Judul di atas saya ambil dari berita di WARTA PANTURA (26/03) yang memberitakan deklarasi Tridianto, mantan ketua DPC Partai Demokrat Cilacap, sebagai calon ketua umum Partai Demokrat di KLB Bali 30-31 Maret 2013. Tergelitik untuk mengulas karena Tridianto cukup fenomenal, menggelitik, bahkan tidak jarang membikin tawa geli dalam pembicaraan jagat perpolitikan Indonesia.
Dalam obrolan di pantry, kumpul dengan teman-teman, dan chat di BB nama Tridianto selalu menjadi bahan obrolan menarik. Seorang teman selalu sms kalau Tridianto sedang tampil di televisi "Tuh Tridianto temanmu lagi diwawancara di TV".... Temanmu? ketemu dan kenal dimana? Seorang teman di Jakarta juga BBM "Kancamu kae Tridianto gemblung ya.... nekad banget deklarasi maju ketua Demokrat"... Wakkkkk. "Gemblung" di sini dalam dialek Banyumasan atau Tegalan bukanlah kata yang secara harfiah diartikan sebagai 'Gila' dalam pengertian 'tidak waras' tapi lebih sebagai ungkapan bernada guyonan yang menganggap luar biasa atau di luar batas kewajaran. Entah dari sudut mana di luar batas kewajarannya, mungkin karena yang 'dilawan' Tridianto adalah seorang SBY, yang dari sisi manapun bukan lawan tanding yang sepadan bagi seorang Tridianto. Kalau bicara soal hak, tentulah itu hak asasi Tridianto.
Bahwa Tridianto bukan lawan yang sepadan, secara tidak sadar diakui sendiri oleh Tridianto. Dalam berita di situs yang sama, Tridianto berkomentar yang menurut saya nggegeti (juga lugu) karena tidak biasa ditemukan dalam peristilahan politik kita. "Saya mewakili majelis rendah dan aspirasi bawah, dan Pak SBY majelis tinggi,” katanya.
Tentu Majelis Tinggi dikenal dalam struktur Partai Demokrat, tapi majelis rendah tidak dikenal dalam struktur partai. Majelis rendah ada dalam lembaga politik di beberapa negara. Jadi tidak connect sebenarnya ungkapan 'mewakili majelis rendah' vs 'mewakili majelis tinggi' dalam konteks pertarungan merebut Ketua Umum Demokrat. Kalau aspirasi bawah... okelah biasa kita dengar. Dan maksud Tridianto pastilah dia menganggap dirinya mewakili arus bawah, sedangkan SBY mewakili elite partai.
Kenapa Tridianto berani tampil, apakah ada yang men-setting untuk menjalani lakon yang sedang dijalani tsb? Seorang temannya sesama mantan pengusaha jamu berujar, Tridianto memang type pemberani dan bermental luar biasa. Soal sepak terjangnya yang menjadi 'menasional' sejak penetapan Anas Urbaningrum (AU) menjadi tersangka oleh KPK dan menjadi pembela setia AU, dipandangnya ibarat segmen 'goro-goro' dalam sebuah pentas pewayangan. Goro-goro ini merupakan babak dalam pagelaran wayang yang biasanya ditandai dengan kemunculan para punakawan (Gareng, Petruk, cs). Isinya merupakan petuah/pitutur/wejangan yang diselingi kisah humor segar oleh para punakawan.
Jadi gak ramai kalau tidak ada Tridianto, karena dialah yang dengan 'kepolosannya' mau melawan SBY, yang bisa menjadi 'humor segar' dalam kancah perpolitikan negeri ini. Cuma, dimana kita mendapatkan wejangan/pituah/pitutur dari aksi Tridianto ini ya? Apakah dari pembelajaran (hikmah) dibalik semua gonjang-ganjing partai itu, dimana sejatinya pengkaderan yang sebenarnya tidak berjalan di partai dan partai cenderung menjadi monarkis dengan kemunculan nama-nama dari dalam lingkaran SBY?
Artinya kita masih jauh dari demokrasi ideal dimana meritokrasi menjadi bagian penting dari proses demokrasi. (Meritokrasi menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan. Kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin),
Nah, Tridianto yang mewakili 'majelis rendah' yang justeru berani tampil, sementara tokoh-tokoh lain yang lebih punya kapasitas justeru malu-malu (walaupun mau sebenarnya) dan tidak mau terus terang maju sebagai Ketua Umum, apalagi setelah berkembang wacana pemunculan SBY dan Any Yudhoyono sebagai calon ketua umum.
Tridianto -- sampai kapan akan tampil di panggung 'goro-goro' Demokrat? Selamat menikmati perannya Mas Tri!
Dalam obrolan di pantry, kumpul dengan teman-teman, dan chat di BB nama Tridianto selalu menjadi bahan obrolan menarik. Seorang teman selalu sms kalau Tridianto sedang tampil di televisi "Tuh Tridianto temanmu lagi diwawancara di TV".... Temanmu? ketemu dan kenal dimana? Seorang teman di Jakarta juga BBM "Kancamu kae Tridianto gemblung ya.... nekad banget deklarasi maju ketua Demokrat"... Wakkkkk. "Gemblung" di sini dalam dialek Banyumasan atau Tegalan bukanlah kata yang secara harfiah diartikan sebagai 'Gila' dalam pengertian 'tidak waras' tapi lebih sebagai ungkapan bernada guyonan yang menganggap luar biasa atau di luar batas kewajaran. Entah dari sudut mana di luar batas kewajarannya, mungkin karena yang 'dilawan' Tridianto adalah seorang SBY, yang dari sisi manapun bukan lawan tanding yang sepadan bagi seorang Tridianto. Kalau bicara soal hak, tentulah itu hak asasi Tridianto.
Bahwa Tridianto bukan lawan yang sepadan, secara tidak sadar diakui sendiri oleh Tridianto. Dalam berita di situs yang sama, Tridianto berkomentar yang menurut saya nggegeti (juga lugu) karena tidak biasa ditemukan dalam peristilahan politik kita. "Saya mewakili majelis rendah dan aspirasi bawah, dan Pak SBY majelis tinggi,” katanya.
Tentu Majelis Tinggi dikenal dalam struktur Partai Demokrat, tapi majelis rendah tidak dikenal dalam struktur partai. Majelis rendah ada dalam lembaga politik di beberapa negara. Jadi tidak connect sebenarnya ungkapan 'mewakili majelis rendah' vs 'mewakili majelis tinggi' dalam konteks pertarungan merebut Ketua Umum Demokrat. Kalau aspirasi bawah... okelah biasa kita dengar. Dan maksud Tridianto pastilah dia menganggap dirinya mewakili arus bawah, sedangkan SBY mewakili elite partai.
Kenapa Tridianto berani tampil, apakah ada yang men-setting untuk menjalani lakon yang sedang dijalani tsb? Seorang temannya sesama mantan pengusaha jamu berujar, Tridianto memang type pemberani dan bermental luar biasa. Soal sepak terjangnya yang menjadi 'menasional' sejak penetapan Anas Urbaningrum (AU) menjadi tersangka oleh KPK dan menjadi pembela setia AU, dipandangnya ibarat segmen 'goro-goro' dalam sebuah pentas pewayangan. Goro-goro ini merupakan babak dalam pagelaran wayang yang biasanya ditandai dengan kemunculan para punakawan (Gareng, Petruk, cs). Isinya merupakan petuah/pitutur/wejangan yang diselingi kisah humor segar oleh para punakawan.
Jadi gak ramai kalau tidak ada Tridianto, karena dialah yang dengan 'kepolosannya' mau melawan SBY, yang bisa menjadi 'humor segar' dalam kancah perpolitikan negeri ini. Cuma, dimana kita mendapatkan wejangan/pituah/pitutur dari aksi Tridianto ini ya? Apakah dari pembelajaran (hikmah) dibalik semua gonjang-ganjing partai itu, dimana sejatinya pengkaderan yang sebenarnya tidak berjalan di partai dan partai cenderung menjadi monarkis dengan kemunculan nama-nama dari dalam lingkaran SBY?
Artinya kita masih jauh dari demokrasi ideal dimana meritokrasi menjadi bagian penting dari proses demokrasi. (Meritokrasi menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan. Kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin),
Nah, Tridianto yang mewakili 'majelis rendah' yang justeru berani tampil, sementara tokoh-tokoh lain yang lebih punya kapasitas justeru malu-malu (walaupun mau sebenarnya) dan tidak mau terus terang maju sebagai Ketua Umum, apalagi setelah berkembang wacana pemunculan SBY dan Any Yudhoyono sebagai calon ketua umum.
Tridianto -- sampai kapan akan tampil di panggung 'goro-goro' Demokrat? Selamat menikmati perannya Mas Tri!