Salah satu bupati yang disebut-sebut terbaik di Indonesia tumbang dalam pertarungan memperebutkan kembali singgasananya. Yang menumbangkan bukan siapa-siapa, tapi justru wakilnya sendiri yang kurang lebih 5 tahun terakhir mempimpin Banyumas. Ya, Mardjoko di luar dugaan kalah telak dari Husein dengan perolehan suara di atas 40 %, sementara Mardjoko sendiri mendapatkan suara di bawah 30 %. Dengan legowo, Mardjoko menerima kekalahan itu.
Tulisan ini tidak akan berspekulasi dalam analisa: mengapa Mardjoko bisa kalah, biarlah itu menjadi bahan studi para pengamat politik lokal dan lembaga-lembaga survei. Sebagai penghuni kota Purwokerto saya ingin mengungkapkan apa yang bisa dilihat sebagai 'perubahan' khususnya aspek fisik 'wajah' kota Purwokerto.
1. Bangunan Mangkrak banyak berkurang
Sebelum Mardjoko menjabat bupati, gedung eks Istana Olah Raga (ISOLA) dan toko MATAHARI adalah pemandangan yang tidak enak dipandang di Jalan Sudirman, depan ruko eks KODIM. Perseteruan antara dua pengusaha besar di Purwokerto menyangkut perijinan bangunan (IMB) bisa diselesaikan ketika Mardjoko menjabat dan berdirilah Rita Mall di atas eks bangunan toko MATAHARI dan (dulunya) gedung badminton ISOLA.
2. Alun-alun Purwokerto lebih bersih
Inilah babak paling seru dari perubahan yang dilakukan Mardjoko menyangkut renovasi alun-alun Purwokerto. Banyak protes dari berbagai kalangan ketika Mardjoko meminta pembongkaran pohon beringin yang berada di tengah dan 'menyatukan' alun-alun yang semula terbelah dua. Lambat laun protes melemah dan Mardjoko
keukeuh dengan pendiriannya. Kini rumput alun-alun menjadi bagus, permukaan tanah rata, tidak lagi 'jlegang-jlegong' sehingga anak-anak dengan aman dan nyaman bermain dan berlarian di alun-alun di sore hari hingga petang, terutama di akhir pekan. Pedagang kaki lima yang dulu mangkal di sekeliling trotoar alun-alun kini tidak ada lagi, sehingga kebersihan bisa lebih terjaga. Ditambah
videotron di ujung tenggara, alun-alun Purwokerto tampak lebih indah. Di sore dan petang hari, kalau cuaca bagus tidak hujan, menjadi tempat kumpul dan bermain warga. (foto alun-alun: banyumasnews.com).
3. Jalan-jalan protokol lebih diperlebar
Jalan dokter Angka kini tidak lagi semrawut dan lalu lintas di sepanjang jalan itu lebih lancar. Penataan Jalan Dokter Angka awalnya menuai protes keras karena penebangan pohon-pohon yang rindang di sepanjang jalan tersebut. Namun Mardjoko tidak bergeming. Jalan yang semula sempit karena ada jalur sepeda/becak di kanan dan kiri itu, kini menjadi jalan yang paling lebar di kota Purwokerto. Tidak hanya itu, jalan Dr Angka dari perempatan barat Hotel Horizon (d/h Dynasty) hingga pertigaan Jl. A Yani pun diperlebar. Demikian pula Jalan HR Bunyamin dan Jl. Jend Sudirman timur lebih lebar dengan penataan trotoar yang mempercantik wajah kota Purwokerto. (foto Jl Dr Angka : kasamago.wordpress.com)
4. Veerboden banyak berkurang
Dulu Purwokerto dikenal memiliki banyak 'jebakan' jalan veerboden. Orang luar kota sering bingung untuk menuju suatu point tujuan dan sering kena tilang karena melanggar veerboden ini. Banyaknya veerboden membingungkan pengendara
. Alih-alih membuat lalu lintas lancar, veerboden membuat ketidaknyamanan. Di bawah Mardjoko jalan satu arah dikurangi dan menyisakan beberapa ruas jalan saja.
5. Berdirinya taman kota Andhang Pangrenan
Ini 'peninggalan' Mardjoko yang fenomenal. Bekas terminal bus lama disulap menjadi taman kota Andhang Pangrenan Purwa Kerta setelah melalui perdebatan panjang rencana penggunaan lahan eks terminal bus di jalan Gerilya itu. Andhang Pangrenan kin menjadi salah satu tempat santai, nongkrong, dan rekreasi keluarga. Ada arena joging, gowes, aula, panggung untuk acara-acara besar, dan kuliner khas Banyumasan. (foto Andhang Pangrenan: dok pribadi)
6. Hotel baru
Mardjoko juga menjadi bupati yang memuluskan pendirian hotel-hotel baru. Sebagian sudah selesai (HOTEL ASTON), lainnya sedang dalam pembangunan: Hotel Santika, Hotel dan Supermall Rita, Hotel Widodo. Berdirinya hotel baru berkelas menjadikan suasana kompetisi tumbuh, sehingga hotel Dynasty pun berubah nama dengan menggandeng HORISON sebagai pengelola dan mejadi nama hotel yang dulu menjadi hotel 'satu-satunya' di Purwokerto.(foto Aston: dok pribadi)
7. Penataan pedagang kaki lima
Dulu jalan Pereng hanya ramai saat bulan Ramadhan. Banyak pedagang tiban menjual lauk-pauk dan tajil. Kini menjadi tempat pedagang mangkal yang dulunya tersebar di Jalan Ragasemangsang dan alun-alun. Jalan Ragasemangsang yang berada di sebelah timur kantor BNI dan barat PLN dulu sangat krodit, sudah sempit, masih ada pedagang makanan kaki lima dengan tenda-tenda. Saat pengantar anak ke sekolah Al-Irsyad dan Susteran, jalan Ragasemangsang sering macet. Kini lebih lancar.
Tidak boleh dilupakan juga adalah pemindahan pasar burung dari jalan DI Panjaitan (selatan Pasae Wage) ke daerah Situmpur --jalan terobosan dari Moro ke Jl. S Parman. Sangkar-sangkar burung yang dulu bergelantungan di trotoar peretokoan Jl. DI Panjaitan dan tumpukan keranjang-2 burung, kini tidak ada lagi dan mendapat tempat khusus di pasar burung tersebut.
Yang belum mendapat solusi yang disepakati semua pihak adalah pemindahan PKL di Jalan Sudirman Timur di sekitar Pasar Wage, yang menggunakan trotoar di depan pertokoan sehingga toko-toko di situ 'tidak tampak'.
Banyak ide-ide dan action Mardjoko yang brilian dan tidak akan dilupakan warga Banyumas. Janjinya membangun pabrik bio etanol tidak terwujud dengan berbagai kendala, namun pabrik semen sudah mulai dikerjakan di daerah Ajibarang arah Gumelar (Darmakradenan). Tempat wisata yang dikelola swasta juga banyak berdiri seperti water park Dream Land Ajibarang, wisata alam Baseh, dan revitalisasi obyek wisata milik pemerintah daerah sendiri yaitu Baturaden.(foto Dream Land: banyumasnews.com)
Terakhir tapi terkait erat dengan identitas Banyumas adalah kesukaan Mardjoko berpidato dengan selingan
basa Banyumasan yang selalu diselipkan tanpa canggung. Beberapa kali saya mengikuti acara dimana beliau berpidato, selalu muncul kata-kata
Banyumasan yang disampaikan dengan percaya diri tanpa bermaksud melucu (maklum di level nasional
basa Banyumasan cenderung menjadi materi lawakan). Identitas Banyumas juga ditampilkan Mardjoko dan pasangannya dengan memakai blangkon dan surjan sebagai foto resmi dalam kartu suara Pilbup yang lalu.
Tentu saja masih banyak hal yang belum disebut atas keberhasilan Mardjoko. Tapi itulah yang bisa sekilas gampang terlihat dengan mata kepala.
Apa pun kekurangan yang ada pada Pak Mardjoko, jejak langkah kebijakannya telah meninggalkan kesan bagi warga Purwokerto khususnya dan Banyumas pada umumnya, walau tentu ada juga yang kecewa. Wajar dan normal belaka. Terima kasih Pak Mardjoko,
matur kesuwun wis balik maring Banyumas ora ketang mung limang taun, ning wis nggawa akeh perubahan. Sugeng tindak Jakarta malih, selamat momong putu...
MP - Maret 2013