Jilbab Loro kini menjadi salah satu swing word (kata rayuan, buaian) tim kampanye JK-Win, mengadopsi 'kesuksesan' kupluk loro di pilpres 2004. Terkait jilbab (busana muslimah penutup aurat wanita) sebenarnya memiliki sejarah tersendiri dalam ranah politik Indonesia, karena secara simbolik pernah dipersepsi sebagai ekpresi kebangkitan Islam. Dan sejarah memang memiliki 'daur'-nya sendiri, ada saatnya sesuatu dihujat dan dicurigai, ada kalanya dimaknai dan 'dimanfaatkan'. Ibarat roda pedati, berputar...
Terlepas dari sah tidaknya pemakaian swing word Jilbab Loro (lagi pula siapa yang menentukan sah tidaknya?) atau etis ataukah tidak dalam fatsun politik pemakaian kata-2 itu, saya jadi teringat pada proses 'kelahiran' jilbab dalam ranah kehidupan formal modern (maksudnya: sekolah dan kampus negeri, kantor-2, dan institusi remsi lainnya). Kita tahu, dulu (sebelum 80-an) jilbab hanya dipakai di forum pengajian ibu-2, di kampung-2, di sekolah dan lembaga pendidikan yang memang berciri agama (madrasah, pesantren) --kalau di sekolah negeri adalah di sekolah yang bernaung di bawah DEPAG (MIN, MTSN, MAN, IAIN).
Awal 80-an adalah dimulainya satu dua aktifis mencoba berani memakai jilbab di sekolah dan kampus umum. Di SMA aktifis PII, di kampus aktifis HMI atau lembaga dakwah kampus. Karuan saja, saat itu timbul perdebatan bahkan larangan dalam bentuk SK dan instruksi pelarangan pemakaian jilbab di sekolah negeri. Berkembangnya kelompok-2 pengajian (usroh) dan antusiasme kebangkitan Islam abad ke 15 menjadikan issue ini melesat bak busur panah, menohok mereka yang phobi terhadap sesuatu berbau Islam. Sebagian elite di pemerintahan melihat hal ini sebagai ekpresi ekstrem, sementara pembela jilbab berdalih bahwa ini adalah hak pengamalan agama yang dijamin UUD. Saat itu pemakai jilbab boleh dibilang dicibir dan siap menuai pemanggilan dari guru BK bagi yang masih di SMA, atau atasan bagi yang sudah bekerja di kantor.
Emha Ainun Nadjib sampai membuat pementasan teater "Lautan Jilbab" merespon dan membela merebaknya pemakai jilbab di kampus-2 umum atas kecurigaan dan penentangan yang terjadi saat itu. Pertunjukkan yang dimainkan oleh Teater Shalahuddin UGM itu dipentaskan keliling kota-2 besar di Indonesia. Jilbab memang fenomenal.
Fenomenal, karena dirunut ke belakang 20-an tahun lalu, ia dibenci dan dicurigai oleh para Islamo-phobia. Ketakutan yang berlebihan akan bangkitnya esktrem kanan, apalagi tema-tema Islamisasi Ekonomi, Islamisasi Pendidikan, Islamisasi Kebudayaan, dan Islamisasi-2 yang lain saat itu menjadi wacana yang menyeruak di antara aktifis Islam. Saat ini dengan sudah berkembangnya perbankan syariah, tema Islamisasi Ekonomi mengendur, karena bentuknya yang sudah mulai meng-empiris, ada dalam praktik. Orang pun sudah melihat sebagai hal yang biasa. Hampir tidak ada lagi trauma. Demikian pula dengan jilbab, sudah sangat biasa dan diterima sebagai 'kewajaran'. Di sekolah, kantor, di mall jilbab diterima sebagai hal yang lumrah. Bahkan di beberapa sekolah negeri di bawah kementiran Diknas, jilbab 'diwajibkan' sebagai pakaian resmi karena sekolah diperbolehkan memiliki ciri khas sendiri.
Inilah yang mungkin dicita-citakan Kuntowidjojo sebagai Islam yang bukan lagi tataran ideologi atau ilmu, tapi sudah dalam tataran empiris, sebagai sebuah sistem (atau sub sistem) yang berlaku dan berjalan di masyarakat. Ketika sebuah value di-ejawantah-kan dalam laku, yang diniatkan murni sebagai ekspresi keyakinan tanpa maksud meng-ekspresikan tujuan lain yang tersembunyi (hidden agenda), maka akan diterima sebagai kewajaran.
Kalau kini jilbab menjadi bahan buaian kampanye presiden, sungguh suatu yang luar biasa --dilihat dari 'perjalanan' jilbab sejak tahun 80-an. Dulu dibenci dan dicurigai, kini dipuji dan dimakai politis. Dulu diperjuangkan dengan ada yang harus berkorban (misalnya dikeluarkan dari pekerjaan, kenaikan pangkat terhambat, dll), kini menjadi 'alat perjuangan'. Kita perlu berterima kasih kepada para aktifis yang sudah berani memulai, berterima kasih pula kepada para pembelanya. Mereka mungkin tidak berfikir bahwa jilbab akan seperti sekarang, menjadi 'ikon' kampanye politik.
Saya jadi teringat kasidah melayu Nasida Ria Semarang yang tenar di tahuhn 80-an: "jilbab jilbab putih... lambang kesucian...". Juga lagu Bimbo: "Aisah adinda kita... dst"
Jilbab putih lambang kesucian, kalau sudah jadi 'jilbab loro'...? Anda yang boleh berpendapat. Saya hanya berharap semua bermuara pada hal positif untuk siapa pun. Be positive!