Tanggal 22 Juli 2014 hari penentuan KPU untuk mengumumkan pasangan
capres-cawapres yang menjadi pemenang dalam Pilpres 2014. Siapapun yang menang
sesuai rekapitulasi suara oleh KPU, sepanjang nantinya tidak ada gugatan hukum
yang menghasilkan putusan berbeda, ialah pasangan yang akan menjadi nakhoda
NKRI 5 tahun ke depan (2014-2019) yang penuh tantangan dan berat karena
berbagai persoalan yang menyelimuti negeri ini.
Pra dan pasca pengumuman ini, tampak ketegangan para elite
poltiik dan tim suskes (timses), terlihat dari perang pernyataan dan klaim
kemenangan maupun klaim telah dicurangi bertebaran di media, baik media massa
maupun media sosial (medsos). Demikian pula para pendukung fanatik
masing-masing, tampak dari postingan di medsos yang kadang provokatif, nyinyir, dengan bahasa-bahasa yang menjurus
kasar. Tata krama komunikasi di medsos kontradiktif dengan citra bahwa bangsa
ini adalah bangsa yang ramah, sopan, santun dan tepo selira. Sampai-sampai Panglima TNI Jenderal Moeldoko berujar
perang di dunia maya sulit dikendalikan, seraya ia berharap perang hanya
terjadi di dunia maya, tidak akan terjadi di dunia real.
Dunia memang sudah berubah, tata nilai lama cara
berkomunikasi yang penuh dengan sanepo, maksud utama tersembunyi dibalik
kata-kata yang tersurat, bertrasformasi menjadi nilai-nilai baru yang lebih
egaliter, transparan dan bersifat langsung. Batas antara yang egaliter,
transparan dan langsung itu kadang sangat tipis dan ‘debateble’ dengan penghinaan, pelecehan, pembunuhan karakter dan
sifat-sifat jelek lainnya. Inilah resiko keterbukaan dan kebebasan yang kita
dapatkan, dan harus diterima menjadi kenyataan dan menjadi bagian dari
perjalanan kehidupan bangsa.
Mensikapi Hasil Rekap
KPU
Yang lebih penting saat ini adalah pensikapan atas
pengumuman KPU. Baik kandidat, timses maupun pendukung diharapkan mengedepankan
sikap kedewasaan, bijak, dan melihat kepentingan yang lebih besar alias
maslahat bagi bangsa. Sikap ini berlaku bagi yang menang maupun yang kalah. Sing menang ora umuk, sing kalah ora
ngamuk. Yang menang tidak sombong, dan yang kalah tidak rusuh. Demikian
jargon positif yang bertebaran di medsos.
Yang menang, Jokowi-JK dengan perolehan suara 53%, tidak perlu
menganggap rendah yang kalah (menang
tanpa ngasorake), tetap menaruh respek dan apresiasi kepada yang kalah,
karena telah menjadi partner yang seimbang dalam proses menuju kekuasaan
pemerintahan. Apalagi dengan selisih tidak sampai 2 digit (hanya sedikit di
atas 50 %), mensiratikan dukungan yang tidak bulat dan berpotensi menjadi handicap dalam mengendalikan
pemerintahan, apabila kubu pemenang tidak bisa mengambil hati pihak yang kalah.
Upaya kandidat lain yang sangat gigih, perlu diapresiasi karena menjadikan
upaya yang harus lebih gigih lagi dari tim Jokowi-JK agar terus punya energi
menuju kemenangan. Karenanya selebrasi
yang berlebihan hanya akan membuat luka hati sang partner dan berpotensi
menutup pintu rekonsiliasi.
Yang kalah, Prabowo-Hatta dengan perolehan 47%, tidak perlu merasa rendah, apalagi terhina dan
menyesal berkepanjangan. Karena segala upaya faktanya telah dilakukan, telah ‘fulltilt’ meminjam istilah James Gwee,
dalam upaya berkreasi merebut simpati rakyat melalui berbagai saluran yang
mungkin bisa dilakukan. Media TV, radio, koran, media online, medsos, timses
yang berada di lapangan – pendeknya matra laut, darat dan udara sudah
ditempuh—sudah dicoba untuk meraup dukungan sebanyak-banyaknya. Dan hasilnya
–meskipun tetap belum menang—sebenarnya mencerminkan upayanya yang sudah sangat
keras (dalam bekerja).
Kalau menilik survey beberapa bulan lalu, yang dirilis
Indikator Politik pada Oktober 2013, dalam simulasi 4 calon presiden (Jokowi, Prabowo, Aburizal, Dahlan), hasil survey
untuk Prabowo hanya 15 %, sementara Jokowi sudah pada posisi 47,4%. Sementara
Aburizal 12,6%, Dahlan 3,7 % dan belum tahu 20,5%. Hasil survey selalu menempatkan
Jokowi bertengger di atas, bahkan pernah di atas 60 %, sampai-sampai ada pengamat
yang bersedia dipotong lehernya apabila Jokowi kalah dalam Pilpres 2014
Dalam simulasi head to
head Jokowi dengan Prabowo pun, masih dari survey Indikator Politik,
Prabowo memperoleh 17,5% sementara
Jokowi 49,1%. Dilihat dari basis hasil survey tsb, kemudian disusul pileg, deklarasi,
dan kampanye pilpres satu bulan, Prabowo pada akhirnya bisa menembus ‘hanya’ kurang 4 % untuk meraih keunggulan menjadi 50% +1. Ini adalah
prestasi yang luar biasa secara angka, yang sangat akseleratif sebenarnya.
Artinya sudah meroket hampir 3 kali lipat. Artinya pula Prabowo berhasil
mengalihkan sebagian besar mereka yang sebelumnya memilih kandidat lain selain
Jokowi dan mereka yang belum menentukan pilihan saat survey untuk mendukung
Prabowo.
Seandainya kemenangan tidak ditentukan oleh suara terbanyak,
tetapi oleh peningkatan jumlah dukungan, maka pihak yang kalah ini adalah (sesungguhnya)
pemenangnya! Capaian yang sangat luar biasa. Tapi, konstitusi sekali lagi harus
dihormati. Penghormatan pada proses legal sebagai bentuk prosedur demokrasi
bagaimanapun harus diterima dengan lapang dada. Penerimaan inilah yang kelak
akan dikenang sebagai sumbangsih bagi pendewasaan kehidupan bernegara.
Tentu saja –menurut Undang-Undang—kandidat bisa melaporkan
kecurigaan adanya kecurangan kepada MK. Namun apabila bukti-bukti yang diajukan
tidak signifikan mempengaruhi hasil Pilpres, pengunduran pengumuman ataupun
pengulangan pilpres hanya akan memakan waktu dan juga biaya, dan tentunya
ketidakpastian yang memanjang.
Inspirasi para
pendiri NKRI
Para pentolan Masyumi, sekalipun tidak pernah memenangkan
Pemilu, dan kalah dalam sidang Konstituente, dikenang sebagai para politisi
yang memiliki sikap sebagai negarawan. M. Natsir, Prawoto Mangunkusumo, Buya
Hamka, Kasman Singodimejo, dan lain-lain senantiasa dikenang sebagai
tokoh-tokoh yang dihormati karena kesetiannya pada proses demokrasi (dan
musyawarah) dan tidak menjadikan mereka para pengkhianat negeri dengan cara-cara non-prosedural meraih kekuasaan, ketika mereka
kalah dalam sidang-sidang konstituante. Persahabatannya dengan ‘lawan’ politik
juga banyak dikenang, karena mengedepankan sisi humanis ketika saling bergaul
dalam keseharian. Persahabatan M Natsir dengan IJ Kasimo, petinggi Partai
Katholik, banyak dikenang dan seharusnya menjadi inspirasi bagi politisi kini. Beda
ideologi tidak menjadikan persahabatan mereka luntur.
Demikian pula Bung Karno dengan Bung Hatta. Sekalipun
ide-ide Bung Hatta dalam perjalanan Indonesia pasca kemerdekaan ‘tidak terpakai’
karena kuatnya dukungan pada ide-ide Bung Karno, tidak menjadikan Bung Karno
melepaskan persahabatan dengan Bung Hatta, alias tidak pernah menghapus rasa
hormat Bung Karno pada Bung Hatta. Sehingga ketika suatu saat ada orang-orang
yang bersikap ABS (asal bapak senang) pada Bung Karno dengan cara akan
menghilangkan “Hatta” dari teks proklamasi, Bung Karno sangat marah dan
menyatakan dia memang berbeda pandangan dengan Bung Hatta dalam banyak hal,
tetapi menghilangkan “Hatta” dari teks Proklamasi bagi Bung Karno adalah suatu
kejahatan.
Atau kisah lain yang sangat menyentuh, ketika Soekarno
bersikeras agar ketika kelak beliau wafat, agar Buya Hamka yang mensholatkan
jenazahnya. Padahal Bung Karno-lah yang tanpa alasan hukum jelas menjebloskan
Buya Hamka ke dalam penjara. Dan Buya Hamka, dengan ikhlas tetap memenuhi
keinginan Bung Karno itu. Bung Karno juga menginginkan keranda jenazahnya
diselimuti dengan bendera Muhammadiyah, sementara secara politik dia
berseberangan dengan banyak tokoh Muhammadiyah yang banyak aktif di Masyumi.
Sedangkan Bung Karno sendiri dalam aliansi Nasakom dekat dengan tokoh-tokoh NU.
Bisakah para petinggi politik yang sedang di atas panggung
nasional saat ini meniru dan mengambil pelajaran dari para pemimpin senior,
para pendiri NKRI, para founding fathers negeri ini? Tidak hanya dalam sorot
kamera, namun dalam keseharian. Tidak demi pencitraan, tapi dalam kesejatian. Rakyat mengharapkan elit meneladani para pendahulu itu.
MP 22 Juli 2014