Terninal Kebumen |
Dalam perjalanan antara Gombong-Purworejo, bus memasuki dua terminal besar (Type A): Kebumen dan Purworejo. Soal terminal bus ini yang ingin saya berbagi.
Bus masuk ke terminal untuk bayar retribusi dan tampak sebagai formalitas saja. Karena di situ bus tidak menurunkan dan menaikkan penumpang, sebagai fungsi didirikannya terminal. Ini sungguh ironis. Bus hanya masuk dan berputar saja. Apakah karena lokasinya yang jauh dari keramaian (pemukiman, pasar, kompleks pertokoan) sehingga orang malas naik/turun di situ, karena untuk mencapai point yang dituju harus menggunakan moda lain (angkot) dan butuh waktu lama? Demikian juga mereka yang akan naik, lebih baik menunggu di tempat 'ngetem' yang berada dekat dengan pusat kota. Ini terjadi baik di Kebumen maupun Purworejo.
Pendirian terminal yang berbiaya besar (Terminal Kebumen konon menghabiskan 13 milyar) dengan lokasi menjauh dari kota pasti dimaksudkan untuk memperluas area keramaian sehingga kemajuan daerah akan terlihat. Namun tujuan ini tidak tercapai, karena bukan kebutuhan masyarakat yang difokuskan, namun lebih kepada kepentingan tata ruang dan kepentingan lain yang saya tidak tahu. Bahwa terminal menjadi titik temu inter moda / koneksi angkutan tidak berjalan.
Kondisi terminal pun tampak lengang. Hanya beberapa bus Sinar Jaya parkir di situ. Bus Sinar Jaya ini kebanyakan jurusan Jakarta yang berangkat sore hari, dengan point keberangkatan dari agen-agen di kota-kota kecamatan. Rumput dan ilalang tampak dibiarkan meninggi, tanda tidak ada perawatan. Area-area yang disebutkan sebagai area kedatangan dan keberangkatan Angkot sama sekali tidak digunakan, menandakan inter koneksi moda angkutan yang direncanakan tidak berjalan.
Lalu mengapa bus harus tetap masuk terminal kalau begitu ya? Berapa waktu yang digunakan untuk memutar, apalagi di Purworejo yang terminalnya masuk ke dalam dengan jalan berkelok-kelok. Kalau harus membayar TPR bukankah cukup di pos pinggir jalan, pikir saya. (Mungkin pikiran saya ini terpengaruh oleh waktu yang sudah mepet dimana saya haru sampai di tujuan pada jam sekian-sekian ... he3). Keadaan ini menjadikan angkutan umum bus tidak efisien, dan ditinggalkan oleh orang. Kondisi bus AKAP (antar kota antar propinsi) non PATAS yang 'jelek' menandakan tidak adanya kemampuan perusahaan untuk melakukan peremajaan armada, ini tentu karena secara hitung-hitungan investasi bus baru tidak 'cucuk' dengan pendapatan.
Kambali ke soal terminal. Boleh dibilang terminal-2 bus itu mangkrak. Kondisi terminal Purwokerto saya lihat lebih hidup, aktifitas terbilang tinggi. Mungkin karena Purwokerto salah satu destinasi besar/utama, bukan transit (sebagaimana Purworejo dan Kebumen) sehingga inter koneksi moda angkutan lebih bisa berjalan.
Ini belum bicara kondisi kenyamanan terminal, karena bisa saja orang malas ke terminal karena trauma atau image yang negatif pada terminal. Takut diganggu preman misalnya. Tapi saya tidak berprasangka demikian pada terminal bus yang saya lewati. Itu cap yang pernah saya dengar tentang terminal bus pada umumnya.
Mungkin sebaiknya --ini pendapat sebagai awam soal transportasi-- terminal bus di kota-kota transit (bukan destinasi utama) sebaiknya dibuat seperti halte-halte saja, yang terdiri dari beberapa jalur untuk antisipasi bus yang berhenti dengan tujuan berbagai kota. Dia berhenti sampai dengan bus di belakangnya yang satu trayek 'nyundul' atau bisa saja dia tidak perlu menunggu yang di belakang kalau memang sudah penuh. Lokasinya pun dipilih tidak terlalu jauh dari keramaian pusat kota seperti pasar atau pusat perbelanjaan. Terminal yang ada diapakan dong? Ya bisa saja dimanfaatkan untuk pangkalan bus antar kota yang memang trayeknya dimulai/diakhiri di kota tersebut, bisa juga untuk terminal peti kemas, atau mungkin dibangun mall di situ ... (ah, ini usulan-2 yang 'maksa' ya...).