Rabu, 24 Desember 2014

Air Mancur Berkoh Purwokerto kini sudah mancur lagi...

Setiap hari saya berangkat-pulang kerja melewati bunderan air mancur Berkoh. Salah satu ikon Purwokerto yang sempat tak terurus. Kini, air mancur bunderan Berkoh sudah tampak cantik lagi. Air mancur yang mengelilingi tugu Adipura itu, dibenahi sejak tahun lalu ketika Bupati Banyumas Pak Ahmad Husen ingin merebut kembali piala Adipura sebagai lambang kebersihan dan keindahan suatu kota, setelah belasan tahun piala itu lepas dari Kabupaten Banyumas.

Dan di tahun 2014 ini, piala Adipura kembali bisa diraih oleh Kabupaten Banyumas. Kini Banyumas tidak lagi minder dengan kabupaten tetangga (Purbalingga) yang secara beruntun tiap tahun meraih Adipura. Tentu tidak hanya karena perbaikan air mancur ini sehingga Adipura bisa diraih. Tapi makna yang dalam dari air mancur ini adalah karena di tengah air mancur itu ada tugu lambang piala Adipura yang sempat belasan tahun 'hilang' dari Banyumas.

Letak sebenarnya di tengah-tengah proliman Pancurawis, yang menghubungkan Jalan Gerilya dengan Jalan Sudirman Timur, Jalan Suparjo Rustam arah ke RS Margono, Jalan ke arah Mersi dan Jalan Sunan Giri. Namun karena air mancur sendiri sudah menjadi nama yang sangat dikenal, maka bunderan itu lebih terkenal sebagai 'bunderan air mancur'. Memang hanya itulah air mancur satu-satunya yang ada di kota Purwokerto.

Sempat tidak terurus selama beberapa tahun, ditandai dengan air yang kotor, lumutan, tugu Adipura yang kusam, dan air mancur yang 'tdak mancur', bahkan sempat menjadi kolam pancing. Kini setelah direhab bak air dan 'kluwung'  bunderan-nya, sudah menampakkan keasriannya. Karena keindahanya itu pula, beberapa pasangan menjadikannya sebagai background foto pre wedding. Pasangan berdiri atau duduk di tembok kluwung air mancur, dengan pose mesra dan romantis, seromantis gerakan-gerakan air yang  terus memancar dan memancur ke arah tugu Adipura.

Di malam hari dengan lighting yang cerah, pancuran air nampak berkilau, dan jika angin bertiup, pancuran air akan bergoyang berliuk-liuk...kalau cuaca cerah, beberapa orang suka duduk-duduk di bunderan air mancur itu. Asyik juga ya...

photo: KLIKMG.COM photographer Indonesia

Khalil Gibran dan Pencarian Kesempurnaan Hidup

Khalil Gibran
Suatu hari, Khalil Gibran --seniman, penyair dan penulis kelahiran Lebanon-- bertanya kepada gurunya :
"Bagaimana caranya agar kita mendapatkan sesuatu yang paling sempurna dalam hidup..?"

Sang Guru : 
"Berjalanlah lurus di taman bunga, lalu petiklah bunga yang paling indah menurutmu dan jangan pernah kembali kebelakang..!"

Setelah berjalan dan sampai di ujung taman, Khalil Gibran kembali dengan tangan hampa, lalu Sang Guru bertanya :

"Mengapa kamu tidak mendapatkan bunga satu pun...???" 

Gibran : 
"Sebenarnya tadi aku sudah menemukannya, tapi aku tidak memetiknya, karena aku pikir mungkin yang di depan pasti ada yang lebih indah. Namun ketika aku sudah sampai di ujung, aku baru sadar bahwa yang aku lihat tadi adalah yang TERINDAH, dan aku pun tak bisa kembali kebelakang lagi..!" 

Sambil tersenyum, Sang Guru berkata : 
"Ya, itulah hidup.. semakin kita mencari kesempurnaan, semakin pula kita tak akan pernah mendapatkannya. Karena sejatinya kesempurnaan yang hakiki tidak pernah ada, yang ada hanyalah keikhlasan hati kita utk menerima kekurangan.." 

Pesan moral bisa kita ambil dari penggalan kisah di atas:
• Bila tak kuasa memberi, jangan mengambil. 
• Bila mengasihi terlalu sulit, jangan membenci. 
• Bila tak mampu menghibur orang, jangan membuatnya sedih. 
• Bila tak mungkin meringankan beban orang lain, jangan mempersulit/memberatkannya. 
• Bila tak sanggup memuji, jangan menghujat. 
• Bila tak bisa menghargai, jangan menghina.

"JANGAN MENCARI KESEMPURNAAN, tapi sempurnakanlah apa yg telah ada pada kita..."

*) dari posting-2 di BBM dan WA (ditulis kembali di blog ini agar kata-kata bijak ini bisa dibaca orang lain).

Kamis, 04 Desember 2014

Stalagmit dan stalagtit sebagai idola wisata - belajar dari Ha Long Vietnam

Ha Long Vietam
Stalalagmit dan stalagtit menjadi tujuan dan idola wisata. Di pelajaran Geografi kita ingat stalagmit adalah batuan yang terbentuk di lantai gua, yang berasal dari tetesan air di langit-langit gua di atasnya, sedangkan stalagtit adalah sejenis mineral sekunder (speleothem) yang menggantung di langit-langit gua. Stalagmit dan stalagtit adalah bentuk khas daerah Karst yang terbentuk dari proses pelarutan air di daerah kapur secara terus-menerus. Air yang larut akan masuk ke lubang-lubang yang turun ke gua dan akan menetes ke dasar gua. Tetesan-tetesan itu akan akan berubah menjadi batuan berbentuk runcing. Stalaktit membentuk batuan meruncing ke bawah, sedangkan stalagmit membentuk batuan meruncing ke atas.

Gua-gua dengan stalagmit dan stalagtit inilah yang menjadikan kesan artistik, membentuk aneka gambar yang bisa dipersonifikasi (menyerupai hewan, bentuk tubuh manusia, dll). Nah Vietnam memiliki gua-gua favorit dengan stalagmit dan stalagtit yang aduhai. Menariknya gua-gua itu ada 'di dalam' gugusan pulau-pulau karang. 

Salah satunya di gugusan-gususan pulau karang di kawasan Ha Long. Di ‘Raja Ampat’-nya Vietnam ini terdapat gugusan-gugusan pulau karang yang berjumlah ribuan. Di antara gugusan pulau-pulau itu, di dalamnya, terdapat gua-gua yang eksotik. Tak pelak ini menjadi destinasi wisata yang meggairahkan Vietnam.

gugusan pulau karts Ha Long





Untuk mencapainya kita harus cruissing, naik kapal wisata dari pelabuhan Ha Long menngarungi laut, berlayar di antara gugusan pulau karang. Pemandangan sangat indah. Karang-karang yang menyembul dari dasar laut itu berdiri kokoh, tak bergeming diterpa ombak laut Cina Selatan. Di lihat dari atas, konon gugusan-gugusan pulau karang ini akan tampak seperti seekor naga. Naga yang dipercaya sebagai ‘pelindung’ bagi Vietnam.

Jasa cruising ini banyak tersedia. Cruise eksekutif, bisnis, atau ekonomi. Biro tour biasanya sudah memesan jauh hari untuk jadwal rombongan. Sehari sebelum cruising, kita disarankan sudah menginap di Ha Long City, tidak berangkat dari Hanoi, karena perjalanan darat dari Hanoi ke Ha Long cukup lama (kira-kira 4-5 jam). Tersedia pilihan hotel bagus di Ha Long city.

Dengan menginap di Ha Long, kita berkesampatan mengunjungi night market (pasar malam), atau duduk-duduk di pinggir pantai menikmati kopi, air tebu, atau jajanan Vietnam. Paginya baru berangkat ke pelabuhan.

Asyiknya cruissing ini, kita bisa makan siang di kapal. Sajian sea food dengan cita rasa masakan khas Vietnam yang dimasak langsung di atas kapal. Hmm.. makan siang dengan semilir angin laut, dengan pemandangan gugusan batu karang dengan bentuk beragam, terasa romantis, dan maknyuss... terlebih cruising bersama orang-orang terkasih. Paket cruising ‘overnight’ alias bermalam di atas kapal juga tersedia di Ha Long.



Tentang gua itu, sebenarnya sama dengan gua-gua yang di Indonesia. Sebut saja Gua Petruk di Jatijajar Kebumen Jawa Tengah, Gua-gua di Pangandaran Jawa Barat, gua Tambuhan di Pacitan Jawa Timur, gua Lawa di Purbalingga Jawa Tengah, gua Pindul di Gunungkidul Yogyakarta, gua Londa di Toraja, dan masih banyak lagi. Bedanya, di Ha Long ini gua berada  di gugusan pulau karang di tengah laut. Dan, karena dikelola dengan baik, maka lebih nyaman dan menyenangkan.

Lampu-lampu dengan sorot warna-warni menyembul dari balik stalagmit dan stalagtit. Tanpa kelihatan kabel atau bola-bola lampu itu. Temaram sinar lampu membuat stalagtit nampak lebih eksotik, karena tidak terlalu terang... namun pengunjung tetap bisa berjalan menelusuri gua. Jadi kita tidak perlu menyewa center seharga Rp. 10.000 seperti di gua Pangandaran (harga centernya saja mungkin hanya 15 ribu... he3), karena sudah ada lampu. Di Londa Tana Toraja, bahkan harus meminta penghantaran dari ‘petugas’ yang membawa lampu petromak (jadul banget yah..). Tentu saja dengan membayar mereka.

Tidak pula ada grafiti, corat-coret dengan spidol atau cat pylox di dinding gua, seperti banyak kita temui di gua Petruk Jatijajar Kebumen.

Mungkin gua-gua di negeri kita bisa dikelola dengan lebih baik. Seperti dengan pemberian lampu yang menambah ke-artistik-an stalagtit stalagmit, dan larangan corat-coret. Kementrian Pariwisata mudah-mudahan saja punya program ke arah sana. 021214 



kapal yang siap mengantar Anda


Minggu, 30 November 2014

Pesan untuk Presiden Jokowi dari Penjual Pisang Epe Pantai Lasiana



Pantai Lasiana
Ini cerita tentang Kupang. Kota yang dibangun di atas batuan karang. Nyaris tidak terlihat hamparan tanah di kota terbesar sekaligus menjadi ibu kota Nusa Tenggara Timur (NTT) ini. Namun bukan berarti tanpa tumbuhan dan pepohonan. Di sepanjang jalan, utamanya jalan-jalan baru, ada jalur hijau yang saat musim hujan akan menghijau dan rimbun, apalagi saat musim bunga tiba, pohon-pohon itu akan tampak indah menyejukkan. 

Saya mengunjungi Kupang di akhir September, saat cuaca bisa mencapai 34 derajat (bahkan lebih). Tentu saja terasa panas. Edmundo, staf kantor di mana saya mengadakan kunjungan, bilang bulan yang baik kunjungan ke Kupang adalah antara Pebruari-Maret, dimana udara terasa nyaman (tidak lembab) dan bunga-bunga pepohonan tengah mekar, menyembulkan warna-warni dengan dominasi warna kuning dan orange kemerahan. Hmm .... sayang saya harus kunjugan di bulan September.

Oke. Saya nikmati saja keadaan ini. Saya pun minta di antar keliling kota, berkunjung  ke tempat-tempat penting kota Kupang. Maka salah satu yang dikunjungi adalah Pantai Lasiana, yang berada di sebelah timur kota Kupang, sekitar 20 menit perjalanan dari pusat kota. Karena bukan hari Sabtu atau Minggu, suasana sore itu sepi. Namun terdengar suara ‘jedag-jedug’ sound system dari sebuah cafe. “Itu diskotek Pa..”, kata Ed tanpa saya tanya.

Hampir magrib, namun masih ada beberapa orang duduk-duduk di kedai dengan lampu yang sudah menyala, tapi tidak terlalu terang. Kedai ini menjual pisang epe, siwalan, kelapa muda, dan aneka minuman. Pisang epe adalah kuliner yang khas di Pantai Lasiana Kupang. Pisang kapok (Jawa) yang tidak terlalu matang dibakar (dipanggang) dengan perapian kayu, lalu dilumuri coklat, keju, susu dan kacang. “Ini makanan khas Kupang, Pa”, kata si ibu berbadan tambun, sang penjual pisang epe.

“Enak.. rasa pisangnya masih terasa, ada sepet-sepet sedikit, tapi enak”, kata saya memuji. Tapi pujian saya bukan basa-basi agar si ibu senang. Ini jujur. Saya jadi ingat waktu kecil sering membakar pisang setengah matang yang di kebun (ladang) dekat kampung.

Pisang Epe khas Kupang
Sambil makan pisang epe bakar dan buah siwalan, ngobrol sana-sini sama si ibu yang saya lupa menanyakan namanya (saya pikir tidak terlalu penting sih). Dari soal perkembangan kota Kupang, kondisi pariwisata yang menurun, sampai operasi (razia petugas) ke lokasi pantai di malam hari.

Si ibu ini rupanya mengikuti perkembangan berita politik. Tentang Jokowi dan misi ke depannya berupa ‘poros maritim’ terinformasi ke dia. Ia lalu berujar, kalau memang maritim atau laut menjadi primadona, seharusnya bangunan-bangunan –hotel, ruko atau bangunan lain—dibangun menghadap ke laut. Bukan seperti saat ini, bangunan ‘membelakangi’ laut, dan pandangan justru ke 'gunung dan daratan'. 

Memang saya lihat bangunan yang ada saat ini membelakangi laut, dimana pantai tidak terlihat dari jalan raya dan tidak terasa kalau kita berada  di kota yang berpantai. Seharusnya, usul si ibu, bangunan menghadap ke laut, di depan bangunan ada jalan raya namun area antara jalan raya dan pantai (laut) tidak ada bangunan lagi sehingga pandangan kita benar-benar ke laut. Tidak seperti sekarang bangunan menutupi pantai. Saya lihat hanya satu bangunan besar (Hotel Aston) yang didesain menghadap ke laut. 

Bahkan di kota lama Kupang, hanya ada satu tempat yang kita bisa melihat laut secara langsung -- Ed bilang tempat nongkrong anak-anak muda di malam minggu. Di luar itu bangunan benar-benar padat dan laut berada di belakang bangunan ruko-ruko.  

Soal kedai-nya yang akhir-akhir ini sepi, si ibu mengeluhkan pembangunan mall-mall baru yang menyediakan juga tempat makan (food court) sehingga orang yang mau jajan tidak lagi pergi ke pantai Lasiana, tapi cukup di food court di mall. “Tapi bagaimana lagi ya Pa... ini sudah keharusan barangkali”, kata si Ibu membersitkan kepasrahan.

Suara si Ibu ini mungkin mewakili pandangan orang pantai, yang hidup dari 'kedekatannya' dengan dunia maritim dengan segala kemanfaatanya. Mungkin apa yang disampaikan merupakan pesan pada pemerintah sekarang, pesan untuk Presiden Jokowi, kalau memang maritim mau menjadi poros, maka pengambangan suatu wilayah pun harus ‘berpihak’ alias berorientasi pada laut, pantai, dan aspek kemaritiman lainnya. Ini pesan dari seorang ibu penjual pisang epe di Pantai Lasiana Kupang, yang boleh jadi mewakili suara mereka yang hidup dari kemaritiman.

Di tempat lain, Pangandaran misalnya, saya lihat bangunan permanen di pinggir pantai sudah menghadap ke laut. Di depan bangunan-bangunan itu (hotel, rumah, rumah makan) ada jalan raya, namun di seberang jalan raya tidak ada bangunan lagi (kecuali bangunan semi permanen – kedai-kedai) dan jalan raya berbatasan langsung dengan pantai. Mungkin si Ibu penjual pisang epe ini ingin kotanya seperti Pangandaran, kota kelahiran menteri Perikanan dan Kelautan, yang walaupun belum pernah ke Pangandaran si ibu ini bisa berimajinasi apa itu arti ‘poros maritim’. Persis seperti ditulis Ignas Kleden di kolom opini harian Kompas.

24112014 
Sabagian wajah Kupang sore hari:...
Pohon sebagian meranggas di Kupang (Puad Hasan)

Salah satu jalan baru Kupang (Puad Hasan)
Sunset Kupang (Puad Hasan)
 Foto Pantai Lasaiana by Sidisadili;

Jumat, 21 November 2014

Melongok Musoleum Ho Chi Minh - Bapak Revolusi dan Negarawan Vietnam

Musoleum Ho Chi Minh - Hanoi
Timnas PSSI sedang mengikuti turnamen Piala AFF 2014 di Hanoi, yang dimulai 22 Nopember ini, Ingat Hanoi jadi ingat perjalanan saya ke Hanoi di akhir Agustus 2014 lalu. Lumayan dapat reward jalan-jalan dari kantor. Ada apa di Hanoi -- salah satu dari 2 kota besar di Vietnam, selain Ho Chi Minh City (d/h Saigon)?

Pertama-tama yang saya ingat, karena ketertarikan saya pada sejarah, adalah tokoh legendaris Vietnam Ho Chi Minh. Ia seperti Soekarno bagi Indonesia. Ia tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan dan menyatukan Vietnam. Bedanya dengan Soekarno, Ho Chi Minh berjuang dengan berpetualang di luar negeri (sekitar 30 tahunan), di Paris, London, Rusia dan Cina. Sedangkan Soekarno berjuang dari satu tempat pembuangan ke pembuangan lain di dalam negeri.

Saya pun tidak melupakan mengunjungi musoleum Ho Chi Minh, tempat jasad Ho diawetkan, untuk mengenang jasa-jasa beliau. Sebenarnya Ho sendiri ingan jasadnya dikremasi, namun ketika meninggal 2 September 1969 para pemimpin Vietnam kala itu bersepakat mengawatkan jasadnya agar jasa Ho dapat terus dikenang, terutama jasanya dalam menyatukan Vetnam setelah dilanda perang saudara berkepanjangan antara Vetnam Utara dengan Vietnam Selatan.

Halaman musoleum yang luas - pengunjung berbaris rapi

Memasuki area musoleum, pengunjung harus berpakaian sopan: tidak boleh pakai celana pendek atau tank top bagi perempuan. Barang bawaan simpel, tas gendong tdak boleh dibawa masuk sejak pos penjagaan pertama. Tidak boleh memotret sampai usai (keluar) dari bangunan musoleum, yang berupa bangunan mirip kubus (kotak), dikelilingi tiang-tiang kokoh, dengan warna tembok/keramik  abu-abu tua. Banyak polisi (petugas) berjaga.

Berjalan pun harus berbaris, dengan shaf 2 baris. Tidak boleh bergerombol atau tidak beraturan. Ini wujud penghormatan untuk tokoh besar Vietnam. Dan... memasuki musoleum kita menyaksikan dengan jelas jasad Ho Chi Minh, sang pencerah yang menerangi Vietnam (sesuai namanya; Ho yang menerangi), membujur tenang. Wajahnya tampak memutih, dengan sedikit janggut yang dibiarkan tidak bercukur. Penduduk asli Vietnam membungkuk untuk memberi hormat ketika 'berhadapan' dengan wajah sang pahlawan. Sama sekali tidak boleh memotret. Bahkan berlam-lama pun tidak boleh. Kita hanya boleh memandangi sambil terus berjalan. Ada petugas berjaga di pintu masuk, di dalam dan di pintu keluar bangunan kotak yang kokoh itu. Mereka yang berhenti, langsung diingatkan untuk segera berjalan. Wow.. negara komunis saja tidak boleh ada 'penyembahan' untuk tokoh pahlawan-nya yah...

Sekilas Ho Chi Minh dapat dilihat di wikipedia. Hồ Chí Minh (chữ nôm: 胡志明) (19 Mei 18902 September 1969) adalah seorang tokoh revolusi dan negarawan Vietnam, yang kemudian menjadi Perdana Menteri (1954) dan Presiden Vietnam Utara (1954 - 1969). Selain itu, Ho Chi Minh merupakan salah satu politisi yang paling berpengaruh di abad-20.

Nama aslinya adalah Nguyễn Sinh Cung, dan juga dikenal sebagai Nguyễn Tất Thành, Nguyễn Ái Quốc (sebuah nama yang sering digunakan orang lainnya juga), Lý Thụy, Hồ Quang dan akrab dipanggil Bác Hồ (paman Hồ) di Vietnam. Kota Saigon yang dulunya merupakan ibukota Vietnam, diganti menjadi kota Ho Chi Minh untuk mengenang jasanya.

Karena kesederhanaan-nya Ho Chi Minh tidak mau tinggal di istana megeh peninggalan Perancis ini

Ho Chi Minh dikenal sebagai pribadi yang rendah hati, hemat, berpakaian santai, berbicara dengan tenang, jarang kehilangan kesabaran, dan sering berbicara dengan penduduk, terutama anak-anak. Sebelum meninggal, Ho berpesan agar tubuhnya dikremasi dan abunya disebarkan tanpa publikasi. Namun, ketika Ho meinggal pada 2 September 1969 pukul 9.47 pagi, di usia 79 tahun, jasad Ho diawetkan dan diletakkan dalam mausoleum Ho Chi Minh, Lapangan Ba Dhin, Hanoi dan terbuka untuk publik. Para pihak yang bertikai di seluruh Vietnam sepakat untuk mengadakan gencatan senjata selama 72 jam untuk mengenang Ho yang meninggal akibat serangan jantung. Ho meninggal tepat 25 tahun setelah dia mendeklarasikan kemerdekaan Vietnam dari Perancis dan hampir enam tahun sebelum pasukannya berhasil menyatukan Vietnam Utara dan Selatan di bawah paham komunis.

Ho Chi Minh merupakan pahlawan terbesar bagi bangsa Vietnam karena jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan penyatuan Vietnam. Ketika pasukan Vietnam Utara berhasil menaklukkan Saigon pada tahun 1975 dan menandai penyatuan Vietnam, maka kota tersebut diganti menjadi kota Ho Chi Minh. (22112014)

Rumah yang dipilih Ho Chi Minh untuk tinggal, dengan ruangan-2 yang sederhana. Mobil Kepresidenan era Ho Chi Minh dan kolam di sekitar musoleum dan rumah Ho sang penerang Vetnam.


Arti tembang Sluku-sluku bathok

Penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang dikenal sebagai Wali Songo memiliki kemampuan berdakwah secara kultural yang diakui hebat. Melalui budaya, para wali merebut simpati. 

Salah satu pesan Wali Songo melalui tembang "Sluku-sluku bathok", yang terkenal di Pulau Jawa dan sering dinyanyikan oleh anak-anak, paling tidak sampai era 70-an. Sayang saat ini sudah jarang (bahkan tidak pernah) terdengar lagi...

Tembang ini menuturkan:
🎵  Sluku-sluku bathok 🎵

Bathok (= kepala/otak) kita perlu beristirahat untuk memaksimalkan kemampuan. Kalo diforsir terus bisa aus, stress, hang, macet daya pikirnya.

🎵Bathoke ela-elo 🎶...🎵

Dengan cara berdzikir (ela-elo = Laa ilaaha ilalloh), mengingat Alloh akan mengendurkan syaraf neuron di otak.

🎵Si Rama menyang Sala🎵;

Siram (mandilah, bersuci) menyang (menuju) Sala (Sholat). Lalu bersuci dan dirikanlah sholat.

🎵Oleh-olehe payung motha🎵

Yang sholat akan mendapatkan perlindungan (payung) dari Alloh,
Kalo Alloh sudah melindungi, tak ada satupun di dunia ini yang kuasa menyakiti kita, tak satupun.

🎵Pak jenthit lolo lo bah🎵:

Kematian itu datangnya tiba-tiba, tak ada yang tahu.
Tak bisa dimajukan atau dimundurkan walau sesaat.
Sehingga saat kita hidup, kita harus senantiasa bersiap dan waspada. Selalu mengumpulkan amal kebaikan sebagai bekal untuk dibawa mati.

🎵Wong mati ora obah🎵.

Saat kematian datang, semua sudah terlambat.
Kesempatan beramal hilang.
Banyak ingin minta dihidupkan tapi Alloh tidak mengijinkan. 

🎵Yen obah medeni bocah🎵:

Jika mayat hidup lagi maka bentuknya menakutkan dan mudharat-nya akan lebih besar.

🎵Yen urip golekko dhuwit🎵:
 
Kesempatan terbaik untuk berkarya dan beramal adalah saat ini.
Saat masih hidup pengin kaya, pengin membantu orang lain, pengin membahagiakan orang tua: sekaranglah saatnya, ketika uang dan harta benda masih bisa disumbangkan bagi tegaknya agama Alloh.

Sebelum terlambat, sebelum segala pintu kesempatan tertutup. Semoga bermanfaat, dan Allah SWT melimpahkan hidayah rahmat karunia serta barokah-Nya kepada kita semua.
Aamiin yaa Robb...
(dari berbagai sumber)

Ini rute nyaman yang recomended menuju Pangandaran dari Jawa Tengah

Kemana liburan akhir tahun Anda? Kalau Anda orang Jawa Tengah dan mau ke Pangandaran Jawa Barat, saya sharing rute nyaman yang recomended. Saya pernah posting beberapa rute alternatif di blog ini. Tapi saat ini, kondisi jalan ke Pangandaran yang paling baik adalah seperti di bawah ini.

Pertama-tama Anda harus mencapai Wangon. Apakah  Anda dari daerah utara (Pantura -- Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Semarang) atau Anda dari timur (Purwokerto, Purbalingga, Wonosono, Kebumen, Purworejo, Solo, dll) Anda sebaiknya cari jalan terbaik ke Wangon dulu. Dari Wangon Anda ke selatan menuju Jeruk Legi (kota kecamatan sebelum kota Cilacap.

Dari Jeruk Legi ke barat melewati Kawunganten, Gandrungmangu, Sidareja, Kedungreja, Patimuan, Kalipucang, lalu Pangandaran.

Kondisi jalan Jeruklegi - Sidareja - Pangandaran halus dengan aspal hotmix masih baru. Bus pariwisata pun banyak melalui rute ini. Ini jauh lebih bagus daripada Anda melalui jalur Wangon -
Karangpucung- Sidareja, yang banyak tikungan tajam di Lumbir, juga kondisi jalan yang jelek.


Beberapa lintasan jalan agak sempit seperti antara Patimuan - Kalipucang sebelum jembatan sungai Citandui. Namun bus pun bisa berpapasan. Juga jalur Gandrungmangu - Sidareja. Namun secara keseluruhan rute ini layak dan paling nyaman di antara rute alternatif yang ada.

Jadi jalur rute yang nyaman yang recomended adalah: Wangon - Jeruklegi - Kawunganten - Gandrung - Sidareja - Kedungreja - Patimuan - Kalipucang - Pangandaran.

Selamat menikmati liburan Anda bersama keluarga dan orang-orang terkasih.(peta: cilacapmedia)

Banyak yang bisa diabadikan di Pangandaran dan sekitarnya

Pangandaran yang berubah dan terus berbenah

Banana boat dengan back ground hotel2 Pangandaran
Pangandaran - kota pantai kecil di ujung timur selatan Jawa Barat, tempat kelahiran menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti - masih menjadi destinasi wisata laut yang menarik. Setelah beberapa tahun tidak berkunjung ke sana, pertengahan Nopember ini saya berkesempatan berwisata ke Pangandaran. Saya terus terang pangling dengan kondisi Pangandaran saat ini. Bangunan makin padat, hotel makin banyak, dan wahana mainan wisata laut makin beragam. Apakah ini berkah tsunami yang sempat 'memporakporandakan' bangunan-bangunna pinggir pantai Pangandaran beberapa tahun lalu? Entahlah...

Yang jelas, makin banyak rumah-rumah penduduk dijadikan 'home stay' atau persewaan kamar. "Kamar Kosong - Rp. 50 ribu" demikian tulisan yang banyak terpampang di dinding-dinding rumah penduduk. Hotel berkelas pun saat ini tersedia. Salah satunya hotel "Menara Laut" yang menghadap pantai barat Pangandaran, dimana saya menginap. Saya lihat beberapa bangunan hotel lain sedang dalam progress. Antisipasi bakal makin ramainya Pangandaran, terlebih setelah berhasil menjadi daerah otonomi baru 'Kabupaten Pangandaran'? -- memisahkan diri dari Kabupaten Ciamis.

Ya, sejak 25 Oktober 2012, Kabupaten Pangandaran resmi berdiri. namun ibukotanya bukan di Pangandaran, tetapi di kecamatan Pariigi. Mungkin dengan pertimbangan Pangandaran yang sudah terlalu padat dan difokuskan untuk destinasi wisata, serta untuk pengembangan daerah di sekitarnya. Kabupaten Pangandaran terdiri dari 10 kecamatan, dan hingga saat tulisan ini dibuat belum memiliki Bupati sendiri.

Pantai Pangandaran
Pantai barat menjadi favorit untuk mandi di pantai, bercengkerama dengan ombak samudera Indonesia yang semakin ke barat semakin besar. Daerah aman bermain di pantai ada di sisi pantai barat sebelah timur, yang sedikit 'tertutup' tanjung bukit kecil yang masih berhutan lebat, yang merupakan daerah cagar alam. Makin ke barat ombak makin besar dan menurut seorang penjual makanan 50 meter dari garis pantai ada 'sumur' atau 'palung' dalam yang arusnya 'muser'. Sayang tidak ada peringatan bahaya di sekitar situ.

Pantai barat Pangandaran pagi hari

Pantai timur Pangandaran adalah "ekonomi maritim" penduduk setempat. Ada pelabuhan perikanan yang agak menjauh ke utara dekat muara sungai Citanduy, tapi sebagian kapal nelayan kecil bersandar dekat 'bukit' kecil ujung Pangandaran. Ada 'pasar ikan' dimana di situ kita bisa makan aneka sea food segar. Persewaan perahu bermotor ada di sini, menuju pasir putih dan gua-gua di bukit kecil tanjung Pangandaran. Bisa juga snorkeling, menyaksikan biota laut, ikan hias di pantai timur ini. Ada juga permainan banana boat dan mainan lain yang penuh sensasi. Tentu Anda harus membayar. Banana boat 30 ribu/orang; jet sky 350 ribu (bisa untuk berdua).


Salah satu 'ekonomi maritim' - di sini ebi dan teri dijaring?

Kehidupan malam
Pangandaran malam hari seakan tidak tidur. Karaoke buka sampai jam 2 pagi. Warung-warung makan, kedai kopi, masih buka sampai dini hari. Dan tentu saja warna-warni kehidupan malam kaum lelaki hidung belang. Ini bisa dibaca dari pertanyaan "Cari-cari Om..." oleh orang-orang yang kita temui sedang nongkrong di depan kedai. Juga dari perempuan-perempuan yang lalu lalang diboncengkan atau yang nongkrong dengan dandanan yang menor.

"Sekarang makin ramai om... ", kata penjual indomie rebus dalam obrolan dini hari, sambil saya menikmati white coffe. Ya, inilah yang membuat pangling juga, kata saya dalam hati. Seperti sudah menjadi jamak di daerah wisata, tidak hanya di Pangandaran, kehidupan malam dan prostitusi terselubung menjadi ikutan yang seolah harus ada. Daerah 'plesiran' tidak bisa steril dari dunia esek-esek. Mengapa oh mengapa? #tidak harus dijawab di sini.

Selain pantai Pangandaran, wisata lain yang terkenal adalah 'Green Canyon' -- saya tulis di posting lainnya. Suwun,,,

'Batu Layar' Pangandaran




Favorit di Pangandaran : keliling bersepeda gandeng

Satwa penghuni cagar alam Pangandaran

Jumat, 10 Oktober 2014

Pengalaman pertama naik kereta Kamandaka

Mau ke Purwokerto dari Semarang, naik apa yang nyaman? Tentu naik kereta api. Kereta Kamandaka namanya. Ekonomi AC. Ya daripada Anda naik bus ataupun travel lebih direkomendasikan naik kereta. Kecuali Anda pergi mendadak dan harus sampai di Purwokerto diperhitungkan tidak sesuai dengan jadwal kereta. Kalau bepergian terencana, mending naik kereta. Berangkat dari Semarang Tawang pukul 16.20 sampai di Purwokerto sekira pukul 20.39. Jadi sekitar 4 jam, lebih cepat 2 jam ketimbang dengan travel bus yang harus ditempuh 6 jam.

Tentu tidak hanya lebih cepat, tapi jelas lebih nyaman. Kereta sekarang (di semua kelas) bebas asap rokok, bebas asongan, tidak ada pengamen, tidak ada pula penumpang berdiri. Selain itu, bebas dari kepala pusing seperti kalau naik bus atau mobil pribadi karena melalui jalan menanjak dan menikung di rute Temanggung - Wonosobo - Banjarnegara.

Jumat pekan kedua Oktober 2014 ini saya  pertama kali naik KA Kamandaka dari Semarang Poncol. Sudah lama kereta ini beroperasi, tapi baru berkesempatan menikmatinya karena sebelumnya perjalanan tidak bisa disesuaikan dengan jadwal keberangkatan kereta.

Karena menjelang hari libur akhir pekan, kereta Kamandaka penuh. Tidak ada kursi kosong. Ada penumpang turun di Pekalongan, tapi kursi segera terisi penumpang yang naik dari kota batik ini.

Karyawan dan mahasiswa mendominasi penumpang. Terlihat dari pakaian batik lengan pendek yang banyak dipakai oleh mereka (perkantoran menerapkan kebijakan pakai batik di hari Jumat). Mahasiswa kelihatan dari tas gendong mereka dan dandanan casual mereka. Juga dari obrolan mereka.

Jadi kalau Anda mau ke Purwokerto Jumat, sebaiknya sudah beli tiket beberapa hari sebelumnya. Kalau beli mendadak di stasiun besar kemungkinan sudah habis. Terlebih dengan kebijakan tidak ada penumpang berdiri. Beli tiket kereta api pun sudah sangat mudah. Bisa di Indomaret, Alfamart, beli online, atau di agen-agen ticketing.

Sayang kereta Kamandaka baru melayani sekali perjalanan dari Semarang (dan sebaliknya dari Purwokerto. Dari Purwokerto pagi pukul 05.00, sampai di Semarang pukul 9 lebih. Sore harinya kereta / gerbong yang sama balik lagi ke Purwokerto.

Oh ya kereta ini juga banyak diminati penumpang jarak menengah, seperti Semarang ke Pekalongan, Pemalang, Tegal, Bumiayu. Juga sebaliknya dari Purwokerto dengan tujuan Bumiayu, Tegal, Pemalang atau Pekalongan. Tarip terjauh saat ini 70 ribu rupiah, tarip jarak terpendek 20 ribu rupiah. Harga yang murah untuk kenyamanan berpergian.

Rabu, 24 September 2014

30 Th Andika: Refleksi kelahiran wadah kreasi remaja pedesaan


ANDIKA FC

Tidak terasa Andika kini sudah berusia 30 tahun (1984 – 2014). Umur yang panjang untuk sebuah wadah/kelompok/klub kegiatan pemuda/i (saat itu ngetrend istilah ‘kawula muda’). Tulisan ini dibuat sebagai sebuah refleksi atas kelahirannya 30 tahun lalu, maksud dan tujuan pendirian, serta menelisik faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya.

 
Sebenarnya ketika lahir klub bernama Andika di tahun 1984, saya sudah menulis ‘khittah’, pernyataan deklarasi, atau semacam statuta kenapa lahir Andika, di sebuah buku tulis besar dimana di buku itu juga memuat  catatan aktifitas Andika. Kalau buku itu masih ada, tentu akan bisa dibaca sejarah kelahiranya serta maksud pendiriannya secara lebih original. Ada yang masih menyimpan?

Baik saya tuliskan sejarah Andika sepanjang yang saya ingat -- dan tentu saja dari sudut pandang saya. Tanggal lahirnya tidak ingat persis, tetapi yang jelas munculnya nama Andika secara resmi adalah ketika kawula muda dari seluruh Karangasem, Galuhtimur, Tonjong, Brebes, Jawa Tengah berkumpul di rumah saya, yang saat itu saya undang ‘ngiras-ngirus’ untuk ‘syukuran’ diterimanya saya di UGM tanpa test (PMDK dari SMA Negeri 1 Slawi). Kalau pengumuman kelulusan Mei, maka syukuran itu sekitar bulan Juni 1984, karena di bulan Juli saya sudah harus berangkat ke Jogja  untuk daftar ulang, cari kost, dsb. Jadi bolehlah disebutkan Juni 1984 adalah bulan kelahiran ANDIKA.

Malam itu teman-teman kawula muda berkumpul dan lek-lekan di rumah saya. Setelah doa tahlil syukuran oleh sesepuh, kawula muda melanjutkan kongkow berdiskusi mengenai wadah organisasi untuk pemuda Karangasem. Maka malam itu lahirlah bayi organisasi bernama ANDIKA, yang berasal dari singkatan “Anak Didik Karangasem”. Tidak tahu persis siapa yang pertama kali memunculkan nama Andika, mungkin mas Abdul Muntholib atau Pak Tholib ya? 

Kenapa ANDIKA ?
Sebelum lahir wadah Andika, harus jujur diakui sebelumnya sudah ada klub sepak bola bernama PesKA (Persatuan Sepakbola Karangasem), namun sesuai dengan namanya PesKA hanya mewadahi kegiatan sepakbola. Pemain PesKA yang saya ingat antara lain “trio” kakak beradik Dasori, Khanafi, dan Pak Tholib, serta  (maaf untuk yang tidak tersebutkan di sini) : Samsuri, Khadori, Khambali, Khamami, Abd Muntholib, Subyanto (alm), Warno (mertua Ridwan, mbahnya Ifan), Sarjono, dan pemain luar Karangasem yang ikut bermain untuk PesKA seperti Wagyo, Drajat (Galuhtimur 1), Dasori, Suryat (Galuhtimur 2). Saya belum bermain ketika itu, karena baru aktif sebagai tim inti ketika sudah bernama ANDIKA.

Dicetuskannya nama ke Andika saat itu, selain mungkin karena PesKA  ‘kurang enak didengar’, juga karena saat itu berkembang wacana ingin membentuk wadah yang tidak hanya mewadahi sepakbola, tetapi sebuah wadah yang menaungi semua kegiatan kawula muda Karangasem baik di bidang olahraga (tidak hanya sepak bola), kegiatan kesenian, maupun  kegiatan kerohanian (pengajian). Bukan tanpa alasan pembentukan wadah yang mencakup semua kegiatan itu, karena memang sudah ada ‘embrio’ kegiatan di luar sepak bola. Saya akan uraikan di bawah ini embrio kegiatan itu.

Pertama,saat itu sedang hangat-hangatnya kegiatan yang dicetuskan oleh Pak Tholib berupa kegiatan pengajian remaja putra “Yasinan” tiap malam Jum’at yang diadakan bergilir dari rumah ke rumah se Karangasem (untuk remaja putri sudah rutin pembacaan barzanji/diba’i). Kedua, ada pula rintisan group dangdut Andes (Anak Desa) oleh Yusuf, Mahmud, Warso, Subekhi, Muhlis, Samsudin,  Supaat, Supyan, Ahmad Nahrowi (juga Wahidin) sebagai vokalis, dll sebagai bentuk kegiatan kesenian.  (maaf nama yang tidak tersebut di sini)

Jadi Andika saat itu dilahirkan untuk meneguhkan diri sebagai wadah  kreatifitas kawula muda di berbagai bidang, baik olahraga, seni dan rohani (ngaji). Makanya kemudian Andika saya buatkan jargon (menjadi akronim) dari “tamAN muda-muDI KreAtif”. Dan alhamdulillah tidak ada yang protes, alias semua menerima. 

Demikianlah, malam itu saya secara aklamasi diberi amanat sebagai Ketua Umum Andika, untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang  sudah ada embrio-nya, dengan  menambahkan kreasi dan inovasi di sana-sini. Organisasi pun dibentuk lebih modern dengan kepengurusan yang lebih ter-struktur.  Ada Ketua, Wk Ketua, Sekretaris, Bendahara dan seksi-seksi.  Berikut ini sekilas kegiatan-kegiatan di tahun-tahun awal  ANDIKA lahir, khususnya di era kepemimpinan saya (1984-1987/88):

Olah Raga
Sepakbola adalah olah raga utama. Andika meneruskan  PesKA, yang sekalipun sudah menjadi ANDIKA, di awal-awal tetap menampung anak-anak luar Karangasem untuk bergabung (karena di luar Karangasem memang belum ada klub yang se-permanen Andika). Sebut saja Torikin (Kito), Muslihudin, Fathulloh, Wagyo, Drajat, Dasori. Dari Karangasem sendiri pemain eks PesKA yang masih bermain ketika saya juga menjadi pemain adalah Subyanto (alm),Pak Tholib, Abd Muntholib, Khadori, Samsuri, Khamami, Khambali, Sarjono, Supyan,  dll. Kemudian pemain-pamain sepantaran saya (atau sedikit di bawah saya) seperti Sugito, Romedhon, Slamet Priyanto, Kardi,  Ahmad Sofawi, Yusuf,  Ahmad Rifa’i, Khariri, Maftuha (alm), Slamet Mahfudin, Abd Rozak, Ihsanudin, Abd Hanif, dll. Lalu sambung-menyambung antar generasi berikutnya seperti  Sobri dan Ridwan CS. (mohon maaf untuk nama-nama yang tidak disebut di sini, karena tidak ingat satu per satu).

Perlu diketahui bahwa Lapangan Garuda baru ada sekitar tahun 1985 (?), jadi anak-anak jaman dulu latihan di gendung (lahan tidur/tidak digarap dikenal sebagai milik Tohari, lalu ada tegalan milik Bp Be’an yang disewa desa dijadikan lapangan). Kalau ingin bermain di lapangan yang sebenarnya maka  mengadakan sparing di lapangan Kalijurang (Glempang) atau ke Dukuh Mingkrik. Ketika lapangan Garuda sudah bisa dipakai sering mengundang klub luar seperti Trasera (Putra Sokawera) Tonjong, Anton (Anak Tonjong Timur), Andimas (Linggapura) dll.

Secara prestasi mungkin tidak ada yang bisa dibanggakan di awal-awal kelahiran Andika (maupun “kakaknya” PesKA), namun permainan Andika cukup dikenal di Tonjong dan sekitarnya. Pendek kata, permainan Andika saat itu dalam turnamen di Tonjong, Karangsawah, Kalijurang, Talok, dll cukup dinantikan oleh masyarakat. Praktis Andika menjadi wakil dari Kelurahan Galuhtimur karena tidak ada klub lain selain Andika di pertengahan 80-an itu. Dan yang lebih penting adalah meletakkan dasar bermain sepakbola secara modern bagi generasi muda Karangasem yang lahir kemudian, yang terbukti bisa berprestasi dengan meraih berbagai trophy, dimana semua itu tentunya tidak lepas dari sejarah klub sebelumnya. Saya masih ingat ketika pedukuhan lain dalam menyusun line up masih pakai pola klasik 2 – 3 – 5 (2 back, 3 half, 5 striker), kita sudah mengadopsi pola modern 3 – 4 – 3 atau 4 – 3 – 3.

Boleh dibilang Andika adalah ‘pelopor’ bagi klub-klub lain di Galuhtimur, karena faktanya Andika-lah klub pertama yang ada di Kelurahan Galuhtimur. Untuk sepakbola lagi-lagi kita harus berterima kasih kepada Pak Tholib yang sering menjadi coach dalam latihan di Lapangan Garuda, seperti latihan dasar menendang bola yang benar, controlling, dribling, passing, pressing lawan, heading, dan teknik-teknik lainnya.

Selain sepakbola olah raga lain yang menggunakan baju nama Andika kemudian adalah “Bola Volley”. Praktis hanya sepakbola dan bola volley yang populer. Ada badminton, namun angin-anginan alias musiman.

Rehat sejenak perjalanan ke Guci
Kegiatan olah fisik lain yang sempat diadakan adalah HIKING/Camping, dimana ada moment yang tidak bisa dilupakan di tahun 1985, yaitu HIKING dari Karangasem ke Guci berjalan kaki (Karangasem – Linggapura – Balapusuh – Cempaka – Jegjeg – Bumijawa – Guci) kemudian camping semalam di sana. Hiking saat itu biasanya hanya dilakukan oleh sekolah tingkat SMA, tidak ada sebuah klub remaja yang melakukannya. 

Kegiatan ini menampung mereka yang tidak hobby olah raga permainan (tidak hoby atau tidak bisa ya? He3...). Makanya seorang Sairin pun (yang tidak ikut di sepakbola maupun volley) untuk hiking ini ikut serta. Juga Taruno, Nur (putra dari alm Wajad), Saoji, Abdulloh, dll. Jadi Andika kala itu berusaha mengakomodir semua minat positif dari kawula muda.

Seni
Kreasi anak muda tidak hanya di bidang olah raga, namun juga di bidang kesenian. Karenanya selain ada group Andes (dangdut), ditampung pula kreatifitas di bidang seni lain. Misalnya pernah dalam peringatan hari besar Islam dipentaskan Drama Malin Kundang (pemain Subehi sebagai Malin Kundang, Muniroh sebagai Ibu dari Malin Kundang, pemain yang lain saya lupa) dan saya sendiri sebagai narator. Jangan dibayangkan penampilan drama (teater) seperti yang mungkin sering Anda lihat sekarang, ketika itu tentu pentasnya adalah pentas sederhana. Namun untuk ukuran di pedesaan saat itu, pentas drama adalah sebuah ‘kehebohan’ dan menjadi tontonan yang dinanti-nanti. Hanya ANDIKA yang bisa menampilkan tontonan seperti itu di kelurahan Galuhtimur.

ANDES Group
Ada pula event khusus pentas seni, dengan tajuk “Malam Pesona Andika” yang menampilkan berbagai bentuk kesenian baik kasidah, lawak, nyanyi dengan iringan gitar akustik, dan pembacaan puisi (kalau tidak salah ingat ada puitisasi terjemah Al-Qur’an). Diundang juga grup seni pedukuhan lain untuk ikut tampil.

Hal yang tidak bisa dilupakan adalah paduan suara Andika, saya lupa di tahun berapa (tapi yang jelas di awal-awal ANDIKA berdiri), berlokasi di depan rumah saya dalam event peringatan hari besar Islam ditampilkan Paduan Suara Putra Andika dengan membawakan lagu “Wahai pemuda-pemudi Islam...” selain tentunya “Mars Andika”. Ketika itu pemuda-pemuda Andika baik pelajar maupun non pelajar, yang terpilih dalam grup paduan suara, semua memakai seragam putih-putih (celana dan baju putih) dan berpeci hitam, menyanyikan dengan semangat dan khidmat lagu yang konon populer di tahun 60-an.

Lagu yang Sdr Tarwad sampai sekarang masih punya piringan hitamnya itu, kontan membuat haru para orang tua yang kembali teringat masa muda mereka ketika lagu itu diperdengarkan dalam acara-acara kampanye atau pawai politik di tahun 50-60an. Beberapa di antaranya sampai menangis (mrebes mili), mendengarkan lagu itu dibawakan dengan penuh semangat oleh paduan  suara putra Andika. Konon, yang sampai menangis adalah Ibu Damirah (alm) ibunda Sdr Sobri. Pengunjung yang lain juga banyak yang terharu...

Namun ada ‘kecelakaan’ sedikit dalam koor paduan suara itu, yaitu kesalahan syair bahasa Arab yang seharusnya “balkum” (?) tapi dinyanyikan “Wahum”... he3... Maklum lagu lama dan tidak bisa browsing syair yang benar saat itu. Boro-boro internet, listrik saja belum masuk. Untuk pementasan malam hari penerangan masih pakai petromak, pengeras suara pakai aki.

Ngaji
Selain kegiatan Peringatan Hari Besar Islam, kegiatan rohani Andika adalah kegiatan rutin Yasinan malem Jum’at (sekarang masih berjalan?), di mana kala itu diisi dengan pemberian kultum oleh remaja secara bergiliran. Setelah pembacaan Yaasiiin, remaja yang ditunjuk menyampaikan kuliah tujuh menit (kultum) sebagai sarana pembelajaran berbicara di depan umum. Pernah juga kegiatan taraweh khusus remaja yang diadakan di madrasah diniyah, dimana setelah taraweh diadakan pengajian remaja. Bahkan “Ngaji” alias belajar bahasa Inggeris pun pernah diadakan usai sholat subuh berjamaah (di bulan Ramadhan), bertempat di musholla H Harun (alm).

Bp Mufid (alm) mengisi Pengajian Andika
Kegiatan rohani lain adalah “Gerakan Amal Sholeh” (GAS) berupa gotong royong  membersihkan semua langgar (musholla) yang ada di Karangasem. Ketika itu masjid belum berdiri. Ngepel, nyapu, bersihkan debu dan ‘sawang’ di semua musholla / langgar se Karangasem, diadakan sebagai bentuk amal nyata selain ngaji mendengarkan ceramah. Kegatan GAS ini terinspirasi dari keikutsertaan saya di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) ketika SMA, yang rutin melakukan kerja bakti amal sholeh dengan membersihkan tempat ibadah.    

Demikian apa yang teringat di pikiran saya ketika Andika berdiri dan memimpin dar 1984 s/d  1987/88 (?) yang kala itu berkegiatan “Olahraga, Seni, dan Ngaji”, dengan maksud  (dalam ‘mimpi’ saya) agar kawula muda Karangasem sehat secara fisik dengan aktif berolahraga, memiliki etika dan estetika karena berjiwa seni, dan tetap memiliki ketaatan pada Illahi dengan aktif mengaji. 

Tentu saja banyak yang terlibat dan memiliki andil, baik yang terlibat langsung dalam kegiatan maupun dari belakang layar dengan dukungan moril dan materiil. Andika kini di tangan generasi muda dari era yang berbeda, yang lahir bahkan setelah Andika lahir alias lebih tua dari usia Andika itu sendiri. Maju mundurnya tentu ada pada Anda semua, remaja Karangasem Galuhtimur.

Terakhir Mars Andika yang masih saya ingat sebagian syair-nya sbb (?):

Andika arena ‘tuk maju, ajang kreasi dan gaya
Bersama Andika, Kita berjaya
                Olahraga seni dan ngaji, untuk menempa diri
                PadaMu ya Illahi, kita mengabdi
Selebihnya benar-benar lupa, maaf.

Purwokerto, 20 September 2014 - Puad Hasan, ketua pertama ANDIKA
Gitaris Andes Yusuf Efendi