamat yang bersedia dipotong lehernya apabila Jokowi kalah dalam Pilpres 2014

Dalam simulasi head to head Jokowi dengan Prabowo pun, masih dari survey Indikator Politik, Prabowo memperoleh 17,5%  sementara Jokowi 49,1%. Dilihat dari basis hasil survey tsb, kemudian disusul pileg, deklarasi, dan kampanye pilpres satu bulan, Prabowo pada akhirnya bisa menembus  ‘hanya’ kurang 4  % untuk meraih keunggulan menjadi 50% +1. Ini adalah prestasi yang luar biasa secara angka, yang sangat akseleratif sebenarnya. Artinya sudah meroket hampir 3 kali lipat. Artinya pula Prabowo berhasil mengalihkan sebagian besar mereka yang sebelumnya memilih kandidat lain selain Jokowi dan mereka yang belum menentukan pilihan saat survey untuk mendukung Prabowo.

Seandainya kemenangan tidak ditentukan oleh suara terbanyak, tetapi oleh peningkatan jumlah dukungan, maka pihak yang kalah ini adalah (sesungguhnya) pemenangnya! Capaian yang sangat luar biasa. Tapi, konstitusi sekali lagi harus dihormati. Penghormatan pada proses legal sebagai bentuk prosedur demokrasi bagaimanapun harus diterima dengan lapang dada. Penerimaan inilah yang kelak akan dikenang sebagai sumbangsih bagi pendewasaan kehidupan bernegara.

Tentu saja –menurut Undang-Undang—kandidat bisa melaporkan kecurigaan adanya kecurangan kepada MK. Namun apabila bukti-bukti yang diajukan tidak signifikan mempengaruhi hasil Pilpres, pengunduran pengumuman ataupun pengulangan pilpres hanya akan memakan waktu dan juga biaya, dan tentunya ketidakpastian yang memanjang.

Inspirasi para pendiri NKRI

Para pentolan Masyumi, sekalipun tidak pernah memenangkan Pemilu, dan kalah dalam sidang Konstituente, dikenang sebagai para politisi yang memiliki sikap sebagai negarawan. M. Natsir, Prawoto Mangunkusumo, Buya Hamka, Kasman Singodimejo, dan lain-lain senantiasa dikenang sebagai tokoh-tokoh yang dihormati karena kesetiannya pada proses demokrasi (dan musyawarah) dan tidak menjadikan mereka para pengkhianat negeri dengan cara-cara non-prosedural meraih kekuasaan, ketika mereka kalah dalam sidang-sidang konstituante. Persahabatannya dengan ‘lawan’ politik juga banyak dikenang, karena mengedepankan sisi humanis ketika saling bergaul dalam keseharian. Persahabatan M Natsir dengan IJ Kasimo, petinggi Partai Katholik, banyak dikenang dan seharusnya menjadi inspirasi bagi politisi kini. Beda ideologi tidak menjadikan persahabatan mereka luntur.

Demikian pula Bung Karno dengan Bung Hatta. Sekalipun ide-ide Bung Hatta dalam perjalanan Indonesia pasca kemerdekaan ‘tidak terpakai’ karena kuatnya dukungan pada ide-ide Bung Karno, tidak menjadikan Bung Karno melepaskan persahabatan dengan Bung Hatta, alias tidak pernah menghapus rasa hormat Bung Karno pada Bung Hatta. Sehingga ketika suatu saat ada orang-orang yang bersikap ABS (asal bapak senang) pada Bung Karno dengan cara akan menghilangkan “Hatta” dari teks proklamasi, Bung Karno sangat marah dan menyatakan dia memang berbeda pandangan dengan Bung Hatta dalam banyak hal, tetapi menghilangkan “Hatta” dari teks Proklamasi bagi Bung Karno adalah suatu kejahatan.

Atau kisah lain yang sangat menyentuh, ketika Soekarno bersikeras agar ketika kelak beliau wafat, agar Buya Hamka yang mensholatkan jenazahnya. Padahal Bung Karno-lah yang tanpa alasan hukum jelas menjebloskan Buya Hamka ke dalam penjara. Dan Buya Hamka, dengan ikhlas tetap memenuhi keinginan Bung Karno itu. Bung Karno juga menginginkan keranda jenazahnya diselimuti dengan bendera Muhammadiyah, sementara secara politik dia berseberangan dengan banyak tokoh Muhammadiyah yang banyak aktif di Masyumi. Sedangkan Bung Karno sendiri dalam aliansi Nasakom dekat dengan tokoh-tokoh NU.

Bisakah para petinggi politik yang sedang di atas panggung nasional saat ini meniru dan mengambil pelajaran dari para pemimpin senior, para pendiri NKRI, para founding fathers negeri ini? Tidak hanya dalam sorot kamera, namun dalam keseharian. Tidak demi pencitraan, tapi dalam kesejatian. Rakyat mengharapkan elit meneladani para pendahulu itu.


MP 22 Juli 2014

Minggu, 20 Juli 2014

Tiga Macam Kelebihan Lailatul Qadar

Ada apa gerangan di sepulu hari terakhir Ramadhan? Sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadhan adalah momen yang baik untuk banyak beramal. Karena setiap amalan dinilai dari akhirnya dan ummat Islam berupaya untuk mendapatkan lailatul qadar, malam seribu bulan.

Salah satu amalan di sepuluh hari terakhir itu dengan I’tikaf. Pengertian I’tikaf –secara bahasa-- adalah berdiam diri, yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah, I’tikaf  berarti berdiam diri di masjid, sebagai ibadah sunnah yang dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, lebih dikhususkan di sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya lailatul qadar.

Sebagian ulama mengatakan jika ibadah I’tikaf hanya bisa dilakukan dengan berpuasa. I’tikaf sendiri memiliki banyak tujuan. Selain untuk menghidupkan sunnah Rasulullah SAW dalam rangka pencapaian ketakwaan, I’tikaf juga sebagai salah satu bentuk penghormatan kita dalam meramaikan bulan suci Ramadhan yang penuh berkah dan rahmat dari Allah SWT.

Menunggu saat-saat yang baik untuk turunnya lailatul qadar melalui I’tikaf, nilainya sama dengan ibadah seribu bulan sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al Quran. I’tikaf pun mampu membina rasa kesadaran imaniyah kepada Allah dan tawadlu' di hadapan-Nya sebagai mahluk Allah yang lemah.

I’tikaf dianggap sah apabila dilakukan di masjid dan memenuhi rukun-rukunnya seperti niat yang betul-betul mengharap ridla dan pahala dari-Nya, Berdiam di masjid dengan diiringi tafakkur, dzikir, berdoa dan lainya, Islam, Suci, dan Akil baligh. I’tikaf sah jika dilakukan di masjid yang digunakan untuk sholat Jum’at.

Menurut mazhab Syafi'i, I’tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu apa saja tanpa batasan lamanya seseorang ber-I’tikaf. Begitu seseorang masuk ke dalam masjid dan berniat I’tikaf maka sah-lah I’tikafnya. I’tikaf pun dapat dilakukan selama satu bulan penuh, atau dua puluh hari. Dan yang lebih utama adalah selama sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadhan.

Dan saat melakukan Itikaf, hendaknya menghindarkan hal-hal yang membatalkan niat ber-I’tikaf. Seperti berbuat dosa besar, bercampur dengan istri, hilang akal karena gila atau mabuk, murtad (keluar dari agama) dan datang haid atau nifas dan semua yang mendatangkan hadas besar.

Selain itu, hal lain yang bisa membatalkan niat I’tikaf yakni keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang mendesak atau uzur, karena maksud I'tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dengan tujuan hanya untuk ibadah. Kemudian orang yang sakit dan membawa kesulitan dalam melaksanakan I’tikaf.

Lailatul Qadar
Keinginan untuk mendapatkan Lailatul Qadar ini bukanlah sesuatu yang tidak beralasan. Rasulullah SAW sendiri menyeru umat Islam untuk menyongsong malam seribu malam ini dalam sabda beliau: Rasulullah SAW bersabda, “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR. Bukhari).

Kapan datangnya malam itu? Malam yang istimewa itu masih merupakan tanda tanya, dan tidak diketahui secara pasti kapan datangnya. Nabi Muhammad SAW selalu menjawab sesuai dengan apa yang perditanyakan kepada beliau. Ketika ditanyakan kepada beliau: “Apakah kami mencarinya di malam ini?” beliau menjawab: “Carilah di malam tersebut!”

Salah satu hikmah dirahasiakannya Lailatul Qadar adalah terpompanya kembali semangat beribadah umat Islam di sepertiga terakhir bulan Ramadhan.

“Lailatul Qadr” adalah malam penuh kemuliaan, sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ.

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS Al-Qadr: 1-5)

Terdapat banyak riwayat yang menyebutkan tentang waktu terjadinya malam diturunkannya Al-Qur'an ini. Ada yang menyebutkan Lailatul Qadar terjadi pada tanggal 7, 14, 17, 21, 27 dan tanggal 28 Ramadhan. Sebab banyaknya riwayat mengenai kejadian turunnya Al-Qur'an ini, kiranya tidak mungkin mengetahui waktu tepatnya terjadi Lailatul Qadar. Namun umumnya umat Islam Indonesia meningkatkan ibadah pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Carilah sedaya-upaya kamu untuk menemui Lailatul Qadar itu pada sepuluh malam ganjil pada akhir Ramadhan”.

Barangkali terdapat sebagian dari kita yang bertanya mengapa waktu Lailatul Qadar tidak ditentukan secara pasti? Dengan kata lain mengapa Allah SWT tidak menjelaskan secara tegas tanggal berapa Lailatul Qadar terjadi? Bisa jadi Allah SWT memang sengaja untuk merahasiakannya dan kita dapat memetik hikmah dari kerahasiaan Lailatul Qadar tersebut, yaitu agar intensitas ibadah tidak tergantung pada hari-hari tertentu, tapi sepanjang waktu.

Tiga Macam Kelebihan Lailatul Qadar

Berdasar ayat 1-5 surat Al-Qadr di atas, malam Lailatul Qadar itu mengandung tiga macam kelebihan yaitu:
1. Orang yang beramal pada malam itu akan mendapat pahala sebanyak lebih dari 1000   bulan yaitu 83 tahun empat bulan
2.  Para malaikat turun ke bumi, mengucapakan salam kesejahteraan kepada orang-orang  yang beriman.
3. Malam itu penuh keberkahan hingga terbit fajar

Menurut hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, menyebutkan bahwa: Nabi Muhammad SAW pernah ditanya tentang Lailatul Qadar, lalu beliau menjawab, “Lailatul Qadar ada pada setiap bulan Ramadhan.” (HR. Abu Dawud)

Menurut hadits Aisyah riwayat Bukhari, Nabi Muhamamd SAW bersabda: “Carilah lailatul qadar itu pada tanggal gasal dari sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan.” (HR.  Bukhari)
Menurut pendapat yang lain, Lailatul Qadar itu terjadi pada 17 Ramadlan, 21 Ramadlan, 24 Ramadlan, tanggal gasal pada 10 akhir Ramadlan dan lain-lain. Jadi, mengenai lailatul qadar dalam hal ini, tidak ditemukan keterangan yang menunjukkan tanggal kepastiannya.

Namun ada banyak penjelasan mengenai tanda-tanda datangnya Lailatul Qadar itu. Diantara tanda-tandanya adalah:
1. Pada hari itu matahari bersinar tidak terlalu panas dengan cuaca sangat sejuk, sebagaimana hadits riwayat Muslim.
2. Pada malam harinya langit nampak bersih, tidak nampak awan sedikit pun, suasana tenang dan sunyi, tidak dingin dan tidak panas. Hal ini berdasakan riwayat Imam Ahmad.

Dalam Mu’jam at-Thabari al-Kabir disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “Malam lailatul qadar itu langit bersih, udara tidak dingin atau panas, langit tidak berawan, tidak ada hujan, bintang tidak nampak dan pada siang harinya matahari bersinar tidak begitu panas.”

Nah, agar mendapatkan keutamaan lailatul qadar, maka hendaknya memperbanyak ibadah selama bulan Ramadlan, diantaranya, senatiasa mengerjakan shalat fardhu lima waktu berjama’ah, mendirikan Qiyamul Lail (shalat terawih, tahajjud, dll), membaca Al-Qur’an (tadarus) sebanyak-banyaknya dengan tartil (pelan-pelan dan membenarkan bacaan tajwidnya), memperbanyak dzikir, istighfar dan berdo’a. (sumber nu.or.id, pesantrenvirtual.com)

Rute jalan tikus 'mudik' di seputar Banyumas

Anda mau tahu jalan tikus di seputar Banyumas? Saya ingin sharing, siapa tahu beruna bagi Anda yang akan melewati daerah ini dengan kendaraan roda empat/dua.

Jelang lebaran 2014 ini kemacetan lalu lintas diperkirakan makin parah di jalur ’perpindahan’ dari pantai utara (pantura) ke jalur selatan Jawa. Yaitu jalur dari Pejagan Brebes - Prupuk - Bumiayu - Ajibarang - Purwokerto /  Wangon untuk selanjutnya ke Kebumen/Purworejo/Jogja atau Purbalingga/Banjarnegara/Wonosobo.

Penyebabnya adalah amblesnya jembatan kali Comal Pemalang pada Jumat 18/7/14 lalu, di mana kendaraan menuju Jawa Timur/Jogja dialihkan ke selatan melalui jalur perpindahan Prupuk - Bumiayu - Purwokerto itu. Ketika pantura normal saja jalur ini saat puncak arus mudik selalu macet. Dengan pengalihan kendaraan dari pantura ke selatan, maka kemacetan lebih parah tak terelakan.

Selain jelas karena bertambahnya jumlah kendaraan, jalur ini juga 'terdampak' adanya lintasan (pintu) rel kereta api di 'klonengan' Prupuk, Karangsawah, dan Kretek. Juga adanya penumpukan jumlah manusia dan kendaraan parkir di pasar tumpah seperti di prapatan Tonjong, pasar Linggapura, Bumiayu, dan pasar Kretek sebelum pintu rel kereta, serta pasar cilik Patuguran. Banyaknya persimpangan2 juga menjadikan jalur ini selalu tersendat dan harus extra bersabar. Persimpangan (pertigaan atau perempatan) misalnya di Linggapura, Kaligadung, Talok, dalam kota Bumiayu (pertigaan pasar wage), pertelon Kaligua, pertelon Paguyangan arah Pakujati, dan pertelon arah waduk Penjalin Patuguran. Memasuki Banyumas maka akan menemui pertigaan Legok, Pekuncen, prapatan Ajibarang dan pasar tumpah di sekitar Cilongok. 

Daerah rawan macet lainnya di seputar Kabupaten Banyumas adalah Sokaraja (pertigaan Klenteng), perlintasan rel kereta Sumpiuh, perlintasan rel kereta api Sampang, dan tentu saja banyaknya pasar di sepanjang jalur ini. 

Jalan Tikus
Adakah jalan tikus untuk sedikit menghindar dari hiruk pikuk arus mudik ini. Setidaknya untuk sedikit mengurangi pegalnya kaki yang harus bolak balik injak pedal kopling dan rem di kondisi macet dan jalan merayap. Jalan tikus walau agak memutar dan sempit, namun kendaraan bisa terus dipacu karena tidak menumpuk di titik2 jelang persimpangan atau pintu kereta.

Saya sharing dari utara setelah Prupuk. Sebelum perlintasan kereta api Karangsawah, untuk menghindari kemungkinan kemacetan di Ciregol karena adanya truk/bus yang tidak kuat menanjak di Ciregol, bisa mengambil alternatif Kutamendala - Karangjongkeng-Purwodadi-Linggapura. Atau sebaliknya kalau dari selatan, untuk menghindari penumpukan kendaraan jelang pintu rel Karangsawah, maka dari Linggapura belok kanan-Purwodadi-Karangjongkeng-Kutamendala. Tapi jalur ini benar-benar emergency karena kondisi jalan kurang bagus dan hanya direkomendasikan untuk kendaraan kecil.

Dari Linggapura ke Bumiayu hanya ada satu jalur. Namun apabila benar-benar terpaksa misalnya ada gangguang antara Kaligadung-Talok, bisa belok kiri di Kaligadung ke arah Benda, kemudian di Benda belok kanan ke Panggarutan dan selanjutnya kembali ke jalan utama di jalan lingkar bawah jembatan Saka Libel (saka lima belas) dekat SPBU. Perjalanan dari  Bumiayu ke Purwokerto ada alternatif yang dipilih agar terhindar dari penumpukan kendaraan jelang Ajibarang. Yaitu di pertelon Kranggan belok kiri ikuti jalan menuju Cilongok/Purwokerto (ada rambu-2 penunjuk jalan) dan nanti kembali ke jalur utama di Losari - timur Ajibarang.

Jalan tikus lain adalah ketika Anda sampai di Cilongok maka jika tujuan Anda adalah Banyumas/Patikraja/Kebasen maka di Cilongok setelah pasar, ambil jalan ke kanan, maka akan menemui jalur ke arah Notog dengan kondisi jalan relatif bagus. Dari Notog Anda tinggal meneruskan perjalanan ke Patikraja/Rawalo/Banyumas/Kebasen. Kalau ke Banyumas maka dari Notog ke timur arah Patikraja, setelah pasar Patikraja belok kanan arah Banyumas. Dari Banyumas Anda bisa meneruskan perjalanan ke Banjarnegara atau Jogja lewat Buntu atau Kemranjen.

Untuk ke Purbalingga dari Purwokerto bisa melalui jalur Sokaraja-Purbalingga, namun jalur ini akan sangat padat di Sokaraja. Karena itu kendaraan kecil bisa melewati Purwokerto-Padamara-Purbalingga. Di bunderan RSU Margono belok kiri, sampai perempatan UMP belok kanan - ke Sumbang - lalu belok kanan ke Padamara. Papan penunjuk sangat jelas di jalur ini.

Nah yang jalur Banyumas ke Jogja... selain jalur normal yang sudah lebar yatu Banyumas - Krumput - Buntu, juga bisa melewati jalur baru: dari Banyumas ambil arah Banjarnegara, nah 1 km dari Banyumas ambil belok kanan arah Kemranjen. Jalur ini melewati daerah penghasil duren montong. Tanjakan/turunan cukup lumayan dan disarankan hanya untuk kendaraan mobil pribadi. Akan kembali ke jalan besar di Kemranjen (sebela timur Buntu).

Dari Buntuk ke timur, daerah rawan macet panjang adalah di Sumpiuh karena adanya perlintasan rel kereta api. Sebenarnya dari Banyumas/Purwokerto kalau mau menghindari Sumpiuh bisa lewat Gandulekor-Sempor-Gombong. Jadi dari Banyumas terus ke timur sampai Mandiraja belok kanan ke arah waduk Sempor - Gombong baru ke kiri arah Jogja. Namun kondisi jalan masih dalam perbaikan ketika saya lewat sebulan yang lalu. Juga banyak tikungan tajam dan tanjakan sehingga harus sangat hati-hati. Ini jalur emergency kalau Sumpiuh benar-2 macet dalam waktu lama. Atau bagi Anda yang mudik sambil traveling menikmati keindahan alam dan mengenal jalur baru boleh juga dicoba...

Jalur Selatan Selatan
Jalur selatan-selatan yang membentang dari Cilacap-Kebumen-Jogja juga layak dicoba. Seorang teman teleh mencoba jalur ini baru-baru ini. Jadi dari Kroya terus saja ke selatan (kecamatan Adipala) terus ke timur. Untuk kembali ke kalur selatan tengah bisa belik kiri di Pantai Ayah/Logending dan ketemu jalan besar di Ijo (barat Gombong), namun Anda juga bisa meneruskan ke timur ke Karangbolong, Puring, Petanahan, Ambal, dan seterrusnya ke timur sampai Bantul Jogja.
Cuma hati-hati di daerah Pantai Logending/Ayah, tanjakan dan tikungan tajam. Anda akan sering menggunakan perseneling 1. Jalur ini juga jarang SPBU jadi mesti di-poltenk dulu sebelum menelusuri jalur selatan-selatan.

Yang tak kalah penting adalah Anda sebaiknya membawa peta mudik yang biasanya dibagikan gratis di mall, SPBU, kantor polisi, dan tempat-2 umum lain. Atau Anda bisa juga sih melihat atau browsing google map untuk peta, namun informasi tentang kondisi jalan Anda tetap harus mencari referensi dari teman/sanak saudara. Atau dari tulisan yang Anda percaya. 





Kamis, 17 Juli 2014

Media massa sebagai 'pamflet politik' sang pemilik

Dalam Pilpres 2104 kita menyaksikan perbedaan penayangan hasil quick qount (QC) di antara stasiun TV. Ada yang menayangkan hasil QC yang memenangkan calon tertentu dan sebaliknya. Media sudah sangat partisan. Masyarakat umum dibuat bingung, siapa yang jujur dan siapa berbohong. Kredibilitas lembaga survey penyelenggara QC pun dipertanyakan. "Lembaga survey purchasable" alias bisa dibeli, demikian pendapat pada umumnya. Hal ini menjadikan lembaga survey yang sebenarnya kredibel ikut-ikutan tercitrakan sebagai bisa dibeli. Audit yang dilakukan Perhepi pun ada yang meragukan independensinya, mengingat afiliasi pengurusnya pada calon tertentu.

Pemihakan media TV, dan juga media online serta media cetak sudah tampak jauh sebelum release QC. Sejak masa kampanye sudah tampak keberpihakan itu. Menilik sejarah media massa di Indonesia (utamanya pers sebagai cikal bakal media massa), sejak awal kelahirannya memang berawal dari 'pamflet politik'. Namun keterlibatan media massa / pers dalam politik itu dalam pengertian yang positif: mendukung kemerdekaan Indonesia, melawan penjajahan kolonial. Begitulah makanya banyak wartawan yang kemudian menjadi 'wartawan pejuang' yang larut secara dalam, ikut 'memperjuangkan kemerdekaan'. Banyak tokoh nasional kala itu adalah sekaligus seorang jurnalis dan mengelola surat kabar.

Apa yang terjadi saat ini, media telah menjelma menjadi alat propaganda politik. Kontrol pemilik atas konten siaran sangat terasa sehingga kaidah-kaidah etika peliputan sudah diabaikan. Tidak ada niatan menghadirkan keseimbangan dalam pemberitaan. Kalau dulu sikap media (pers) dituangkan secara khusus dalam "Tajuk Rencana" atau "Editorial", maka kini baik media elektronik maupun cetak dan juga media online, banyak terjerembab dalam "keberpihakan" pada kelompok alias menjadi partisan dalam konten berita. Di dalamnya termasuk penempatan kolom, pengambilan judul, pemilihan nara sumber, dll. Obyektifitas telah dicampakkan dari dalam newsroom mereka.

Profesional media pun seperti tidak lagi bisa menyuarakan idealisme-nya. Mereka menjadi sosok-sosok yang pernah disindir oleh PK Ojong: tunduk pada kepentingan pemilik modal, dan hanya menjadi 'kuli tinta' dengan penekanan pada kata 'kuli'.

Memang seperti pernah dikatakan oleh Katherine Graham, pemilik The Washington Post, pemilik atau penerbit media (publisher) memiliki kontrol segalanya atas media yang dipublikasikan. Dari mulai judul, berita/event yang dimuat, penempatan kolom, sampai pada rekrutmen karyawannya. Namun pada jaman dulu itu dilakukan dengan tidak sangat mencolok. Ruang opini dan berita dipisahkan dalam batas yang tampak tegas. "Kita" yang menunjuk pada "saya, pemilik media" hanya ada di ruang kolom editorial.

Kini semua ruang adalah 'kita' - selalu cenderung diselaraskan dengan kepentingan pemilik, apakah sejalan dan mendukung garis politik sang pemilik. Semua kolom seakan-akan menjadi prerogratif pemilik.Kalau sudah demikian, masihkan kita perlu mendengarkan berita TV dan membaca surat kabar atau meng-klik media online? Dari mana publik akan memperoleh 'kebenaran' atau obyektifitas?

Tidak semua pembaca/pendengar (audience) memiliki kemampuan filter yang sepadan. Tidak semua memiliki daya kritis. Inilah yang seharusnya menjadi 'tanggung jawab' media agar tidak mencecoki dengan informasi salah yang disengaja, atau 'memilih-milih fakta' yang diberitakan hanya yang mendukung sikap politiknya, dengan memanfaatkan minimnya daya kritis sebagian pemirsa/pendengar/pembaca.

Lalu kontrol atas bentuk tanggung jawab itu ada pada siapa? Komisi Penyiaran Indoensia (KPI) 'kah? Konsep tentang 'kebebasan pers yang bertanggung-jawab' sepertinya mendesak dikedepankan. Namun bukan dalam pengertian masa lalu di era Orde Baru, dimana 'kebebasan yang bertanggung-jawab' (disebut sebagai pers Pancasila oleh pemerintah saat itu) berkonotasi bebas memberitakan asal tidak menyerang/mengkritik pemerintah. Tapi dalam artian sebenarnya yaitu tanggung jawab atas obyektifitas/fakta/data yang sejujurnya, dan bisa di-validasi. Tanggung jawab pers atau media pada nilai-nilai universal yang menjadi common sense masyarakat, bukan pada kepentingan pemiliknya.

Tapi kelihatanya memang sulit kita mendapatkan yang ideal, dan kita harus terbiasa melihat kenyataan ini. Tabayun (konfirmasi) kita atas informasi yang tersedia di media harus kita cari sendiri, dan ketika ketika tidak menemukan yang kita percaya menjaga obyektifitas, ya sudah diam saja sambil merenung dan bertanya dalam hati. Pada akirnya nurani kita yang menentukan informasi itu baik/buruk, salah/benar.