Minggu 27 Maret 2011. Jogja pagi itu diguyur hujan. Namun tidak menyurutkan niat untuk melihat dari dekat dusun Kinahrejo, kampung Mbah Maridjan (alm) di lereng Merapi. "Kalau di bawah (kota) hujan, biasanya di atas terang", kata Wildan, si sulung memberi semangat. Seperti apa sih bekas muntahan perut Merapi, apa yang bisa dipelajari dari fenomena alam ini dan secara sosial bagaimana masyarakat (korban) melakuan recovery? Begitu kira-kira 'pembenaran' langkah 'wisata' ke Kinahrejo. Saran salah seorang kawan untuk pergi ke pantai di Gunung Kidul pun sementara diabaikan.
Semasa kuliah di tahun 80-an akhir pernah ke sana dalam rangka pelatihan / camping UKI Jama'ah Shalahuddin UGM. Kala itu jalan menuju Kinahrejo masih berupa makadam. Kalau kemarau berdebu dan kalau hujan becek. Suasana asri, dengan udara segar dengan pemandangan hutan pinus yang menjulang menapak langit. Ketika itu belum muncul tokoh Mbah Maridjan (mungkin sudah menjadi juru kunci hanya saja belum menjadi bintang iklan dan jadi berita media mengenai sikap 'kekeuh'nya pada penjagaan Merapi sesuai yang dipahaminya).
Tidak membutuhkan waktu lama berkendara ke lokasi 'wisata erupsi Merapi'. Mungkin sekitar 20-an menit dari Jogja. Jalan ke sana sudah aspal, dan cukup untuk bus tiga perempat bahkan bis pariwisata besar. Sekitar 2 km sebelum lokasi 'bencana', ada pos 'retribusi'. Para penjaga pos --tampaknya dari warga setempat dan bukan petugas dari dinas Pariwisata -- berseragam kaos kuning dan menyapa dengan ramah. Ada beberapa polisi ikut mengawasi (?).Untuk dewasa dikenai Rp. 3000,- dan parkir mobil Rp. 5000. "Sekalian diniati nyumbang", kata saya dalam hati.
Dan segeralah muncul pemandangan pohon-pohon yang merenggas, dengan ranting tanpa daun. Namun beberapa pohon sudah mulai 'beremi', tampak hijau daun muncul dari batang dan ranting yang terkelupas kulit kayunya..... mengingatkan pada hiasan pohon dengan daun imitasi. Di sini asli daun tentunya. Sebuah pemandangan yang selaras dengan semangat penduduk setempat untuk bangkit dari keterpurukan akibat bencana.
Seperti yang pernah terlihat di TV, gambar-2 yang di up load di internet, maka saya melihat dengan kepala mata sendiri bangkai motor, mobil, dan reruntuhan bangunan rumah. Dan hamparan hijau kebun sayur atau rumput gajah yang hampir 30 tahun lalu saya lihat, telah berubah menjadi hamparan 'padang pasir'. Pohon-pohon pinus yang dulu tumbuh di tebing jurang, berdiri tegak, tak tahan menahan semburan awan panas dan muntahan material pasir dan batu Merapi (maaf saya tak paham istilah-2 material letusan gunung berapi). Bangunan rumah rata dengan tanah bahkan sebagian tertimbun pasir.
Lahan parkir mobil pun menempati areal yang rata dengan pasir. Untuk menuju bekas rumah Mbah Maridjan harus berjalan kaki atau naik ojek 1 km ke atas. Dari area parkir menuju dusun Mbah Maridjan berjejer di samping kiri-kanan berdiri gubuk-gubuk (warung), yang berjualan makanan, minuman dan aneka barag suvenir. Ada resto Kinahrejo dengan menu yang memakai nama-nama terkait erupsi. Misalnya 'sop lava', nasi goreng erupsi, dll. Juga tersedia toilet.
Melihat ini semua, sekalipun mungkin bisa dikatakan 'ironi', yaitu bagaimana sebuah bencana (musibah, yang mendatangkan duka dan kesedihan) dijadikan obyek wisata (yang berkonotasi 'hepi-hepi' --kata seorang teman), namun inilah sebuah fakta dan sikap yang harus diambil. Karena kehidupan harus ditempuh dan dihadapi, tidak berguna meratapi terus menerus musibah yang terjadi. Maka 'konversi' dari kedukaan akibat bencana menjadi tempat wisata menunjukkan kreatifitas survival warga setempat. Toh para pengunjung pun bisa belajar, mencoba mendalami dan memahami, bahwa semuanya adalah 'atas kehendak Yang Maha Kuasa'. Bahwa apa yang dulu tampak indah, tampak kokoh, akan sirna ketika kekuatan dahsyat atas iradah-Nya menghendaki sirna. Juga belajar pada spirit masyarakat setempat untuk bangkit pasca ditimpa bencana.