Kamis, 12 November 2009

Wibawa Polisi dan Polisi 'Wibawa'

Banyak polisi  dan orang 'busuk' tapi banyak juga polisi dan orang 'baik'. Demikian Buya Syafi'ie Ma'arif (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) memberikan sebersit optimisme kita, bahwa masih ada (dan banyak) orang baik (termasuk polisi) dalam bangsa ini, di tengah pemberitaan yang taka henti kasus KPK vs Polri/Kejaksaan (cicak vs buaya), yang seakan meruntuhkan wibawa penegak keadilan. Dibalik kasus yang memang menyayat rasa keadilan itu, kita tetap harus menyimpan bara optimisme bahwa bangsa ini masih memiliki orang-orang baik yang care dan ber-itikad sungguh-sungguh memajukan Indonesia.

Tentang pak Polisi misalnya. Sangatlah tidak bijak kalau dikatakan semua polisi busuk. Karena banyak dari mereka yang menjalankan tugas dengan benar. Hanya yang tampak ke permukaan, yang mungkin kita juga mengalaminya, ketika berurusan dengan polisi ujung-ujungnya adalah soal 'duit' (UUD). Kasus yang sampai ke polisi, untuk tidak dibawa ke kejaksaan mesti 'diatur-atur'. Belum kucing-kucingan beking bisnis ilegal (miras, judi, kayu, narkoba, dll) yang --agar aman dari garukan-- mesti kasih upeti. Ini pemahaman publik, yang tentunya berat mengembalikan citra negatif ini. Dengan terkuaknya rekaman di MK yang menunjukkan secara 'telanjang' intervensi seorang Anggodo kepada para oknum penyidik dan bahkan seorang Kabareskim, makin menguatkan sangkaan orang bahwa polisi memang 'busuk'.

Kita tentu benci polisi busuk. Dan mendambakan polisi baik dan jujur. Tapi siapkah kita sendiri menghadapoi mereka yang baik, tegas, dan jujur? Kadang kita mau 'menang' sendiri kok, misalnya ketika ada operasi lalu lintas, ketika kita lupa tidak membawa SIM/STNK, kita kadang --karena malas sidang dengan alasan sibuk, jauh, repot lah-- minta 'diselesaikan sekarang saja'. Nah, ujung-ujungnya kita sendiri 'menawarkan' sesuatu yang harus mereka hindari. Dan, klop lah.... karena oknum itu 'ngarep' juga. Ini realitas yang masih kadang ditemui.

Berbagai pengalaman, penglihatan, berita tentang polisi menjadikan persepsi tentng wibawa polisi yang semakin hilang. Yang ada polisi 'Wibawa' -- itu loh patung polisi tegap yang ada di perempatan-2 jalan. Nah patung polisi Wibawa pun kini mulai langka --konon di Jogja cuma tinggal satu, di depan toko Gramedia. Nah lho! Jadi baik wibawa polisi maupun polisi wibawa sudah nggak ada?

Tidak se-pesimis itu tentunya. Postingan blog ini pernah memuat kisah polisi yang dengan ikhlas membuang tumpahan oli di jalan raya, di tengah terik matahari, demi keselamatan pengguna jalan. (coba telusuri blog ini). Juga setiap pagi, bagi yang rutin antar anak ke sekolah, pasti merasakan lancarnya jalan karena ada pak Polisi yang mengatur lalu lintas.... Kita dukung polisi memiliki WIBAWA, bukan sekedar patung polisi 'WIBAWA'.

Kamis, 22 Oktober 2009

Bangsa pelupa lagi pemaaf....

Kita ditakdirkan menjadi bangsa pelupa dan pemaaf.... (?)


Baru saja dilantik Presiden RI hasil pemilu 2009: Soesilo Bambang Yoedhoyono (SBY) dan Boediono. Yang memimpin sidang pelantikan tanggal 20 Oktober 2009 itu adalah Ketua MPR Taufik Kiemas (TK). Ada kekeliruan (tepatnya mungkin kekonyoloan), yang diakui sebagai manusiawi, yang dibuat oleh sang ketua MPR. Salah menyebut nama, lupa tidak menyebut tamu kehormatan, salah ucap (doktor dibaca dokter, mister dibaca mester, dll).

Media cetak dan TV pun memuat berita 'keseleo lidah' ini. Namun ada satu media cetak terbesar yang tidak menyinggung hal ini. Mungkin sengaja agar cepat lupa, dan rakyat lebih fokus kepada program presiden dan wakilnya. Ada yang bilang 'memprihatinkan'. Ada yang komentar 'pantas, lah wong gak pernah ikut rapat, 'kan suka mbolos...' (komentar ini menggarisbawahi kesukaan TK mbolos saat menjadi anggota DPR periode sebelumnya). Untuk angka yang tinggi atas ketidakhadiran beliau, kita mungkin bisa maklum, karena sebagai politisi sekaligus suami dari Megawati sering mendampingi dalam kunjungan2 ke daerah.

Namun untuk salah baca teks pidato yang sudah disiapkan, dan sudah pula dilakukan gladi kotor - gladi resik, kok sampai terjadi keseleo? Bukankah ini forum puncak dari serangkaian kegiatan politik bernama Pemilu yang panjang? Ini sepele, tapi kok ya cukup membuat 'cacat' (kecil sih) atas seremoni yang seharusnya khidmat dan sakral tsb.

Namun, sebagaimana judul tulisan, kita ini adalah bangsa pelupa lagi pemaaf... Permakluman atas kejadian tsb segera muncul, dan sebentar juga lupa atas kejadian yang sebetulnya 'tidak pantas' itu. Ada banyak hal yang jauh lebih penting daripada sekedar keseleo lidah itu... Antara lain: kepedulian dan keprihatinan elite atas kondisi bangsa yang --mengutip Syafi'i Ma'arif-- belum menemukan jalan yang benar untuk mencapai tujuannya. Sampai-sampai Buya Ma'arif menulis opini 'Kabinet minus Mimik Prihatin' demi melihat tawa ceria calon menteri yang dipanggil SBY di Cikeas, yang seakan lupa kalau kondisi berbagai bidang negeri ini masih jauh dari harapan.

Lupa... lupa, lupa, lupa, lupa..... (#kuburan#)

Sabtu, 03 Oktober 2009

Batik, songket, ulos...

Seorang teman tidak hanya menabahkan batik untuk karya bangsa yang diakui sebagai warisan dunia berasal dari Indonesia. Tapi juga ulos, songket... (bahkan secara guyon koteka). Ya, tentu karena sangat banyak ragam pakaian bernuansa motif nusantara genuine... tidka hanya batik.
Di tiap daerah ada khas motif pakaian dan mungkin bahan yang digunakan. Ini tentu sebuah sejarah yang panjang. Namun membuktikan bahwa bangsa ini adalah bangsa kreatif.
Apa selain batik, ulos, songket, yang bisa dibanggakan dan diajukan sebagai warisan asli negeri kita?
berpose dengan batik...


ayu 2 dan ganteng...


senyum.....

Sabtu, 11 Juli 2009

Jembatan Bertingkat KA Peninggalan Belanda








Brug Kali Belang, demikian masyarakat sekitar menamainya. Terletak di km 3 dari stasiun KA Bumiayu arah Cirebon, tepatnya di Desa Galuhtimur, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Indonesia, jembatan kereta ini memiliki keunikan tersendiri. Berdiri kokoh dengan penyangga tiang beton berwujud seperti tangga, berjumlah 22 tiang. Keunikan lain adalah adanya jembatan 'kedua' di anak tangga paling atas, terbuat dari papan-2 kayu yang ditata di atas penyanga besi (rel KA) yang melintang antar tiang jembatan, plus pegangan tangannya. 'Powotan' ini dipakai untuk lewat manusia, sehingga jadilah jembatan Kalibelang sebagai 'jembatan bertingkat' . Pastilah 'second bridge' ini dibangun agar penduduk sekitar yang akan pergi ke ladang atau pergi ke antar pedukuhan (yang terdekat dukuh Karangasem dan Kalipucung) tidak melewati rel KA, yang tentu saja sangat beresiko. Tidak ada informasi apakah 'powotan' untuk orang ini dibangun bersamaan atau setelah ada kecelakaan. Yang jelas sangat membantu warga setempat. Bahkan motor pun bisa lewat di jembatan kedua ini.

Kali Belang-nya sendiri tidak lah merupakan sungai besar. Namun cekungan yang menghubungkan antar bukit cukup panjang, sekitar 150 mtr. (lihat gambar kali)
Dari sejumlah 22 tiang, ada dua tiang yang saing berdempetan (tiang no.11 dan 12). Kedua 'saka' ini dijuluki 'saka penganten' oleh warga dan ada yang mempercayainya sebagai saka yang angker... hiiii. Jadi bangunan cor beton yang menyangga rel KA tidaklah nyambung jadi satu, tapi terpisah oleh ruang sekitar 20 cm, dari atas sampai bawah. Yang nyambung tentu rel-nya. Ini tentu sudah diperhitungkan para insinyur negeri Kincir Angin waktu itu, agar jembatan tahan terhadap goncangan roda besi dan terpaan angin atau gempa. Sungguh pemikiran yang jenius.

Bagi peminat bangunan sipil, konstruksi jembatan ini tentu menarik. Sudah berusia hampir se-abad namun masih kokoh berdiri. Hanya saja kayu-kayu 'powotan' dan pegangan tangan sudah tampak keropos, mungkin karena sering terkena air selain usianya yang memang sudah renta. Namun konstruksi beton masih kokoh. Tentu hal ini karena pilihan bahan yang benar dan waktu itu barangkali 'tidak ada korupsi dan mark up'...

mrgreensmile

Rabu, 03 Juni 2009

Kilas Balik Jilbab (setelah Jilbab Loro jadi swing word)


Jilbab Loro kini menjadi salah satu swing word (kata rayuan, buaian) tim kampanye JK-Win, mengadopsi 'kesuksesan' kupluk loro di pilpres 2004. Terkait jilbab (busana muslimah penutup aurat wanita) sebenarnya memiliki sejarah tersendiri dalam ranah politik Indonesia, karena secara simbolik pernah dipersepsi sebagai ekpresi kebangkitan Islam. Dan sejarah memang memiliki 'daur'-nya sendiri, ada saatnya sesuatu dihujat dan dicurigai, ada kalanya dimaknai dan 'dimanfaatkan'. Ibarat roda pedati, berputar...

Terlepas dari sah tidaknya pemakaian swing word Jilbab Loro (lagi pula siapa yang menentukan sah tidaknya?) atau etis ataukah tidak dalam fatsun politik pemakaian kata-2 itu, saya jadi teringat pada proses 'kelahiran' jilbab dalam ranah kehidupan formal modern (maksudnya: sekolah dan kampus negeri, kantor-2, dan institusi remsi lainnya). Kita tahu, dulu (sebelum 80-an) jilbab hanya dipakai di forum pengajian ibu-2, di kampung-2, di sekolah dan lembaga pendidikan yang memang berciri agama (madrasah, pesantren) --kalau di sekolah negeri adalah di sekolah yang bernaung di bawah DEPAG (MIN, MTSN, MAN, IAIN).

Awal 80-an adalah dimulainya satu dua aktifis mencoba berani memakai jilbab di sekolah dan kampus umum. Di SMA aktifis PII, di kampus aktifis HMI atau lembaga dakwah kampus. Karuan saja, saat itu timbul perdebatan bahkan larangan dalam bentuk SK dan instruksi pelarangan pemakaian jilbab di sekolah negeri. Berkembangnya kelompok-2 pengajian (usroh) dan antusiasme kebangkitan Islam abad ke 15 menjadikan issue ini melesat bak busur panah, menohok mereka yang phobi terhadap sesuatu berbau Islam. Sebagian elite di pemerintahan melihat hal ini sebagai ekpresi ekstrem, sementara pembela jilbab berdalih bahwa ini adalah hak pengamalan agama yang dijamin UUD. Saat itu pemakai jilbab boleh dibilang dicibir dan siap menuai pemanggilan dari guru BK bagi yang masih di SMA, atau atasan bagi yang sudah bekerja di kantor.

Emha Ainun Nadjib sampai membuat pementasan teater "Lautan Jilbab" merespon dan membela merebaknya pemakai jilbab di kampus-2 umum atas kecurigaan dan penentangan yang terjadi saat itu. Pertunjukkan yang dimainkan oleh Teater Shalahuddin UGM itu dipentaskan keliling kota-2 besar di Indonesia. Jilbab memang fenomenal.

Fenomenal, karena dirunut ke belakang 20-an tahun lalu, ia dibenci dan dicurigai oleh para Islamo-phobia. Ketakutan yang berlebihan akan bangkitnya esktrem kanan, apalagi tema-tema Islamisasi Ekonomi, Islamisasi Pendidikan, Islamisasi Kebudayaan, dan Islamisasi-2 yang lain saat itu menjadi wacana yang menyeruak di antara aktifis Islam. Saat ini dengan sudah berkembangnya perbankan syariah, tema Islamisasi Ekonomi mengendur, karena bentuknya yang sudah mulai meng-empiris, ada dalam praktik. Orang pun sudah melihat sebagai hal yang biasa. Hampir tidak ada lagi trauma. Demikian pula dengan jilbab, sudah sangat biasa dan diterima sebagai 'kewajaran'. Di sekolah, kantor, di mall jilbab diterima sebagai hal yang lumrah. Bahkan di beberapa sekolah negeri di bawah kementiran Diknas, jilbab 'diwajibkan' sebagai pakaian resmi karena sekolah diperbolehkan memiliki ciri khas sendiri.

Inilah yang mungkin dicita-citakan Kuntowidjojo sebagai Islam yang bukan lagi tataran ideologi atau ilmu, tapi sudah dalam tataran empiris, sebagai sebuah sistem (atau sub sistem) yang berlaku dan berjalan di masyarakat. Ketika sebuah value di-ejawantah-kan dalam laku, yang diniatkan murni sebagai ekspresi keyakinan tanpa maksud meng-ekspresikan tujuan lain yang tersembunyi (hidden agenda), maka akan diterima sebagai kewajaran.

Kalau kini jilbab menjadi bahan buaian kampanye presiden, sungguh suatu yang luar biasa --dilihat dari 'perjalanan' jilbab sejak tahun 80-an. Dulu dibenci dan dicurigai, kini dipuji dan dimakai politis. Dulu diperjuangkan dengan ada yang harus berkorban (misalnya dikeluarkan dari pekerjaan, kenaikan pangkat terhambat, dll), kini menjadi 'alat perjuangan'. Kita perlu berterima kasih kepada para aktifis yang sudah berani memulai, berterima kasih pula kepada para pembelanya. Mereka mungkin tidak berfikir bahwa jilbab akan seperti sekarang, menjadi 'ikon' kampanye politik.

Saya jadi teringat kasidah melayu Nasida Ria Semarang yang tenar di tahuhn 80-an: "jilbab jilbab putih... lambang kesucian...". Juga lagu Bimbo: "Aisah adinda kita... dst"

Jilbab putih lambang kesucian, kalau sudah jadi 'jilbab loro'...? Anda yang boleh berpendapat. Saya hanya berharap semua bermuara pada hal positif untuk siapa pun. Be positive!

Rabu, 18 Maret 2009

Kisah Polisi dan Tumpahan Olie

Tadi siang di kantor, menjelang makan siang, ngobrol dengan 3 teman. Topik 'makan siang dimana' entah mengapa tiba-tiba sampai pada topik 'kejujuran adalah sikap yang mencerminkan kesamaan antara perkataan dan perbuatan'. Salah satu teman bilang, sekarang ini menemukan orang seperti itu (yang jujur) mungkin 1 di antara 1000. Rupanya teman satu ini pesimis dengan perilaku manusia sekarang. Dan salah satu yang 'ditengarai' bersikap tidak jujur adalah perilaku sebagian penegak hukum di negeri ini.

Nah di antara yang 1 di antara 1000 ini, teman tadi bercerita pada suatu hari dia melihat seorang polisi sedang 'mengeringkan' olie yang tumpah di jalan raya dengan pasir. Kejadian ini ber'TKP' di Purbalingga (timur Purwokerto +/- 20 km). Dikisahkannya, ada satu kendaraan yang membawa drum olie yang kurang cermat dalam pengemasan sehingga sebagian olie tumpah ke jalan raya. Tentu saja membahayakan pengguna jalan lain karena jalan menjadi licin, dan bisa membuat pengendara terjatuh.

Rupanya setelah kejadian itu, ada seorang polisi yang lewat. Dan demi melihat 'bahaya yang mengancam' maka dia berhenti. Lalu dicarinya tumpukan pasir, mengais di antara rumputan pinggir jalan barangkali ada tersisa pasir perbaikan jalan. Dengan tangannya dia mengoreh-oreh (bahasa apa ini? he..he..) dan ditebarkannya pasir ke olie yang membasahi jalan raya. SUngguh mulia Pak Polisi ini, karena berani kotor untuk menyelamatkan pengguna jalan yang akan lewat ke situ... Dia telah jujur: kalau saya yang lewat pun, saya bisa celaka. Demikian juga dengan orang lain. Maka dia jujur pada nuraninya: selalu ingin selamat. Bagaimana agar selamat? Dia berbuat: mengurug olie dengan pasir. Kata hatinya dan perbuatannya sama!

Fenomena Facebook... hanya trend?

Banyak ulasan mengenai situs jejaring sosial Facebook di koran dan majalah, menyoroti perkembangan pengguna yang kian meningkat dari hari ke hari. Di kantor pun heboh, saling bertanya: sudah punya FB belum? Bikin dong, dst dst....

Memang perkembangan facebook jauh lebih dahsyat ketimbang blog. Ketika saya sharing ke teman: saya pengin punya blog untuk menuangkan gagasan dalam tulisan, dia menjawab: blog sudah ketinggalan... buka facebook aja. Dan akhirnya punya account di FB. Berkat FB ini pula, teman-2 kuliah yang sudah 20-an tahun 'kehilangan kontak' beberapa tersambung lagi. Kontak yang ada masih lebih bersifat 'kangen-kangenan'... tapi diambil positifnya saja bahwa FB membantu kembalinya tali silaturrahmi, baik dengan teman maupun komunitas/kelompok dimana seeorang merasa menjadi bagian dan 'nyaman' ber-asosiasi dengan 'group' itu.

Tapi hasrat punya blog tetap membara, dan sekalipun di FB ada segment "catatan" untuk menulis gagasan-2, rasanya tetap belum marem (puas). Maka blog pun tetap 'dilahirkan'. Ya ini, blog yang sedang Anda kunjungi...

Kembali ke facebook. Kalau kita amati postingan-2 atau comment, status, dan tampilan yang ada... memang kebanyakan hanya memanfaatkan FB untuk memberitahu teman atau pengguna lain tentang 'perasaan saat ini, sedang ngapain, lagi di mana, dll' . Mungkin ini 'bawaan' sifat manusiawi, dimana pada saat budaya lisan dan komunitas masih kental dan orang cenderung suka berkumpul.. maka ungkapan perasaan disampaikan verbal dengan lisan. "saya ngantuk nih..", "makan di warung anu enak ya..." disampaikan pada orang yang saat itu ada di dekatnya secara fisik. Kini dengan FB, orang bisa mengungkapkan perasaannya ke banyak orang, tak peduli apakah dibaca atau di-cuekin... Tapi yang penting adalah 'perasaan sudah diungkapkan'...

Tentu saja ada yang menggunakan FB untuk kepentingan yang lebih serius. Misalnya dengan pembuatan FB tokoh-tokoh politik, agamawan, dan tokoh berbagai bidang yang berpengaruh di bidangnya sehingga FB menjadi katalog pemikiran dan sejarah. Tanpa harus pergi ke perpustaakan cari buku, bisa klik untuk melihat pemikiran-2 para tokoh yang sudah di-facebook-kan. Tentu saja untuk referensi, buku tetaplah menjadi acuan utama. Apalagi di ranah akademik.

Pertanyaannya adalah, apakah fenomena Facebook hanya trend sesaat? Dalam arti lebih sebagai 'mode' atau 'cara' orang mengungkapkan diri? Nanti manakala muncul situs yang lebih canggih, orang akan beralih ke yang lebih baru dan canggih itu (ingat friendster! saat ini konon mulai ditinggalkan).

Senin, 16 Maret 2009

Anak Anda Malas Membaca?

Membaca adalah gerbang ilmu, jalannya 'suka' dan jembatannya adalah buku. Maka pernah ada penerbit bernama 'Djambatan'. Penerbit buku-buku 'berat'. Tentu tidak saja buku, media lain seperti koran, jurnal, tabloid, majalah tentu juga merupakan sumber pengetahuan (kalau tidak bisa dikatakan sbagai 'ilmu' dalam pengertian yang lebih akademis). Selain media tulis-menulis ini, warta berita radio juga sumber pengetahuan berharga, paling tidak di era 'jaman dulu'.

Tentang radio, saya jadi teringat ketika masih SD (kelas 5-6), karena bapak senang mendengarkan siaran radio BBC London dari radio merk Phillips dengan energi batu baterai, jadi kecanduan ikut mendengarkan berita BBC. Karena seringnya mendengar nama kepala negara disebut dalam berita, terutama negara-2 konflik, saya jadi hafal nama-nama pemimpin dunia (tanpa membaca bku Himpunan Pengetahuan Umum/HPU). So, di kelas kalau Pak Soemarso (alm guru SD saya) memberi pertanyaan dengan bonus 'siapa yang bisa menjawab pertanyaan boleh pulang duluan', kalau pertanyaan menyangkut "siapa nama baru Presiden Amerika Serikat?" atau "siapa nama Perdana Menteri Inggeris saat ini?" dapat dipastikan saya yang bisa menjawab dan boleh pulang duluan... Duh, senangnya. Ya tentu saja, karena saya paling dulu tahu dari berita BBC setelah pilpres di AS dan pemilihan PM di Inggeris. Rupanya Pak Marso (begitu beliau dipanggil) suka juga mendengarkan BBC.

Ketika masih sekolah di SD pula, tanpa disengaja, saya menemukan buku usang 'Sejarah Indonesia' karya Anwar Sanusi, tiga perempat bagian 'Di Bawah Bendera Revolusi" (yang sepertiga hilang entah kenapa, mungkin disobek untuk bungkus gorengan oleh yang tidak tahu bahwa itu adalah buku penting dan fenomenal!). Yang paling saya ingat dari buku itu adalah idiom "Islam Sontoloyo". Juga buku bersampul biru ukuran mini dari Partai Masyumi (judulnya lupa, tapi isinya manifesto penolakan terhadap PKI). Dan tentu saja buku "Primbon Butaljemur Adammakna" (ini punya kakek saya, alm Saleh --semoga diterima di sisi-Nya. Amien) . Adanya iklan TV 'ketik Reg spasi Primbon krim ke nomor .... meningatkan saya pada buku kumal itu.

Kelak di SMA saya mulai tahu kenapa Di Bawah Bendera Revolusi saat itu dilarang, kemudian waktu mahasiswa sedikit ada informasi siapa Anwar Sanusi. Mengenai Masyumi mulai gamblang ketika ikut pengajian PII (Pelajar Islam Indonesia) di SMA, karena selalu menokohkan pentolan-2 Masyumi sebagai figur politik. Persentuhan dengan buku kumal, berita radio, dan inspirasi seorang kawan yang lebih tua yang 'kutu buku' (saya sering pinjam buku-2 dan majalah al-Muslimun Bangil --tks Pak Tholib Hasibuan!) menjadikan minat besar pada soal sosial- politik. Kebetulan P4 sedang getol disosialisasikan dan asas tunggal sedang 'dimunculkan' oleh rezim saat itu. Nama Deliar Noer dengan buku (yang berasal dari pidatonya) yang menentang asas tunggal mencuat ke permukaan. Saat masih SMA itu pula kalau jalan-jalan malam dan di trotoar ada pedagang buku dan majalah loak, saya beli (sekalipun uang saku mesti minta lagi ke ortu -- SMA sudah 'ngekos'). Majalah --tepatnya jurnal-- Prisma dari LP3ES sering saya dapatkan di kaki lima itu.

Karena suka dengan perkembangan politik, sering beli juga majalah Panji Masyarakat --majalah paling populer di tahun 80-an (selain Tempo tentunya). Kalau korannya pilih Pelita yang suka mengkritik pemerintah dan Golkar (terutama menjalang Pemilu). Di SMA pula mengenal stensilan 'Mahasiswa Menggugat' dari kakak seorang teman yang kuliah di UI. Buku --karena mahal-- sering baca di perpustakaan sekolah (yang alhamdulillah lumayan bagus karena siswa yang lulus wajib menyerahkan buku bebas ke sekolah). Buku Humanisme Islam-nya Maurice Bucaile sudah ada di perpus SMA N 1 Slawi, juga buku-2 Harun Nasution (Filsafat Agama), Nazwar Syamsu, dan HM Rasyidi. Tentu saja buku-2 sastra dari semua angkatan tersedia cukup lengkap. Di perpus SMA pula saya membaca majalah (An-Nur?) milik Ahmadiyah. Rupanya ada pegawai TU yang pengikut aliran ini, dan dia punya cara 'menebar' ajaran dengan menaruh majalah itu di perpus agar dibaca orang lain.

Eit.. kok jadi membicarakan masa lalu? Bukankah topiknya ingin membahas bagaimana anak kita suka membaca? Aduh.... ngelantur nih. Ok, satu keadaan yang sebenarnya tidak di-skenario oleh orang tua, saya menjadi suka mendengar berita radio, mulai membaca buku-buku orang dewasa dan pengaruhnya adalah pada minat yang begitu besar pada bidang sosial-politik, sehingga jadilah ketika memilih jurusan saat diberi formulir PMDK saya memilik FISIPOL UGM, jurusan Komunikasi. Yang ingin dijadikan patron, patern, atau pola adalah: bagaimana agar anak-anak kita suka membaca...

Dari pengalaman waktu kecil, saya pun tidak meminta dengan 'paksa': hai nak, kamu baca buku ini, buku itu, dst.... Tapi lebih kepada menunjukkan contoh. Rak buku dibiarkan terbuka, sehingga anak bisa melihat-lihat koleksi dan siapa tahu (siapa tahu yang sebenarnya: diharapkan) tertarik untuk membaca. Ketika jalan-2 ke mall, tak lupa juga mampir toko buku... dan mempersilahkan mau beli buku apa.... Kalau minta dibelikan mainan kadang dibelokan: mending kamu beli buku...

Bagaimana dengan Anda?

Kamis, 05 Februari 2009

Yoga, Menyehatkan!

Bersama Ragil Suwarno Pragolapati di akhir dekade 80-an, saya ikut pelatihan yoga di Pantai Parangkusumo Yogyakarta. Sebagai murid kami saat itu cuma berdua, saya dan Mas Yulianto Puji Winarno. Empat hari yang berkesan, namun tidak di-follow up ke tingkatan pelatihan selanjutnya alias rontok di tengah jalan... sehingga Mas Ragil menuliskannya dalam puisi "Yogawan Rontokan". Puisi itu mungkin ditujukan kepada saya (dan teman yang lain) yang berhenti belajar yoga.

Puisi itu saya baca dalam kumpulan puisi yang diterbitkan sekian tahun setelah beliau wafat di pantai Parangtritis (awal 90-an?). Yang saya ingat beliau mengajarkan bukan hanya yoga sebagai olah fisik dengan olahraga pernafasan... tapi yoga secara luas dalam pengertian bagaimana yogawan mengarungi samudra kehidupan -- atau istilah sekarang Universitas Kehidupan. Dan tidak seperti yoga dalam bentuk asli yang menjadi bagian dari ritual agama tertentu (sehingga ulama sebagian mengharamkan), namun beliau memasukan bacaan-2 'Islami' dalam praktik olah nafas.

Sekarang saya ikut yoga lagi, tapi bukan sebagaimana Mas Ragil alm ajarkan, yang saya ikuti sekarang murni yoga sebagai olah raga pernafasan dan oleh tubuh. Tidak ada sama sekali kaitan dengan agama tertentu, hanya karena gerakannya sama dengan yoga maka disebutlah yoga.

Di halaman kantor pusat Rita di Pereng Purwokerto, tiap Selasa, Kamis, dan Sabtu jam 05.00 pagi sampai jam 06.00. Ada yang mau bergabung ?