Rabu, 18 Maret 2009

Kisah Polisi dan Tumpahan Olie

Tadi siang di kantor, menjelang makan siang, ngobrol dengan 3 teman. Topik 'makan siang dimana' entah mengapa tiba-tiba sampai pada topik 'kejujuran adalah sikap yang mencerminkan kesamaan antara perkataan dan perbuatan'. Salah satu teman bilang, sekarang ini menemukan orang seperti itu (yang jujur) mungkin 1 di antara 1000. Rupanya teman satu ini pesimis dengan perilaku manusia sekarang. Dan salah satu yang 'ditengarai' bersikap tidak jujur adalah perilaku sebagian penegak hukum di negeri ini.

Nah di antara yang 1 di antara 1000 ini, teman tadi bercerita pada suatu hari dia melihat seorang polisi sedang 'mengeringkan' olie yang tumpah di jalan raya dengan pasir. Kejadian ini ber'TKP' di Purbalingga (timur Purwokerto +/- 20 km). Dikisahkannya, ada satu kendaraan yang membawa drum olie yang kurang cermat dalam pengemasan sehingga sebagian olie tumpah ke jalan raya. Tentu saja membahayakan pengguna jalan lain karena jalan menjadi licin, dan bisa membuat pengendara terjatuh.

Rupanya setelah kejadian itu, ada seorang polisi yang lewat. Dan demi melihat 'bahaya yang mengancam' maka dia berhenti. Lalu dicarinya tumpukan pasir, mengais di antara rumputan pinggir jalan barangkali ada tersisa pasir perbaikan jalan. Dengan tangannya dia mengoreh-oreh (bahasa apa ini? he..he..) dan ditebarkannya pasir ke olie yang membasahi jalan raya. SUngguh mulia Pak Polisi ini, karena berani kotor untuk menyelamatkan pengguna jalan yang akan lewat ke situ... Dia telah jujur: kalau saya yang lewat pun, saya bisa celaka. Demikian juga dengan orang lain. Maka dia jujur pada nuraninya: selalu ingin selamat. Bagaimana agar selamat? Dia berbuat: mengurug olie dengan pasir. Kata hatinya dan perbuatannya sama!

Fenomena Facebook... hanya trend?

Banyak ulasan mengenai situs jejaring sosial Facebook di koran dan majalah, menyoroti perkembangan pengguna yang kian meningkat dari hari ke hari. Di kantor pun heboh, saling bertanya: sudah punya FB belum? Bikin dong, dst dst....

Memang perkembangan facebook jauh lebih dahsyat ketimbang blog. Ketika saya sharing ke teman: saya pengin punya blog untuk menuangkan gagasan dalam tulisan, dia menjawab: blog sudah ketinggalan... buka facebook aja. Dan akhirnya punya account di FB. Berkat FB ini pula, teman-2 kuliah yang sudah 20-an tahun 'kehilangan kontak' beberapa tersambung lagi. Kontak yang ada masih lebih bersifat 'kangen-kangenan'... tapi diambil positifnya saja bahwa FB membantu kembalinya tali silaturrahmi, baik dengan teman maupun komunitas/kelompok dimana seeorang merasa menjadi bagian dan 'nyaman' ber-asosiasi dengan 'group' itu.

Tapi hasrat punya blog tetap membara, dan sekalipun di FB ada segment "catatan" untuk menulis gagasan-2, rasanya tetap belum marem (puas). Maka blog pun tetap 'dilahirkan'. Ya ini, blog yang sedang Anda kunjungi...

Kembali ke facebook. Kalau kita amati postingan-2 atau comment, status, dan tampilan yang ada... memang kebanyakan hanya memanfaatkan FB untuk memberitahu teman atau pengguna lain tentang 'perasaan saat ini, sedang ngapain, lagi di mana, dll' . Mungkin ini 'bawaan' sifat manusiawi, dimana pada saat budaya lisan dan komunitas masih kental dan orang cenderung suka berkumpul.. maka ungkapan perasaan disampaikan verbal dengan lisan. "saya ngantuk nih..", "makan di warung anu enak ya..." disampaikan pada orang yang saat itu ada di dekatnya secara fisik. Kini dengan FB, orang bisa mengungkapkan perasaannya ke banyak orang, tak peduli apakah dibaca atau di-cuekin... Tapi yang penting adalah 'perasaan sudah diungkapkan'...

Tentu saja ada yang menggunakan FB untuk kepentingan yang lebih serius. Misalnya dengan pembuatan FB tokoh-tokoh politik, agamawan, dan tokoh berbagai bidang yang berpengaruh di bidangnya sehingga FB menjadi katalog pemikiran dan sejarah. Tanpa harus pergi ke perpustaakan cari buku, bisa klik untuk melihat pemikiran-2 para tokoh yang sudah di-facebook-kan. Tentu saja untuk referensi, buku tetaplah menjadi acuan utama. Apalagi di ranah akademik.

Pertanyaannya adalah, apakah fenomena Facebook hanya trend sesaat? Dalam arti lebih sebagai 'mode' atau 'cara' orang mengungkapkan diri? Nanti manakala muncul situs yang lebih canggih, orang akan beralih ke yang lebih baru dan canggih itu (ingat friendster! saat ini konon mulai ditinggalkan).

Senin, 16 Maret 2009

Anak Anda Malas Membaca?

Membaca adalah gerbang ilmu, jalannya 'suka' dan jembatannya adalah buku. Maka pernah ada penerbit bernama 'Djambatan'. Penerbit buku-buku 'berat'. Tentu tidak saja buku, media lain seperti koran, jurnal, tabloid, majalah tentu juga merupakan sumber pengetahuan (kalau tidak bisa dikatakan sbagai 'ilmu' dalam pengertian yang lebih akademis). Selain media tulis-menulis ini, warta berita radio juga sumber pengetahuan berharga, paling tidak di era 'jaman dulu'.

Tentang radio, saya jadi teringat ketika masih SD (kelas 5-6), karena bapak senang mendengarkan siaran radio BBC London dari radio merk Phillips dengan energi batu baterai, jadi kecanduan ikut mendengarkan berita BBC. Karena seringnya mendengar nama kepala negara disebut dalam berita, terutama negara-2 konflik, saya jadi hafal nama-nama pemimpin dunia (tanpa membaca bku Himpunan Pengetahuan Umum/HPU). So, di kelas kalau Pak Soemarso (alm guru SD saya) memberi pertanyaan dengan bonus 'siapa yang bisa menjawab pertanyaan boleh pulang duluan', kalau pertanyaan menyangkut "siapa nama baru Presiden Amerika Serikat?" atau "siapa nama Perdana Menteri Inggeris saat ini?" dapat dipastikan saya yang bisa menjawab dan boleh pulang duluan... Duh, senangnya. Ya tentu saja, karena saya paling dulu tahu dari berita BBC setelah pilpres di AS dan pemilihan PM di Inggeris. Rupanya Pak Marso (begitu beliau dipanggil) suka juga mendengarkan BBC.

Ketika masih sekolah di SD pula, tanpa disengaja, saya menemukan buku usang 'Sejarah Indonesia' karya Anwar Sanusi, tiga perempat bagian 'Di Bawah Bendera Revolusi" (yang sepertiga hilang entah kenapa, mungkin disobek untuk bungkus gorengan oleh yang tidak tahu bahwa itu adalah buku penting dan fenomenal!). Yang paling saya ingat dari buku itu adalah idiom "Islam Sontoloyo". Juga buku bersampul biru ukuran mini dari Partai Masyumi (judulnya lupa, tapi isinya manifesto penolakan terhadap PKI). Dan tentu saja buku "Primbon Butaljemur Adammakna" (ini punya kakek saya, alm Saleh --semoga diterima di sisi-Nya. Amien) . Adanya iklan TV 'ketik Reg spasi Primbon krim ke nomor .... meningatkan saya pada buku kumal itu.

Kelak di SMA saya mulai tahu kenapa Di Bawah Bendera Revolusi saat itu dilarang, kemudian waktu mahasiswa sedikit ada informasi siapa Anwar Sanusi. Mengenai Masyumi mulai gamblang ketika ikut pengajian PII (Pelajar Islam Indonesia) di SMA, karena selalu menokohkan pentolan-2 Masyumi sebagai figur politik. Persentuhan dengan buku kumal, berita radio, dan inspirasi seorang kawan yang lebih tua yang 'kutu buku' (saya sering pinjam buku-2 dan majalah al-Muslimun Bangil --tks Pak Tholib Hasibuan!) menjadikan minat besar pada soal sosial- politik. Kebetulan P4 sedang getol disosialisasikan dan asas tunggal sedang 'dimunculkan' oleh rezim saat itu. Nama Deliar Noer dengan buku (yang berasal dari pidatonya) yang menentang asas tunggal mencuat ke permukaan. Saat masih SMA itu pula kalau jalan-jalan malam dan di trotoar ada pedagang buku dan majalah loak, saya beli (sekalipun uang saku mesti minta lagi ke ortu -- SMA sudah 'ngekos'). Majalah --tepatnya jurnal-- Prisma dari LP3ES sering saya dapatkan di kaki lima itu.

Karena suka dengan perkembangan politik, sering beli juga majalah Panji Masyarakat --majalah paling populer di tahun 80-an (selain Tempo tentunya). Kalau korannya pilih Pelita yang suka mengkritik pemerintah dan Golkar (terutama menjalang Pemilu). Di SMA pula mengenal stensilan 'Mahasiswa Menggugat' dari kakak seorang teman yang kuliah di UI. Buku --karena mahal-- sering baca di perpustakaan sekolah (yang alhamdulillah lumayan bagus karena siswa yang lulus wajib menyerahkan buku bebas ke sekolah). Buku Humanisme Islam-nya Maurice Bucaile sudah ada di perpus SMA N 1 Slawi, juga buku-2 Harun Nasution (Filsafat Agama), Nazwar Syamsu, dan HM Rasyidi. Tentu saja buku-2 sastra dari semua angkatan tersedia cukup lengkap. Di perpus SMA pula saya membaca majalah (An-Nur?) milik Ahmadiyah. Rupanya ada pegawai TU yang pengikut aliran ini, dan dia punya cara 'menebar' ajaran dengan menaruh majalah itu di perpus agar dibaca orang lain.

Eit.. kok jadi membicarakan masa lalu? Bukankah topiknya ingin membahas bagaimana anak kita suka membaca? Aduh.... ngelantur nih. Ok, satu keadaan yang sebenarnya tidak di-skenario oleh orang tua, saya menjadi suka mendengar berita radio, mulai membaca buku-buku orang dewasa dan pengaruhnya adalah pada minat yang begitu besar pada bidang sosial-politik, sehingga jadilah ketika memilih jurusan saat diberi formulir PMDK saya memilik FISIPOL UGM, jurusan Komunikasi. Yang ingin dijadikan patron, patern, atau pola adalah: bagaimana agar anak-anak kita suka membaca...

Dari pengalaman waktu kecil, saya pun tidak meminta dengan 'paksa': hai nak, kamu baca buku ini, buku itu, dst.... Tapi lebih kepada menunjukkan contoh. Rak buku dibiarkan terbuka, sehingga anak bisa melihat-lihat koleksi dan siapa tahu (siapa tahu yang sebenarnya: diharapkan) tertarik untuk membaca. Ketika jalan-2 ke mall, tak lupa juga mampir toko buku... dan mempersilahkan mau beli buku apa.... Kalau minta dibelikan mainan kadang dibelokan: mending kamu beli buku...

Bagaimana dengan Anda?