Membaca adalah gerbang ilmu, jalannya 'suka' dan jembatannya adalah buku. Maka pernah ada penerbit bernama 'Djambatan'. Penerbit buku-buku 'berat'. Tentu tidak saja buku, media lain seperti koran, jurnal, tabloid, majalah tentu juga merupakan sumber pengetahuan (kalau tidak bisa dikatakan sbagai 'ilmu' dalam pengertian yang lebih akademis). Selain media tulis-menulis ini, warta berita radio juga sumber pengetahuan berharga, paling tidak di era 'jaman dulu'.
Tentang radio, saya jadi teringat ketika masih SD (kelas 5-6), karena bapak senang mendengarkan siaran radio BBC London dari radio merk Phillips dengan energi batu baterai, jadi kecanduan ikut mendengarkan berita BBC. Karena seringnya mendengar nama kepala negara disebut dalam berita, terutama negara-2 konflik, saya jadi hafal nama-nama pemimpin dunia (tanpa membaca bku Himpunan Pengetahuan Umum/HPU). So, di kelas kalau Pak Soemarso (alm guru SD saya) memberi pertanyaan dengan bonus 'siapa yang bisa menjawab pertanyaan boleh pulang duluan', kalau pertanyaan menyangkut "siapa nama baru Presiden Amerika Serikat?" atau "siapa nama Perdana Menteri Inggeris saat ini?" dapat dipastikan saya yang bisa menjawab dan boleh pulang duluan... Duh, senangnya. Ya tentu saja, karena saya paling dulu tahu dari berita BBC setelah pilpres di AS dan pemilihan PM di Inggeris. Rupanya Pak Marso (begitu beliau dipanggil) suka juga mendengarkan BBC.
Ketika masih sekolah di SD pula, tanpa disengaja, saya menemukan buku usang 'Sejarah Indonesia' karya Anwar Sanusi, tiga perempat bagian 'Di Bawah Bendera Revolusi" (yang sepertiga hilang entah kenapa, mungkin disobek untuk bungkus gorengan oleh yang tidak tahu bahwa itu adalah buku penting dan fenomenal!). Yang paling saya ingat dari buku itu adalah idiom "Islam Sontoloyo". Juga buku bersampul biru ukuran mini dari Partai Masyumi (judulnya lupa, tapi isinya manifesto penolakan terhadap PKI). Dan tentu saja buku "Primbon Butaljemur Adammakna" (ini punya kakek saya, alm Saleh --semoga diterima di sisi-Nya. Amien) . Adanya iklan TV 'ketik Reg spasi Primbon krim ke nomor .... meningatkan saya pada buku kumal itu.
Kelak di SMA saya mulai tahu kenapa Di Bawah Bendera Revolusi saat itu dilarang, kemudian waktu mahasiswa sedikit ada informasi siapa Anwar Sanusi. Mengenai Masyumi mulai gamblang ketika ikut pengajian PII (Pelajar Islam Indonesia) di SMA, karena selalu menokohkan pentolan-2 Masyumi sebagai figur politik. Persentuhan dengan buku kumal, berita radio, dan inspirasi seorang kawan yang lebih tua yang 'kutu buku' (saya sering pinjam buku-2 dan majalah al-Muslimun Bangil --tks Pak Tholib Hasibuan!) menjadikan minat besar pada soal sosial- politik. Kebetulan P4 sedang getol disosialisasikan dan asas tunggal sedang 'dimunculkan' oleh rezim saat itu. Nama Deliar Noer dengan buku (yang berasal dari pidatonya) yang menentang asas tunggal mencuat ke permukaan. Saat masih SMA itu pula kalau jalan-jalan malam dan di trotoar ada pedagang buku dan majalah loak, saya beli (sekalipun uang saku mesti minta lagi ke ortu -- SMA sudah 'ngekos'). Majalah --tepatnya jurnal-- Prisma dari LP3ES sering saya dapatkan di kaki lima itu.
Karena suka dengan perkembangan politik, sering beli juga majalah Panji Masyarakat --majalah paling populer di tahun 80-an (selain Tempo tentunya). Kalau korannya pilih Pelita yang suka mengkritik pemerintah dan Golkar (terutama menjalang Pemilu). Di SMA pula mengenal stensilan 'Mahasiswa Menggugat' dari kakak seorang teman yang kuliah di UI. Buku --karena mahal-- sering baca di perpustakaan sekolah (yang alhamdulillah lumayan bagus karena siswa yang lulus wajib menyerahkan buku bebas ke sekolah). Buku Humanisme Islam-nya Maurice Bucaile sudah ada di perpus SMA N 1 Slawi, juga buku-2 Harun Nasution (Filsafat Agama), Nazwar Syamsu, dan HM Rasyidi. Tentu saja buku-2 sastra dari semua angkatan tersedia cukup lengkap. Di perpus SMA pula saya membaca majalah (An-Nur?) milik Ahmadiyah. Rupanya ada pegawai TU yang pengikut aliran ini, dan dia punya cara 'menebar' ajaran dengan menaruh majalah itu di perpus agar dibaca orang lain.
Eit.. kok jadi membicarakan masa lalu? Bukankah topiknya ingin membahas bagaimana anak kita suka membaca? Aduh.... ngelantur nih. Ok, satu keadaan yang sebenarnya tidak di-skenario oleh orang tua, saya menjadi suka mendengar berita radio, mulai membaca buku-buku orang dewasa dan pengaruhnya adalah pada minat yang begitu besar pada bidang sosial-politik, sehingga jadilah ketika memilih jurusan saat diberi formulir PMDK saya memilik FISIPOL UGM, jurusan Komunikasi. Yang ingin dijadikan patron, patern, atau pola adalah: bagaimana agar anak-anak kita suka membaca...
Dari pengalaman waktu kecil, saya pun tidak meminta dengan 'paksa': hai nak, kamu baca buku ini, buku itu, dst.... Tapi lebih kepada menunjukkan contoh. Rak buku dibiarkan terbuka, sehingga anak bisa melihat-lihat koleksi dan siapa tahu (siapa tahu yang sebenarnya: diharapkan) tertarik untuk membaca. Ketika jalan-2 ke mall, tak lupa juga mampir toko buku... dan mempersilahkan mau beli buku apa.... Kalau minta dibelikan mainan kadang dibelokan: mending kamu beli buku...
Bagaimana dengan Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar