Penangkapan sejumlah artis karena penyalahgunaan narkoba, satu di antaranya Wanda Hamidah anggota DPRD DKI Jakarta dan satu lainnya Raffi Ahmad sedang digadang-gadang untuk menjadi calon legislatif, mengungkap kembali sisi buruk kehidupan artis. Tanggapan pun beragam, salah satunya yang mengiringi adalah terkait rekrutmen politisi dari kalangan artis oleh partai politik. "Inikah politisi Indonesia, yang tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, asalkan populer bisa duduk di kursi wakil rakyat?" --begitulah salah satu comment yang saya cuplik dari jejaring sosial.
Rekrutmen politik menjadi bahasan yang selalu menarik. Dan tiap parpol punya caranya sendiri menarik tokoh sebagai vote getter. Parpol dengan basis keagamaan, akan menarik tokoh dari kalangan ulama / kyai / pendeta / tokoh agama dengan harapan pengikutnya akan memilih parpol tsb, Ini sangat wajar. Tokoh pengusaha direkrut dengan harapan sumber dana dan jaringan akan membantu membesarkan partai. Kesimpulannya, politisi lahir bukan dari rahim parpol sebagai hasil proses penempaan kaderisasi melalui berbagai pelatihan dan perjuangan di internal partai, namun menjadi tokoh dulu di luar partai, baru dicomot untuk kemudian diminta membesarkan parpol.
Partai tertentu disebut-sebut memiliki sistem kaderisasi yang bagus. Namun toh tidak menutup peluang bagi kader non partai menjadi calon legislatif. Ini harus dilakukan karena ekstensifikasi konstituen perlu dilakukan agar patai makin memperoleh banyak suara. Di tngkat lokal, maka hubungan-hubungan kekerabatan, kedaerahan, sangat kental mewarnai alasan orang memilih si A atau si B. Visi dan Misi seorang kandidat menjadi pertimbangan nomor sekian. Di tingkat regional dan nasional lebih pada menekankan 'siapa' yang menganjurkan memilih dia. Patronase masih tinggi. Demokrasi rasional masih di angan-angan.
Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya masyarakat pemilih. Mengapa? Karena terbatasnya referensi yang bisa diperoleh oleh pemilih tentang kandidat yang ada. Hanya mendengar nama sudah bagus, kadang nama orang yang harus dipilih baru diketahui jelang pemilihan. Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh parpol untuk mengajukan kandidat yang sudah dikenal, populer, dan tidak asing bagi masyarakat, mengajukan artis sebagai kandidat. Soal bagaimana kompetensinya di bidang politik, ah... itu nanti bisa dipelajari.
Tidak semua kandidat dari kalangan artis seburuk yang kita stigmakan. Pasti ada yang baik juga. Dan sebagai warga negara, sah-sah saja mereka terjun di politik. Hanya saja kalau terus menerus seperti ini rekrutmen politik, maka demokrasi rasional tidak akan pernah ada di negeri ini alias utopia belaka.
Rekrutmen politik menjadi bahasan yang selalu menarik. Dan tiap parpol punya caranya sendiri menarik tokoh sebagai vote getter. Parpol dengan basis keagamaan, akan menarik tokoh dari kalangan ulama / kyai / pendeta / tokoh agama dengan harapan pengikutnya akan memilih parpol tsb, Ini sangat wajar. Tokoh pengusaha direkrut dengan harapan sumber dana dan jaringan akan membantu membesarkan partai. Kesimpulannya, politisi lahir bukan dari rahim parpol sebagai hasil proses penempaan kaderisasi melalui berbagai pelatihan dan perjuangan di internal partai, namun menjadi tokoh dulu di luar partai, baru dicomot untuk kemudian diminta membesarkan parpol.
Partai tertentu disebut-sebut memiliki sistem kaderisasi yang bagus. Namun toh tidak menutup peluang bagi kader non partai menjadi calon legislatif. Ini harus dilakukan karena ekstensifikasi konstituen perlu dilakukan agar patai makin memperoleh banyak suara. Di tngkat lokal, maka hubungan-hubungan kekerabatan, kedaerahan, sangat kental mewarnai alasan orang memilih si A atau si B. Visi dan Misi seorang kandidat menjadi pertimbangan nomor sekian. Di tingkat regional dan nasional lebih pada menekankan 'siapa' yang menganjurkan memilih dia. Patronase masih tinggi. Demokrasi rasional masih di angan-angan.
Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya masyarakat pemilih. Mengapa? Karena terbatasnya referensi yang bisa diperoleh oleh pemilih tentang kandidat yang ada. Hanya mendengar nama sudah bagus, kadang nama orang yang harus dipilih baru diketahui jelang pemilihan. Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh parpol untuk mengajukan kandidat yang sudah dikenal, populer, dan tidak asing bagi masyarakat, mengajukan artis sebagai kandidat. Soal bagaimana kompetensinya di bidang politik, ah... itu nanti bisa dipelajari.
Tidak semua kandidat dari kalangan artis seburuk yang kita stigmakan. Pasti ada yang baik juga. Dan sebagai warga negara, sah-sah saja mereka terjun di politik. Hanya saja kalau terus menerus seperti ini rekrutmen politik, maka demokrasi rasional tidak akan pernah ada di negeri ini alias utopia belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar