|
Topeng dalam balutan batik Banyumasan |
Setiap tahun, Pemkab Banyumas rutin menggelar pawai budaya yang sejak dua tahun terakhir diberi judul "Banyumas Extravaganza". Sekalipun judul gelaran (kata extravaganza) mendapat kritik dari pegiat budaya lokal karena menggunakan istilah kebarat-baratan, namun pemkab tidak mempedulikan dan jalan terus dengan judul yang terkesan ingin meng-global itu. Nyatanya tahun ini, di peringatan hari jadi Kabupaten Banyumas ke 432, gelaran pawai budaya bertajuk Banyumas Extravaganza 2014 tetap digelar di Purwokerto, Minggu 27 April 2014, dengan rute jalan-jalan protokol di kota Purwokerto (ibu kota Kabupaten Banyumas).
Tujuan event ini tentu tidak sekedar 'nguri-uri' atau melestarikan budaya lokal Banyumas dalam ragam bentuk ekspresi kesenian, apakah itu musik dan tari tradisional, maupun ekspresi budaya lain misalnya dalam busana yang dicerminkan dalam pakaian khas Banyumasan dan tidak kalah menarik adalah produk batik Banyumasan yang selama ini kalah pamor dari batik Solo, Jogja atau bahkan Pekalongan. Namun lebih jauh lagi bagaimana menarik wisatawan untuk lebih mau datang ke Purwokerto dan Kabupaten Banyumas pada umumnya. Banyumas ingin menjadi daerah yang 'ngangeni' (bikin kangen) dan 'semedulur' (serasa saudara sendiri). Karena itu apa yang menjadi orang kangen pada Banyumas ditampilkan dalam event ini.
Karenanya pula tahun ini, tema batik Banyumasan dicoba untuk dikedepankan dalam tema "Topeng dalam balutan batik Banyumasan". Aneka kreasi topeng dengan motif batik cukup dominan dalam gelaran Banyumas Extravaganza tahun ini, walaupun apa makna dari tema itu secara filosofis masih dipertanyakan: Apakah sekedar memberi ruang bagi seniman untuk berkreasi dengan fokus pada topeng yang dibentuk dalam ragam variasi? Atau apakah tema "topeng" dipilih sebagai sindiran atas perilaku hipokrit (munafik) --beda antara kata dengan perbuatan-- yang makin menggejala di tengah masyarakat, termasuk para pejabat/politsisi? Entahlah....
Hasrat pemkab menjadikan event ini sebagai event yang mengangkat potensi Banyumas lebih 'menasional' tampak dari undangan yang hadir tahun ini. Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah, berkenan duduk berjam-jam menyaksikan parade peserta pawai, yang sudah sibuk mempersiapkan diri sejak pagi hingga berakhir lewat tengah hari. Sebagai guberur muda dan kesohor, tentu diharapkan dapat 'menyuarakan' potensi wisata Banyumas kepada dunia. Gayung bersambut, Gubernur Ganjar Pranowo pun berharap, Banyumas Extravaganza menjadi pawai budaya yang 'diperluas', dalam arti tidak hanya diikuti oleh peserta dari Kabupaten Banyumas, namun dari kabupaten-2 di sekitarnya di wilayah eks karesidenan Banyumas, sehingga event ini dapat 'menduniakan' Banyumas.Wow.. harapan yang sangat menarik!
Secara demikian, maka Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara akan diikutsertakan. Kalau mau keluar dari batas administratif, dengan tidak merujuk pada sekat birokrasi eks karesidenan, tapi lebih pada kesatuan (entitas) budaya, maka Kebumen layak ikut dalam gelaran pawai budaya karena baik bahasa maupun budaya secara umum lebih dekat --bahkan sangat dekat-- dengan Banyumasan daripada ke Kedu (seperti kita tahu secara birokrasi Kebumen adalah kabupaten yang masuk eks karesidenan Kedu). Lebih luas lagi bila mengacu pada bahasa yang digunakan di Jawa Tengah bagian barat ini, yang dikenal sebagai bahasa 'ngapak' yang meliputi Barlingmascakeb / Masbarlingcakeb (Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen) maka pawai budaya, karnaval, extravaganza atau apa pun istilah yang akan dipakai, akan lebih meriah dan besar apabila dikemas dalam "Banyumas Raya" ExtraVaganza.
Masalahnya apakah kabupaten-2 lain di luar Kabupaten Banyumas mau 'bergabung' ? Apalagi jika gelaran dipusatkan di kota Purwokerto, maka yang akan mendapat manfaat langsung adalah kota Purwokerto, dan kota-kota lain mungkin akan iri. Terkecuali bila gelaran ini diadakan secara bergilir, berpindah tiap tahun di kota-kota Barlingmascakeb. Ini sebenarnya sudah menyangkut teknis, yang lebih penting adalah komitmen bersama di antara pemkab dan tentu saja para pegiat seni budaya, apakah siap menyambut 'ajakan' Pak Gubernur untuk mengadakan gelaran pawai budaya 'yang diperluas' itu?
Jika bisa terwujud, sangat mungkin gelaran di kota kripik Purwokerto ini menjadi gelaran yang menasional, bahkan mendunia, mengikuti jejak karnaval / pawai budaya yang lebih dulu kesohor seperti
Jember Fashion Carnaval atau sering disebut JFC, sebuah even karnaval busana yang setiap tahun digelar di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Walaupun JFC lebih menitikberatkan pada show kreatifitas ektrim dalam kreasi busana sebagai ciri khasnya, Banyumas Raya Extravaganza bisa menitikberatkan pada kekayaan seni budaya lokal plus kreasi baru (inovasi) yang berbasis pada seni budaya lokal. Di era Bupati Mardjoko misalnya ada inovasi 'calengsai' (musik calung yang dipadu dengan lengger dan barongsai).
Misalnya lagi, sebagai bukan pegiat seni, hanya suka mengamati, saya terpikat dengan seni 'bambu luhur' dari Kedungbanteng, yang sangat sederhana hanya berupa bambu besar sekira panjang 5-6 meter yang dikuliti, kemudian digunakan untuk memikul pocongan padi, kemudian si pemikul berputar-putar. Nah ketika berputar -- tepatnya menggoyangkan ke kanan/kiri -- menghasilkan bunyi-bunyian yang menurut saya 'magis'... werrrr... werrrr.... Saya baru melihatnya di Banyumas Extravaganza kemarin. Kalau dikembangkan (ada inovasi ataupun kombinasi dengan seni lain) mungkin akan lebih menarik lagi. Tentu masih banyak lagi yang bisa ditampilkan dengan pembaruan di sana-sini.
|
Seni Bambu Luhur Kedungbanteng |
Semoga tahun-tahun mendatang bisa menyaksikan yang lebih menarik dan tidak 'itu itu' saja, dan ada yang merespon himbauan Pak Gubernur.
|
Wong Sawah - Sawah wong |
|
Aja Kaya Kiye - Kreasi DKKB |
|
Yossy dalam Batik Banyumasan |
|
Makin banyak manusia ber-topeng? |
|
Batik Banyumasan dalam sosok 'bidadari' |
|
"Orang Utan" dari lereng Gn Slamet (Baturaden) |
|
Gaya Metalik berbalut Batik |