Jumat, 09 Januari 2015

Tragedi Charlie Hebdo: tentang tata cara hidup bersama dalam 'desa dunia'

Tragedi penembakan yang menewaskan 12 orang di kantor majalah satire mingguan Perancis Charlie Hebdo, mendapat banyak perhatian dunia. Komentar pun bermunculan, yang mencerminkan cara pandang yang berbeda-beda. 

"Kalau kita berpikir, di negara seperti Prancis, Anda bisa mati karena ide-ide Anda atau bagaimana Anda ingin bicara, itu sangat mengejutkan,", kata Arsene Wenger, manager Arsenal, asal Prancis, tentang penembaan di kantor majalah yang terbit sejak 1969 itu, seperti dilansir detik.com.

Komentar Arsene Wenger tentu saja mewakili sebagian besar pandangan orang Prancis tentang 'kebebasan'. Bahwa apa pun tulisan, kata-kata, gambar boleh di-ekspresikan kepada publik, tenang kebebasan berpendapat. Tidak ada batasan etika, unggah-ungguh, ewuh pakewuh, apalagi 'perasaan' apakah sebuah publikasi mengandung penghinaan, pelecehan, atau hujatan kepada pihak lain. 
Ini seperti kata Stephane Charbonnier, pemimpin redaksi Charlie Hebdo yang ikut tewas, bahwa sebagai warga negara Prancis dia bisa menerbitkan apa saja :"Saya hidup dalam undang-undang Prancis. Saya tidak hidup berdasarkan undang-undang Al-Quran".
Bagi Charbonnier, Nabi Muhammad dan siapa pun tokoh boleh dibikin satir, dikritik, diparodikan, 'diplesetkan'. Ia tidak memiliki dan tidak mengenal 'tenggang rasa', tidak bisa membayangkan dan memposisikan diri, membayangkan perasaan para pengikut Nabi Muhammad, bahwa itu adalah hal yang dilarang karena Nabi Muhammad itu tokoh, nabi sekaligus rosul yang maksum (tanpa dosa karena mendapat bimbingan Allah sebagai utusan-Nya). 
Ia juga 'lupa' bahwa sekalipun ia hidup di Prancis, dengan 'konstitusi'-nya, ia juga hidup di planet bumi yang sudah menjadi global village, sebuah 'desa dunia' yang dihuni beragam manusia dengan beragam kepercayaan dan agama, dimana informasi kini berkembang sedemikian cepat, bahkan real time online. 
"Muhammad tidak suci bagi saya," jelasnya dalam wawancara dengan kantor berita AP pada tahun 2012, ketika kantor Charlie Hebdo terbakar karena serangan bom molotov
Barangkali tidak masalah kalau perkataan-nya itu masih sebatas obrolan yang tidak dipublikasikan. Atau sebuah pandangan pribadi yang 'sah' bagi siapa pun. Namun ketika pandangan itu kemudian diekspresikan dan dipublikasikan dalam bentuk gambar dan tulisan yang disebarkan kepada publik, lewat 'media massa', itu bagi pihak lain bisa dianggap sebagai provokasi dan sengaja membuat permusuhan. 
Apakah para penembak itu sudah lama mengincar Charlie Hebdo? Yang jelas tahun 2007 Charlie Hebdo harus membela diri di pengadilan sehubungan dengan kartun Nabi Muhammad, yang dicetak ulang di majalah itu, dan membuat marah umat Muslim dunia. Namun satir majalah yang antikemapanan itu amat beragam, termasuk membuat lelucon dari aspek-aspek Kristen dan Yudaisme.
Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Charbonnier mengatakan insiden serangan bom molotov ke kantornya pada 2011 merupakan serangan atas kebebasan dari 'ekstremis idiot' yang tidak mewakili komunitas Islam di Prancis. Begitulah 'kebebasan' bagi Charb, dan sebagian lagi di belahan dunia lain, adalah boleh menulis, menggambar, mempublikasikan apa saja dengan cara bagaimana pun. Tidak ada batasan, minimal simpati, bahwa itu menyinggung dan melukai perasaan orang lain. 
Masalahnya, apakah kekerasan (penembakan) harus dilakukan? Menarik komentar Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Komaruddin Hidayat, yang menilai kejadian penyerangan kantor Media Charlie Hebdo di Paris telah mencederai bangunan peradaban dan menimbulkan fitnah.
"Bagi saya keduanya telah mencederai bangunan peradaban dan menimbulkan fitnah yang merusak hubungan antar budaya dan agama yang tengah kita bangun bersama," ujar Komaruddin Hidayat, dilansir covesia di Jakarta, Jumat (9/1/2015). 
"Keduanya" itu menurut Komarudin Hidayat adalah :
(1) Media di Barat mestinya tahu apa saja yang dianggap tabu oleh umat Islam. Sebagaimana mereka tahu bahwa holocoust itu tabu dihujat bagi Yahudi;
(2) Penyerangan secara fisik dan brutal dengan alih membela agama juga tidak benar. Karena ini jelas mencederai nilai-nilai kemanusian dan agama;
Ia lalu menghimbau, seperti yang dilakukan masyarakat Australia, masyarakat muslim di Paris atau non muslim jangan terpancing dan memperburuk hubungan. Tunjukkan kekompakan untuk bersama menjaga kerukunan dan kedamaian serta melakukan kritik diri. Penghinaan dan penyerangan, baik verbal maupun fisikal, hanya akan menciptaan kebencian dan keresahan.
'Desa Dunia' ini tampaknya memang butuh tata cara hidup bersama baru, yang tidak hanya terkait dengan tata cara hubungan ekonomi dan politik, tetapi bagaimana tata cara itu juga meliputi hubungan antar ummat beragama sedunia, mana batasan yang harus saling diketahui. Sehingga kebebasan, termasuk kebebasan berekspresi melalui media dengan 'pena' tidak menjadi 'racun' bagi dunia. 
MP, 090115