Tergelitik untuk berceloteh tentang politik, karena tingkah aneh politisi terkait hasil verifikasi KPU sehingga banyak parpol harus gugur sebelum bertanding dalam Pemilu 2014. Kalau sudah terbukti tidak mampu membentuk kepengurusan sesuai Undang-Undang, mestinya legowo, tidak perlu mencari-cari alasan bahwa Pemilu itu bentuk keragaman maka harus mengakomodir partai-partai kecil dsb.... Mau sampai kapan proses seperti ini harus dijalankan? Hemat saya KPU harus tegas dan tidak ada toleransi lagi. Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan kalau setiap kali mau Pemilu mesti ada verifikasi ulang. Usai Pemilu 2014 parpol yang layak ikut Pemilu sudah seharusnya didasarkan pada raihan suara pada Pemilu sebelumnya dengan threshold sekian persen sesuai yang diputuskan.
Sejarah bangsa ini memang mencerminkan kita ini senang dengan keriuhan politik. Peserta Pemilu di Indonesia dari tahun ke tahun penyelenggaraan menunjukkan dinamika politik kita. Di Pemilu pertama 1955 jumlah partai politik ada 172 parpol. Pemilu 1971 ada 10 parpol, dan setelah itu di Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 jumlah parpol disederhanakan oleh rezim Orde Baru (era Soeharto) menjadi 3 parpol: PPP, Golkar dan PDI (dengan urutan selama 5 kali Pemilu tetap seperti itu). Di masa orde baru ada seloroh "sebenarnya tidak usah Pemilu, karena pemenangnya sudah bisa dipastikan yaitu Golkar". Ya karena cengkeraman kekuasaan Soeharto sangat kuat sehingga tidak ada celah untuk PPP dan PDI memenangkan Pemilu. Sering dikritik bahwa parpol di masa orde baru hanya kosmetik, pemanis saja agar tetap bisa disebut Indonesia menganut demokrasi, dengan ciri ada pemilihan umum. Kekuasaan sesungguhnya terpusat pada satu figur: Soeharto.
Sejarah bangsa ini memang mencerminkan kita ini senang dengan keriuhan politik. Peserta Pemilu di Indonesia dari tahun ke tahun penyelenggaraan menunjukkan dinamika politik kita. Di Pemilu pertama 1955 jumlah partai politik ada 172 parpol. Pemilu 1971 ada 10 parpol, dan setelah itu di Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 jumlah parpol disederhanakan oleh rezim Orde Baru (era Soeharto) menjadi 3 parpol: PPP, Golkar dan PDI (dengan urutan selama 5 kali Pemilu tetap seperti itu). Di masa orde baru ada seloroh "sebenarnya tidak usah Pemilu, karena pemenangnya sudah bisa dipastikan yaitu Golkar". Ya karena cengkeraman kekuasaan Soeharto sangat kuat sehingga tidak ada celah untuk PPP dan PDI memenangkan Pemilu. Sering dikritik bahwa parpol di masa orde baru hanya kosmetik, pemanis saja agar tetap bisa disebut Indonesia menganut demokrasi, dengan ciri ada pemilihan umum. Kekuasaan sesungguhnya terpusat pada satu figur: Soeharto.
Nah di era reformasi, ibarat kuda lepas dari kandangnya, muncul euforia politik luar biasa. Maka pada Pemilu 1999 ada 48 parpol, di Pemilu 2004
menyusut menjadi 24 parpol, dan di Pemilu 2009 membengkak lagi menjadi 38 parpol. Nah di Pemilu 2014 nanti KPU pada rapat pleno
Selasa 8 Januari 2013, menetapkan 10 partai politik
yang berhak ikut sebagai kontestan pada pemilu 2014. Ini tertuang dalam keputusan KPU No.5/Kpts/KPU/2013 tentang penetapan partai politik peserta pemilu tahun 2014.
Hanya Nasdem partai baru non-parlemen saat ini yang akan ikut bersaing merebut hati rakyat. Keberhasilan Nasdem tidak lepas dari dukungan dana besar dari para penyokongnya di Jakarta yang terdiri dari para pengusaha. Iming-iming dana kampanye milyaran yang ditawarkan ke daerah, rupanya menarik politisi di daerah untuk bergabung ke Nasdem.
Keriuhan politik sering menimbulkan ketidakstabilan politik yang berujung pada lambannya perekonomian. Sibuk dengan urusan kekuasaan, pemerintah lupa pada tugasnya membangun dan mensejahterakan rakyat. Contoh nyata saja betapa infra struktur di tahun-tahun belakangan ini sangat jelek. Jalan raya misalnya. Sebagai pembayar pajak rasanya 'enek' kalau melewati jalan raya penuh dengan lobang-lobang. Ini salah satu penyebab kecelakaan yang tinggi di Indonesia (75 sampa 90 orang meninggal setiap hari karena kecelakaan lalu lintas, salah satu penyebabnya jeleknya infra struktur jalan).
Pemerintah abai pada perbaikan yang komprehensif pada soal ini. Belum bentuk pelayanan lain yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Makanya ada satu hal positif yang bisa diambil dari era Soeharto: stabilitas sebagai syarat keberlangsungan pembangunan. (Jargon saat itu: Trilogi Pembangunan (1) Stabilitas politik (2) Pertumbuhan dan (3) Pemerataan. Tidak akan ada pembangunan yang akan menumbuhkan ekonomi kalau tidak ada stabilitas, tidak akan ada pemerataan kalau tidak ada pertumbuhan ekonomi).
Kalau di era orde baru stabilitas dibentuk atas dasar represi, maka di era reformasi ini stabilitas dibangun di atas kedewasaan politik berdemokrasi. Termasuk kedewasaan adalah penerimaan pada kenyataan bahwa parpol tidak lulus verifikasi sehingga harus gugur sebelum bertanding. DPR perlu menegaskan batas ambang (threshold) yang semakin meningkat sehingga parpol semakin menyusut, sederhana, dan tidak terlalu menimbulkan keriuhan politik. Pada saatnya mungkin ada 5 parpol saja, karena 10 menurut saya masih kebanyakan.
Bagaimana dengan keragaman yang ada? Keragaman yang dimaksud tidak lebih dari keragaman kepentingan. Para elit yang ingin berpolitik tinggal memilih masuk di 5 parpol yang ada, yang paling dekat secara idealisme dengan pandangan politiknya. Sikap yang harus dibuang jauh dari para elit ini adalah: kalau tidak terpilih menjadi pimpinan di satu partai, lalu membuat partai baru. Ini yang menjadikan jumlah partai di Indonesia selalu banyak (saat tidak ada represi). Tantangannya adalah bagaimana menyederhanakan jumlah parpol secara alamiah melalui proses demokrasi. Ini berpulang pada tingkah laku (behaviour) para politisi sendiri dan seberapa komitmen bangsa ini pada sebuah tujuan: kesejahteraan kehidupan bangsa sesuai cita-cita proklamasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar