Jumat, 22 Agustus 2014
Selamat datang Presiden baru
Selasa, 12 Agustus 2014
Urgensi angkutan barang kereta api
Tokoh masyarakat Bumiayu menyampaikan petisi berisi penolakan masuknya truk besar ke dalam kota, yang membuat tambah ruwetnya kemacetan di dalam kota Bumiayu. Petisi lainya berupa himbauan kepada PT KAI untuk mengakomodasi aspirasi warga Bumiayu bisa naik dan turun dengan kereta api dari stasiun Bumiayu. Kedua isi petisi ini berkaitan langsung dengan lini bisnis kereta api.
Masuknya truk besar, tronton, kontainer panjang melalui Bumiayu adalah imbas amblesnya jembatan Comal. Jalur Tegal/Brebes - Bumiayu - Ajibarang menjadi perpindahan angkutan dari Jabar ke Jateng dan Jatim dan sebaliknya. Kepadatan jalur ini oleh truk besar dengan jumlah ban lebih dari 24 terjadi pasca lebaran setelah angkutan barang diperbolehkan beroperasi. Lebar jalan yang tidak selebar jalur pantura dan banyaknya tikungan tajam dan tanjakan, menjadikan laju kendaraan tidak maksimal. Truk mogok pun sering tejadi, yang mengharuskan kendaraan antri satu satu. Kalau sudah begini, kemacetan semakin menjadi. Bumiayu ke Purwokerto yang normal ditempuh 1 jam bisa menjadi 4 sampai 8 jam.
Masih banyaknya truk besar ini menunjukkan moda transportasi barang masih didominasi oleh truk. Kemacetan dan tentu saja menjadi pemborosan, tidak akan terjadi jika angkutan barang dengan kereta api sudah maksimal. Rencana kereta api menaikkan pendapatan dari lini angkutan barang menjadi 60 persen dari saat ini 40 persen (perbandingan dengan angkutan penumpang menjadi 60:40), sangat relevan dan harus segera direalisasikan.
Dengan beralihnya angkutan barang ke kereta api, bukan saja mengurangi kepadatan lalu lintas jalan raya, tapi juga banyak penghematan : hemat pemeliharaan infrastruktur, hemat BBM dari pemborosan karena kemacetan, hemat karena dimungkinkan harga barang yang bisa ditekan karena pengurangan biaya ekspedisi.
Usulan masyarakat Bumiayu untuk bisa naik dan turun dari stasiun Bumiayu bisa diakomodasi dengan beberapa kereta diminta berhenti di stasiun Bumiayu. Atau kalau penumpang sudah padat, bisa mengadakan kereta api jurusan Bumiayu Jakarta PP misalnya, yang bisa mengangkut penumpang yang selama ini memakai bus.
Semoga PT KAI cepat merespon. Amien yra.
Kamis, 07 Agustus 2014
Jilboobs vs Jilbab : Fesyen vs syariah?
Belakangan muncul kontroversi terkait munculnya jilboob, pakaian wanita yang menutup aurat namun dengan potongan ketat sehingga bagian lekuk tubuh wanita tampak menonjol. Misalnya bagian dada, pinggang, dan paha serta betis karena celana yang ketat / leging. Bagian dada selain tampak menonjol karena baju yang ketat, juga karena kerudung yang dipakai hanya sebatas leher, diselempangkan atau dililitkan di leher, bukan kain yang dijulurkan secara longgar menutup dada.
Inikah fesyen dalam jilbab? Sebagian mengatakan para pemakai jilboob ini setengah hati memakai busana muslimah. Kenapa? Karena tujuan hakiki memakai jilbab diabaikan, dimana penampakan tubuh tidak hanya harus rapat, namun juga tidak menonjolkan bagian tertentu tubuh wanita yang sudah menonjol secara kodrati. Mereka ini masih tergoda ingin tampil modis dan seksi. Tapi ingin juga rapat. Nanggung.
Busana muslimah jilbab sebenarnya di pedesaan sudah menjadi bagian dari peradaban. Keseharian perempuan memakai 'baju kurung' yang selain rapat juga longgar. Semacam gamis. Di awal 80an jilbab menjadi simbol perlawanan muslim kelas menengah kota, ketika pemakaian jilbab di sekolah dan kampus umum dilarang oleh kementerian pendidikan. Tuduhan ekstrim sering dialamatkan pada kelompok ini. Namun berangsur pemakaian jilbab mulai diterima. Di sekolah menengah umum aktifis PII yang gencar mengkampanyekan pemakaian jilbab ini, dan di perguruan tinggi umum HMI lah yang berperan selain lembaga dakwah kampus (LDK).
Kini pemakaian busana muslimah di sekolah dan kampus umum sudah bukan isu lagi. Bahkan sekolah negeri dari SD hingga SMA banyak yang menerapkan sebagai pakaian seragam harian. Kalau sekolah dan kampus keagamaan (Islam) tentunya sudah sejak dulu menerapkan.
Apakah jilbab kehilangan roh-nya sehinggga muncul fenomena jilboob? Arti jilbab sudah tidak lagi menjadi simbol perlawanan dan show eksistensi keberagamaan. Tapi sudah menjadi pakaian biasa dalam keseharian sehingga pertimbangan syariah (mana yang memenuhi syarat syar'i) tidak lagi dianggap penting?
Mungkin akan timbul pertanyaan juga, bukankah masih lebih baik berjilboob daripada memakai pakaian dengan fesyen model barat yang memperlihatkan aurat, celana pendek, tank top, u can see, dan pakaian terbuka lainnya? Secara syariah mungkin belum sesuai 100 persen, namun kalau perspektif-nya diubah dari sudut 'proses menuju yang sesuai', mungkin akan ada permakluman. Bukan menganggap itu sebagai suatu yang boleh dan benar, tapi dalam rangka menuju kebenaran.
Apalagi kita juga menyaksikan mereka yang semula berjilbab kemudian melepasnya dan kembali memakai pakaian 'terbuka'. Terutama pada kalangan artis. Yang tidak boleh tentunya adalah kesengajaan memakai jilboob dengan keyakinan bahwa jilboob juga bentuk pakaian yang sudah sesuai syariah. Karena kalau sudah menyangkut hukum tentunya harus merujuk pada dalil agama dan fatwa ulama.