Sabtu, 03 Desember 2011

Bandar Lampung dan memori "Butir-butir Pasir di Laut"

Perjalanan ke Bandar Lampung termasuk perjalanan yang saya impikan sejak lama. Pasalnya nama Bandar Lampung jaman dulu, yaitu Tanjung Karang (dipisah atau digandeng?), sudah sangat akrab sejak kecil, saat  masih SD - SMP. Keakraban nama kota itu karena sering saya 'menyeetel' gelombang radio RRI Tanjungkarang, terutama serial sandiwara radio "Butir-butir Pasir di Laut" dengan bintang radio Olan Sitompul dan Hastin Atas Asih (bener gak ya menulisnya, dengernya begitu sih), yang suaranya sangat  khas. Biasanya disetel menjelang warta  berita  jam19.00 (tepatnya lupa jam berapa). Juga siaran pedesaan yang berisi siaran petunjuk teknis pertanian (kalau ini bapak-ku yang rajin mendengarkan).

Yang mengherankan gelombang SW RRI Tanjungkarang sangat jelas diterima di kampung saya, Galuhtimur, Tonjong, Brebes, dari sebuah radio merk Phillips dengan tenaga  batu  baterai 4 biji @1,5 volt. Ya.... pakai batu baterai karena listrik belum masuk desa saya saat  itu.

Ikon Lampung
Bandar Lampung saat masih SD pada pelajaran ilmu bumi belum dikenal. Yang dihapal saat pelajaran peta buta adalah kota-kota Panjang (pelabuhan), Teluk Betung dan Tanjung Karang sebagai ibu kota propinsi Lampung. Gambar peta ujung Pulau Sumatera yang seperti kepala ikan itu sangat saya hapal. Karenanya kesempatan pergi ke Bandar Lampung menjadi sangat unik karena menjadi pembuktian dengan mata kepala, melihat secara nyata kota-2 yang sudah akrab didengar sejak kecil itu.

Saya memilihi perjalanan Jakarta Merak dengan bus umum, karena kalau dengan pesawat tidak akan bisa mengalami sensasi menyeberang dengan feri. Dari pemberhentian bus Kebonjeruk ke Merak menggunakan bus Primajasa. Sampai di pelabuhan penyeberangan senja menjelang maghrib,  situasinya aman-aman saja --tidak seperti yang pernah diceritakan orang-2. Sejak turun dari bus, pembelian tiket kapal feri, naik kapal dan sampai tiba di Bakauheni berjalan lancar. Tidak ada insiden yang menakutkan. Saya nilai interkoneksi antara moda transportasi darat dan laut di pelabuhan penyeberangan Merak ini sangat baik. Pemberhentian bus dengan dermaga tidak jauh. Papan penunjuk yang ada pun jelas.

Sampai di Bakauheni sekitar jam 20.00an, masih ada bus dari terminal Bakauheuni menuju Bandarlampung. Namun melihat kondisi bus-nya yang kurang bagus (non AC dan tua), saya lebih memilih naik 'travel' plat hitam yang mangkal di luar terminal Bakauheni. Yang menawarkan travel ini seorang pengojek yang rupanya mendapat tips dari sopir travel. Menunggu agak lama (sekitar  1 jam) untuk menunggu mobil Inova minimal terisi 6 penumpang, saya sempatkan untuk minum kopi di lapak pedagang kaki lima di situ. Angin pantai mengiris kulit... hmmm untung membawa jaket. Perjalanan malam menuju hotel di Bandar Lampung tidak memungkinkan saya mengamati keadaan sekeliling jalan yang dilalui.

MIRIP
Kota-kota di Indonesia umumnya berkembang hampir mirip. Ini bisa dilihat dari 'tampak luar' bangunan seperti ruko, mall, hotel. yang dibangun dengan model arstektur yang hampir sama. Tak terkecuali Bandarlampung. Yang terlihat berbeda saya lihat di Rantepao, Tana Toraja, dimana bangunan hotel masih mengadopsi ciri khas bangunan setempat. Mungkin ada yang khas juga di kota lain yang belum pernah saya kunjungi.

Di Bandarlampung saya sempatkan berkeliling hingga Teluk Betung, kota yang kelihatannya tua, tampak dari bangunan-2 yang tersisa. Bandarlampung dan Telukbetung ternyata 'nggandeng', karena memang menjadi bagian dari Kota Bandarlampung. Tak lupa mampir ke tempat makan 'pempek' yang cukup terkenal di jalur Bandarlampung - Telukbetung. Juga tentunya oleh-oleh khas Lampung: kopi dan aneka keripik pisang.

Sekian.... Tanjung Karang, Bandar Lampung .... mengingatkan pada Butir butir Pasit di Laut.
Area Bisnis Bandarlampung








Perbukitan yang akan menjadi pemukiman?









Jumat, 02 Desember 2011

Universal Studio - industri kreatif Singapura

Universal Studio menjadi salah satu daya tarik Singapura. Tulisan ini semata ingin menunjukkan bagaimana pengelolaan obyek wisata dilakukan profesional. Universal Studio kesan saya menampilkan miniatur berbagai peradaban baik kuno dan modern, fantasi maupun faktual. Gabungan masa lalu dan masa kini, tradisional dan modern, imajinasi dan realita. The lost world, jurassic park, shrak (maaf kalau salah tulis) adalah fantasi-fantasi masa lalu dan juga masa kini. Spink, piramida adalah bagian peradaban masa lalu, namun Hollywood dan New York adalah ciri kemodernan.

Bersih adalah ciri utama Singapura, tak terkecuali Universal Studio. Keteraturan dan disipin juga tercermin di sini. Satu pengalaman unik, ketika seorang teman mencoba menjual tiket lebih (karena beberapa orang anggota rombongan tidak jadi berangkat ke Universal Studio dan tiket sudah dibeli jauh hari sebelumnya) kepada calon pengunjung lain, ketika sedang menawarkan tiket dengan diskon kepada orang Malaysia, begitu ketahuan oleh petugas langsung diingatkan untuk membeli tiket di loket resmi. Percaloan dilarang.... dan temanku tersipu malu. "Ketahuan kalau Indonesia banget" (he3.... maaf jangan ada yang tersinggung ya, ini fakta bahwa di negeri kita praktek percaloan masih ada, dan saya setuju itu bukan praktek yang baik).

Universal Studio adalah bagian dari indutri kreatif Singapura saya kira. Ketika negeri ini tidak punya keindahan alam (pantai, gunung, gua) untuk dijual kepada wisatawan, atau peninggalan sejarah monumental (seperti candi, bangunan kuno, situs,dll) maka membuat bangunan baru dengen mengimitasi peradaban dunia adalah pilihan tepat. Sama seperti kreatifitas Singapura  menggelar balapan F1 di jalanan kota Singapura. Tidak perlu membangun sirkuit, karena lahan yang  terbatas, namun  highway disulap menjadi track balapan yang tersohor ke seluruh penjuru dunia, dan penggila balapan datang ke negara  kota  ini. Selain tentunya menjadi sangat  terkenal karena F1  disiarkan televisi ke seluruh dunia.

Tanpa kehilangan kecintaan pada negeri sendiri Indonesia, kita tidak perlu malu belajar  hal yang baik dari negeri tetangga.... (awal Des 2011)









Jumat, 21 Oktober 2011

Kawasan Kuliner GOR Purwokerto – serasa bukan di Purwokerto

“Kayak bukan di Purwokerto”.  B egitu komentar anak gadisku Nida saat  melintas di jalan sepanjang  depan  GOR Satria Purwokerto. Ya, malam itu malam minggu, begitu banyak mobil parkir berjejer di situ. Ramai kendaraan dan tentu saja orang, ditambah bunyi sempritan tukang parkir yang seakan bersahut-sahutan, menambah suasana malam itu seperti bukan di Purwokerto, yang selama ini dikesankan sepi dengan arus lalu lintas teramat lancar.  Ada apa di ‘daerah’ GOR memangnya?

Kawasan GOR secara alamiah sudah berkembang menjadi area kuliner kota Purwokerto. Dikatakan alamiah karena tidak ‘by design’ oleh pemerintah saya kira. Kawasan ini tumbuh mengikuti  ‘ hukum pasar’ perkembangan suatu kawasan. Ada permintaan akan kawasan kuliner dimana orang bisa memilih tempat dan menu/jenis makanan yang sesuai selera,  dan para pengusaha merespon dengan membangun kawasan menjadi sederatan ruko atau bangunan yang memang didesign untuk sebuah rumah makan/resto. Tidak pernah terdengar sebelumya bahwa kawasan  GOR  secara sengaja didesign sebagai kawasan kuliner kota Purwokerto. 

Sejarahnya bisa dirunut dari dimulainya pemindahan pusat keramaian public dari alun-alun ke kawasan GOR. Terlebih sejak upaya Pemkab Banyumas merenovasi alun-alun dan mensterilkannya dari pedagang kaki lima. Maka hari Minggu pagi kegiatan ‘jalan-jalan’ warga berpindah dari alun-alun ke GOR. Maka, para pedagang kaki lima pun berpindah mengikuti keramaian ini. ada pedagang bubur ayam, nasi pecel, gudeg, mendoan dll yang menggunakan tenda di pinggir jalan. Lama-lama tidak hanya saat hari minggu mereka buka. Tiap pagi mereka mangkal di situ. 

Nah melihat suasana makin ramai, maka beberapa pengusaha mulai membangun rumah makan permanen di situ dengan jam buka siang hingga malam. Maraknya bisnis waralaba, termasuk di bidang kuliner, menambah ramai bisnis kuliner di kawasan ini. Sekarang anda bisa datang ke kawasa itu dan mau makan apa yang anda inginkan ada di situ: ayam, lele, iga, gudeg, bebek, ikan, sampai menu makanan yang tradisional Banyumas seperti tahu kupat, soto,mendoan dll. Jadilah kawasan GOR menjadi kawasan kuliner lengkap di kota satria Purwokerto.

Kawasan ini akan bertambah ramai dan harga tanah pasti melambung. Ditambah dengan pembangunan hotel bintang empat di perempatan DKT –hanya 500 meter dari kawasan GOR—selain hotel yang sudah exist, dipastikan akan menjadi tempat yang semakin ramai. Ke depan orang akan merasa sayang kalau ke Purwokerto tidak mampir ke kawasan GOR. Tentu saja masih ada kawasan kuliner lain, namun bersifat khusus seperti di Jalan Bank yang terkenal dengan ‘soto jalan bank’-nya atau Sokaraja dengan soto Sokarajanya dan gethuk gorengnya. Juga Sawangan kalau Anda ingin membeli mendoan untuk oleh-oleh.
Jadi untuk urusan makan, anda tidak perlu bingung lagi pergi kemana. Datang saja ke kawasan GOR, maka tentukan di situ anda mau makan apa?

Mutiara Pratama, 22 Oktober 2011

Sabtu, 23 Juli 2011

ST-12 (setelah tahun ke 12) TK Istiqomah dan LPPM Putra Galuh

Nida - salah satu murid pertama
Sudah memasuki tahun ke 12 TK Al Istiqomah yang dikelola Yayasan LPPM Putra Galuh berdiri, ikut 'mencerdaskan bangsa' (mudah-mudahan) khususnya anak-anak Galuhtimur Tonjong Brebes Jawa Tengah. What next? Apa yang akan diperbuat lagi oleh LPPM Putra Galuh selain pendidikan?

Kilas balik ke tahun 1999, ketika anak kedua saya menjelang masuk TK, tahun itu belum ada TK di Galuhtimur. Adanya di Bumiayu (8 km) dan Tonjong (sama- 8 km dari desa Galuhtimur). Terdorong ingin ikut peduli dengan masa depan anak-2 Galuhtimur, maka memberanikan diri mendirikan taman kanak-kanak (TK) sendiri. Saat itu kebetulan ada himbauan agar  setiap desa minimal ada satu TK. Maka ide ini saya share ke teman-2 (saat  itu Muslih H Hasanudin), M Najib Ronas (teman semasa SD yang sukses jadi pengusaha di Bandung), dll. Gayung bersambut, maka singkat kata karena belum ada gedung, pinjam kelas di madrasah diniyah Ta'alumushibyan yang hanya dipakai sore hari (sekolah khusus agama Islam).

Gurunya pertama kali Ibu Murniati (janda dari alm guru saya di SD Pak Soemarso) yang punya pengalaman mengajar dulu di TK yang sempat ada di tahun 70-an tapi kemudian tidak bertahan. Lalu Ulfi (adik dari M Najib, putra tokoh agama alm H Sya'roni Manan). Sebagai pembelajaran awal dari pengelola dan calon guru, maka dilakukan study banding ke RA Masyithoh Fatayat NU Bumiayu (pimpinannya kalau tidak keliru keluarga alm Basori, tokoh kharismatik nahdliyin Bumiayu). Ini tentu karena kedekatan keluarga alm Sya'roni Manan dengan keluarga alm Bashori.

Awalnya berdiri adalah RA (raudlatul atfhal), namun seiring berjalannya waktu, dan diskusi di antara pengurus maka berubah menjadi TK. Beda RA dan TK: tidak ada bedanya secara pembelajaran, hanya saja secara birokrasi RA di bawah pembinaan Depag, sedangkan TK di bawah Diknas. Sekalipun di bawah Diknas, kurikulum TK Al Istiqomah boleh dikatakan kurikulum plus karena tetap memasukan pelajaran agama, khususnya Iqra.

Membangun gedung sendiri
Memasuki tahun ke tiga, dirasa perlu memiliki gedung sendiri. Maka berundinglah pengurus dengan HM Yusuf kepala desa Galuhtimur, untuk menyediakan tanah lokasi pembangunan TK. Dan berdasarkan rapat BPD saat itu sebagai instansi tertinggi tingkat desa, maka TK Istiqomah diberi ijin membangun di tanah yang juga terdapat SD Negeri Galuhtimur 1. Lobi-2 dengan pihak SD cukup alot, karena berbagai kepentingan. Namun akhirnya karena tujuan TK ini adalah untuk umum dan bukan untuk keuntugan pribadi, maka semua legawa.
Alhamdulillah.

Saat pembangunan gedung, TK sudah secara resmi dikelola yayasan Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Putra Galuh, sebagai payung penyelenggaraan pendidikan. LPPM ini didirikan awalnya bukan hanya mengelola TK, tapi juga pemberdayaan masyarakat desa di bidang2 lain, ekonomi dan pertanian misanya. Sayang baru pendidikan yang dkelola, itupun hanya baru TK. Pernah ada pembuatan SIM massal murah, kerja sama dengan Polres Brebes yang cukup fenomenal. Ali  Rojihi, saat itu masih aktif sebagai wartawan, berperan dalam lobby ke Polres Brebes untuk sukses event ini.

LPPM didirikan saya, M Najib Ronas, Ali Rojihi, A  Rofi'i, Misbahul Munir, Muslih dan ikut terlibat juga Khoirul Umam putra (alm) A Mufid. Beberapa tahun kemudian memasukkan Muhaimin sebagai pengurus. Idealisme saat itu adalah bagaimana para sarjana di Galuhtimur mengimplementasikan kepedulian terhadap kemajuan desa dengan tindakan nyata. Selain lewat  pendidikan, juga lewat pemberian contoh bertani yang baik (pemberdayaan), kursus-2 ketrampilan, pengembangan usaha dan ide-2 lain yang intinya memberdayakan masyarakat ke arah kemajuan. Penanaman pisang percontohan pernah dicoba, namun tidak berlanjut karena Umam yang insinyur pertanian harus bekerja di luar kota. Kebun milik saya ditanami aneka jenis pisang sbg wujud percontohan, namun tidak dikelola dengan baik karena alasan tadi.

Berbagai tantangan harus dilalui untuk terus mempertahankan keberadaan TK dan yayasan. Pembuktian bahwa ini semata-mata bentuk kepedulian terus ditunjukkan, karena dari pengelolaan pendidikan ini, secara materi, sama sekali bukan tujuan karena kami berprinsip ini adalah ladang amal. Di sisi lain, Alhamdulillah kemudian terbentuk satu TK lagi yang dikelola yayasan lain, sehingga memungkinkan anak-anak usia TK di Galuhtimur lebih banyak yang mengenyam pendidikan pra SD. Tidak mungkin TK Istiqomah menampung semua anak usia TK karena lokal yang terbatas. Ini adalah berkah bagi masyarakat Galuhtimur.

Kini setelah 12 tahun, setelah beragam prestasi di tingkat kecamatan dan kabupaten ditorehkan TK Istiqomah, dari mulai hanya meminjam madrasah hingga memiliki gedung sendiri yang layak untuk ukuran TK di kampung, apa yang harus diperbuat agar lebih berkualitas lagi? Dan dari sisi pemberdayaan, apa yang akan diperbuat LPPM Putra Galuh?

Pemberdayaan Ekonomi? Dari mana harus memulai?
Tanggal 23 Juli 2011 menjadi tonggak, mudah-mudahan, bagi 'pengabdian' selanjutnya. Hari ini terbentuk cikal bakal koperasi dengan nama "Berkah Sejahtera". Wali murid TK menjadi anggota pertama, sekaligus pendiri koperasi. Idealnya dari koperasi ini nantinya akan mendorong kegiatan produksi home industri yang ada di desa, dengan penyediaan modal dan bimbingan teknis yang diperlukan. Tantangan cukup berat karena kecenderungan koperasi lebih dianggap sebagai 'tempat meminjam' kebutuhan konsumtif. So, edukasi menjadi hal yang perlu diprioritaskan.

23 Juli 2011

Senin, 28 Maret 2011

Bencana Menuai Pariwisata (-- Erupsi Merapi)

Minggu 27 Maret 2011. Jogja pagi itu diguyur hujan. Namun tidak menyurutkan niat untuk melihat dari dekat dusun Kinahrejo, kampung Mbah Maridjan (alm) di lereng Merapi.  "Kalau di bawah (kota) hujan, biasanya di atas terang", kata Wildan, si sulung memberi semangat. Seperti apa sih bekas muntahan perut Merapi, apa yang bisa dipelajari dari fenomena alam ini dan secara sosial bagaimana masyarakat (korban) melakuan recovery? Begitu kira-kira 'pembenaran' langkah 'wisata' ke Kinahrejo. Saran salah seorang kawan untuk pergi ke pantai di Gunung Kidul pun sementara diabaikan.

Semasa kuliah di tahun 80-an akhir pernah ke sana dalam rangka pelatihan / camping UKI Jama'ah Shalahuddin UGM. Kala itu jalan menuju Kinahrejo masih berupa makadam. Kalau kemarau berdebu dan kalau hujan becek. Suasana asri, dengan udara segar dengan pemandangan hutan pinus yang menjulang menapak langit. Ketika itu belum muncul tokoh Mbah Maridjan (mungkin sudah menjadi juru kunci hanya saja belum menjadi bintang iklan dan jadi berita media mengenai sikap 'kekeuh'nya pada penjagaan Merapi sesuai yang dipahaminya).

Tidak membutuhkan waktu lama berkendara ke lokasi 'wisata erupsi Merapi'.  Mungkin sekitar  20-an menit dari Jogja. Jalan ke sana sudah aspal, dan cukup untuk bus tiga perempat bahkan bis pariwisata besar. Sekitar  2 km sebelum lokasi 'bencana', ada pos 'retribusi'. Para penjaga pos --tampaknya dari warga  setempat dan bukan petugas dari dinas Pariwisata --  berseragam kaos kuning dan menyapa dengan ramah. Ada beberapa polisi ikut mengawasi (?).Untuk dewasa dikenai Rp. 3000,- dan parkir mobil Rp. 5000. "Sekalian diniati nyumbang", kata saya dalam hati.

Dan segeralah muncul pemandangan pohon-pohon yang merenggas, dengan ranting tanpa daun. Namun beberapa pohon sudah mulai 'beremi', tampak hijau daun muncul dari batang dan ranting yang terkelupas kulit kayunya.....  mengingatkan pada hiasan pohon dengan daun imitasi. Di sini asli daun tentunya. Sebuah pemandangan yang selaras  dengan semangat penduduk setempat untuk bangkit dari keterpurukan akibat bencana.

Seperti yang pernah terlihat di TV, gambar-2 yang di up load di internet, maka saya melihat dengan kepala mata sendiri bangkai motor, mobil, dan reruntuhan bangunan rumah. Dan hamparan hijau kebun sayur atau rumput gajah yang hampir 30 tahun lalu saya lihat, telah berubah menjadi hamparan 'padang pasir'. Pohon-pohon pinus yang dulu tumbuh di tebing jurang, berdiri tegak, tak tahan menahan semburan awan panas dan muntahan material pasir dan batu Merapi (maaf saya tak paham istilah-2 material letusan gunung berapi). Bangunan rumah rata dengan tanah bahkan sebagian tertimbun pasir.

Lahan parkir mobil pun menempati areal yang rata dengan pasir. Untuk menuju bekas rumah Mbah Maridjan harus berjalan kaki atau naik ojek 1 km ke atas. Dari area parkir menuju dusun Mbah Maridjan berjejer di samping kiri-kanan berdiri gubuk-gubuk (warung), yang berjualan makanan, minuman dan aneka barag suvenir. Ada resto Kinahrejo dengan menu yang memakai nama-nama terkait erupsi. Misalnya 'sop lava', nasi goreng erupsi, dll. Juga tersedia toilet.

Melihat ini semua, sekalipun mungkin bisa dikatakan 'ironi', yaitu bagaimana sebuah bencana (musibah, yang mendatangkan duka dan kesedihan) dijadikan obyek wisata (yang berkonotasi 'hepi-hepi' --kata seorang teman), namun inilah sebuah fakta dan sikap yang  harus diambil. Karena kehidupan harus ditempuh dan dihadapi, tidak berguna meratapi terus menerus musibah yang terjadi. Maka 'konversi' dari kedukaan akibat bencana menjadi tempat wisata menunjukkan kreatifitas survival warga setempat. Toh para pengunjung pun bisa belajar, mencoba mendalami dan memahami, bahwa semuanya adalah 'atas kehendak Yang Maha Kuasa'. Bahwa apa yang dulu tampak indah, tampak kokoh, akan sirna ketika kekuatan dahsyat atas iradah-Nya menghendaki sirna. Juga belajar pada spirit masyarakat setempat untuk  bangkit pasca ditimpa bencana.


Jumat, 07 Januari 2011

Welkam long Papua Nugini

Selamat datang di Papua New Guinea (PNG) ditulis dalam bahasa Inggris PNG menjadi Welkam long Papua Nugini. Ya! Ucapan sama dengan penulisan. Selamat tinggal ditulis Gud Bai (bukan Good Bye). Itulah yang tertulis di gerbang perbatasan RI dengan PNG.

Dari Jayapura kurang lebih ditempuh 2 jam perjalanan melewati Abepura, kemudian daerah transmigrasi Koya (? -- penghasil sayur mayur untuk Jayapura dan sekitarnya). Jalan menuju pos perbatasan tergolong mulus dan lebar. Tentu saja banyak melewati semak belukar dan hutan. Lalu lalang kendaraan pun dari Koya ke perbatasan hanya sesekali kita berpapasan dengan kendaraan lain. Namun di hari libur cukup banyak orang tertarik untuk 'menyeberang' melewati pos perbatasan. Tentu saja tidak perlu passport, hanya lapor ke pos penjagaan TNI dan Polri. Karena memang hanya beberapa puluh meter saja dari gerbang perbatasan.

Di dearah Koya (?) ditemui lapak-lapak tempat petani menjual hasil pertanian. Jagung rebus hampir selalu ada di lapak itu. Dan dengan sapaan "Pinten reginipun, bu"(Berapa harganya Bu), maka saya berharap mendapat jawaban bahasa Jawa juga dan (ngarep.com) harga yang lebih murah. He3

Melewati tapal batas RI PNG di timur (tepatnya tenggara kali ya)Jayapura menjadi sensasi tersendiri. Bagaimana daerah-2 perbatasan dibangun tampak dari infra struktur yang ada. Jalan raya tergolong bagus. Demikian pulasarana kesehatan semacam Puskesmas yang ditilik dari bangunan terlihat baik.

Dan yang terlihat dari atas bukit adalah pantai dan perkampungan PNG paling dekat dengan perbatasan RI yang .... wow! pantainya terlihat sangat indah. Sebagaimana di Papua yang menjadi bagian dari NKRI, pantai di PNG pun sama indahnya. Pantai yang kelandaiannya tidak jauh, namun langsung bersentuhan dengan pegunungan. Hal yang saya temui juga di Pantai Tablanusu, 2 jam ke barat dari Sentani. Keindahan alam Papua tidak terbantahkan!

Oh ya, di daerah Koya (?) ada tempat pemancingan yang ramai dikunjungi di akhir pekan oleh pengunjung dari Jayapura, Abepura dan Sentani. Selain tujuan memancing, juga sekalgus membeli oleh-2 sayuran yang dijajakan di lapak pinggir jalan. Sayur mayur termasuk 'barang mewah' menurut saya di Indonesia Timur karena jarang ditemui di rumah2 makan. 

Tentang pantai Tablanusu dan danau Sentani, dan juga monumen Mac Arthur akan diceritakan di posting yang terpisah... "Papua... gunung-gunung menjulang, sungai mengalir deras, mengalirkan emas...." bunyi sebuah lagu daerah yang hampir setiap pagi saya dengar selama dua minggu berada di tanah Papua. Ya, Papua memang luar biasa!

Sulawesi: daratan dengan batuan yang kompleks


Masih tentang Sulawesi. Mengutip satu artikel di web: "Wilayah ini (Sulawesi - pen) dianggap sebagai salah satu wilayah geologi paling kompleks di muka bumi". Dikatakan selanjutnya: Pemahaman yang ada saat ini adalah secara geologis pulau ini terbentuk dari beberapa bagian. Satu bagian membentuk Sulawesi bagian utara dan sebagian bagian barat, satu bagian membentuk bagian timur dan daerah-daerah selatan – tengah. Wilayah yang lebih kecil dari pulau ini, seperti Banggai-Sula di sebelah timur dibentuk dari bagian dari daerah lain. Lempengan-lempengan geologi ini bertabrakan satu sama lain yang diakibatkan oleh pergerakan tektonik.

Dalam literatur geologi secara luas, diketahui bahwa wilayah sebelah timur daratan Sulawesi berasal dari sebuah pecahan Gondwanaland. Banyak pendapat berbeda atas daerah asal dari wilayah Barat Daratan Sulawesi. Pendapat yang lama yang ada cenderung menganggapnya sebagai bagian yang pernah menjadi bagian dari Laurasia, seiring dengan bagian yang lebih besar dari wilayah Barat Indonesia. Baru-baru ini, banyak penulis geologi seperti Whitten berpendapat bahwa daerah tersebut merupakan patahan zaman Jurassic dari Gondwanaland. (tentang pembahasan Sulawesi dari sisi geologi silakan klik http://lorelindu.wordpress.com).

Memang begitu kita masuk ke daerah atas Sulawesi Selatan (Toraja, Palopo, dst) akan terlihat batuan-2 khas yang menjulang tinggi dan kokoh. Ini mungkin yang konon hasil benturan lempengan bumi puluhan bahkan ratusan juta tahun yang lalu (ah, anda boleh cari sumber-2nya sendiri. Antara lain secara ringkas ada di museum Geologi Bandung).