Harian lokal Purwokerto pagi ini (Sabtu, 19/01/13) menurunkan headline "Purwokerto nominasi Ibu Kota". Selain memang pernah disebut-sebut sebagai salah satu nominasi, tentu ini strategi koran untuk lebih laku, ketika koran ini dijajakan di perempatan-perempatan traffick light. Soal pemindahan ibukota dari Jakarta ke kota lain mencuat lagi, setelah Jakarta dilanda banjir, tak terkecuali Istana Presiden. Ada yang pro dan yang kontra. Jusuf Kalla (JK) salah satu tokoh yang menolak dengan alasan pragmatis terkait anggaran: "pemindahan kantor gampang, tapi bagaimana dengan pemindahan personilnya, taruhlah ada 200 ribu personil karyawan pusat, berapa perumahan yang harus disediakan untuk mereka". Logis juga sih...
JK menekankan, wacana pemindahan ibukota seharusnya tidak menjadi
prioritas dalam menyelesaikan persoalan banjir di Jakarta. Melainkan
prioritas dalam perbaikan-perbaikan infrastruktur untuk mencegah
terjadinya banjir.
"Nggak ada gunanya pindah tapi Jakarta tetap kumuh. Yang kita hindari
kekumuhannya, kemacetannya, banjirnya diselesaikan, bukan ibukotanya
diselesaikan. Jangan balik pikiran," demikian kata JK dikutip JPPN.
Soal pemindahan ibukota sudah menjadi pemikiran Bung Karno sejak 1957. Dikutip dari VISI INDONESIA 2033, pada 1957 Bung Karno pernah punya
gagasan untuk memindahkan ibukota ke Palangkaraya. Sebagai tahap
persiapan, ia bahkan telah meletakkan batu pertamanya di Kampung Dayak,
di jantung Kalimantan pada 17 Juli 1957. Palangkaraya yang berarti
tempat suci, mulia, dan agung didesain sebagai ibu kota Indonesia Raya.
Namun usaha Soekarno kandas. Selain
karena faktor pengadaan bahan dan medan yang sangat sulit, saat itu juga
sedang dipersiapkan penyelenggaraan Asian Games (1962) dan ajang
olahraga tandingan Olimpiade Games of the New Emerging Forces (Ganefo).
Palangkaraya memiliki luas mencapai
2.678,51 km2, sedangka Jakarta hanya 661,52 km2. Ini berarti
Palangkaraya sangat punya potensi untuk dikembangkan sebagai ibu kota
baru, arsitekturnya, jalan-jalan lebar, infrastruktur, taman-taman
hijau, dan bebas gempa sebagaimana daerah di Kalimantan lainnya.
Sementara itu Jakarta kini merupakan
salah satu kota paling sibuk di dunia, berpenduduk kira-kira 12 juta
pada siang hari dan sembilan juta pada malam hari. Menurut Badan
Kesehatan Dunia (WHO), Jakarta dianggap kota terjorok ketiga di dunia
setelah Meksiko dan Thailand. Di samping itu, Jakarta juga telah menjadi
gudang kemacetan, polusi udara, pusat kriminalitas, ditambah banjir
setiap tahunnya.
Sebenarnya bisa saja tidak memindahkan ibukota, tetapi memindahkan sebagian kantor lembaga pemerintahan (administratif) keluar Jakarta. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Malaysia dengan memindahkan kantor Perdana Menteri (eksekutif) ke Putrajaya, kurang lebi setengah jam perjalanan dari Kualalumpur, sementara Kepala Pemerintahan (Raja) dan parlemen tetap di Kualalumpur. Kebetulan saya pernah ke Putrajaya, menyaksikan tata kota yang menawan yang tentunya sudah memperhitungkan segala aspek amdal. Ada danau besar buatan, kanal-kanal lebar, bangunan-bangunan yang berada di atas perbukitan. Tata kota Putrajaya direncanakan dengan sangat baik dan memperhatikan
keseimbangan lingkungan, di antaranya dengan membangun jalan dan trotoar
yang lebar, serta ruang terbuka hijau yang luas. Selain itu, semua
bangunan, taman, danau maupun fasilitas publik yang ada di Putrajaya
didesain dengan cantik dan menarik. Tak heran kalau Putrajaya menjadi
objek wisata baru Malaysia yang sukses menarik kunjungan wisatawan dari
berbagai penjuru dunia.
Pernah di jaman Soeharto terdengar wacana memindahkan kantor-kantor pemerintahan ke Jonggol, namun isu ini mereda seiring jatuhnya Soeharto. Dengan pemindahan tidak terlampau jauh dari pusat, mungkin apa yang dikhawatirkan JK tentang 'bagaimana' memindahkan personil tidak akan terjadi. Tapi Jonggol mungkin akan terkendala aspek lingkungan mengingat letaknya di 'atas' Jakarta yang berarti akan terajadi pengurangan resapan air, dan dampaknya pasti akan dirasakan Jakarta lagi.
Pernah di jaman Soeharto terdengar wacana memindahkan kantor-kantor pemerintahan ke Jonggol, namun isu ini mereda seiring jatuhnya Soeharto. Dengan pemindahan tidak terlampau jauh dari pusat, mungkin apa yang dikhawatirkan JK tentang 'bagaimana' memindahkan personil tidak akan terjadi. Tapi Jonggol mungkin akan terkendala aspek lingkungan mengingat letaknya di 'atas' Jakarta yang berarti akan terajadi pengurangan resapan air, dan dampaknya pasti akan dirasakan Jakarta lagi.
Bergeser ke arah timur yang 'sejajar' dengan Jakarta seperti Karawang kemudian Purwakarta dan Subang, mungkin perlu dipelajari oleh para ahli. Dengan demikian konsentrasi populasi, kendaraan, dan dampak ikutannya akan sedikit banyak terurai dan beban Jakarta tidak semakin berat. Jadi bukan pemindahan ibu kota, tapi pemindahan pusat administratif pemerintahan yang tidak telalu jauh dari ibu kota, mungkin bisa menjadi solusi. Tetangga kita sudah melakukannya, rasanya untuk hal baik tidak perlu malu untuk meniru. Mungkin ada pendapat bahwa problem Jakarta lebih kompleks daripada Kualalumpur, dan tidak sesederhana membuat 'Putrajaya' sebagai solusi Jakarta. Tapi kalau setiap tahun problemnya sama dan segala upaya penanganan tak kunjung ada perbaikan, sampai kapan isu banjir dan macet Jakarta akan selalu menjadi komoditas politik semata?
(sekedar celoteh keprihatinan melihat 'nasib' ibukota kita yang tak kunjung membaik, dan dalam beberapa kali Pilgub problem Jakarta yang semestinya 'diselesaikan' malah lebih menjadi komoditas politik dalam rangka memperoleh simpati publik)
ilustrasi: southeastasiadreams.com
ilustrasi: southeastasiadreams.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar