Rabu, 28 November 2012

Terminal-terminal bus yang 'mangkrak'

Terninal Kebumen
Setelah sekian lama tidak menggunakan jasa transportasi bus umum untuk sebuah perjalanan, pada hari Selasa (20/11/12) saya menggunakan moda angkutan ini untuk perjalanan dari Gombong ke Purworejo. Dengan bus 'bumel' Santoso trayek Purwokerto - Semarang via Purworejo yang kondisi cat dan bodynya mengingatkan pada bus-bus yang sering muncul di film-film India: kusam dan butut.

Dalam perjalanan antara Gombong-Purworejo, bus memasuki dua terminal besar (Type A): Kebumen dan Purworejo. Soal terminal bus ini yang ingin saya berbagi.

Bus masuk ke terminal untuk bayar retribusi dan tampak sebagai formalitas saja. Karena di situ bus tidak menurunkan dan menaikkan penumpang, sebagai fungsi didirikannya terminal. Ini sungguh ironis. Bus hanya masuk dan berputar saja.  Apakah karena lokasinya yang jauh dari keramaian (pemukiman, pasar, kompleks pertokoan) sehingga orang malas naik/turun di situ, karena untuk mencapai point yang dituju harus menggunakan moda lain (angkot) dan butuh waktu lama? Demikian juga mereka yang akan naik, lebih baik menunggu di tempat 'ngetem' yang berada dekat dengan pusat kota. Ini terjadi baik di Kebumen maupun Purworejo.

Pendirian terminal yang berbiaya besar (Terminal Kebumen konon menghabiskan 13 milyar) dengan lokasi menjauh dari kota pasti dimaksudkan untuk memperluas area keramaian sehingga kemajuan daerah akan terlihat. Namun tujuan ini tidak tercapai, karena bukan kebutuhan masyarakat yang difokuskan, namun lebih kepada kepentingan tata ruang dan kepentingan lain yang saya tidak tahu. Bahwa terminal menjadi titik temu inter moda / koneksi angkutan tidak berjalan.

Kondisi terminal pun tampak lengang. Hanya beberapa bus Sinar Jaya parkir di situ. Bus Sinar Jaya ini kebanyakan jurusan Jakarta yang berangkat sore hari, dengan point keberangkatan dari agen-agen di kota-kota kecamatan. Rumput dan ilalang tampak dibiarkan meninggi, tanda tidak ada perawatan. Area-area yang disebutkan sebagai area kedatangan dan keberangkatan Angkot sama sekali tidak digunakan, menandakan inter koneksi moda angkutan yang direncanakan tidak berjalan.

Lalu mengapa bus harus tetap masuk terminal kalau begitu ya? Berapa waktu yang digunakan untuk memutar, apalagi di Purworejo yang terminalnya masuk ke dalam dengan jalan berkelok-kelok. Kalau harus membayar TPR bukankah cukup di pos pinggir jalan, pikir saya. (Mungkin pikiran saya ini terpengaruh oleh waktu yang sudah mepet dimana saya haru sampai di tujuan pada jam sekian-sekian ... he3). Keadaan ini menjadikan angkutan umum bus tidak efisien, dan ditinggalkan oleh orang. Kondisi bus AKAP (antar kota antar propinsi) non PATAS yang 'jelek' menandakan tidak adanya kemampuan perusahaan untuk melakukan peremajaan armada, ini tentu karena secara hitung-hitungan investasi bus baru tidak 'cucuk' dengan pendapatan.

Kambali ke soal terminal. Boleh dibilang terminal-2 bus itu mangkrak. Kondisi terminal Purwokerto saya lihat lebih hidup, aktifitas terbilang tinggi. Mungkin karena Purwokerto salah satu destinasi besar/utama, bukan transit (sebagaimana Purworejo dan Kebumen) sehingga inter koneksi moda angkutan lebih bisa berjalan.

Ini belum bicara kondisi kenyamanan terminal, karena bisa saja orang malas ke terminal karena trauma atau image yang negatif pada terminal. Takut diganggu preman misalnya. Tapi saya tidak berprasangka demikian pada terminal bus yang saya lewati. Itu cap yang pernah saya dengar tentang terminal bus pada umumnya.

Mungkin sebaiknya  --ini pendapat sebagai awam soal transportasi-- terminal bus di kota-kota transit (bukan destinasi utama) sebaiknya dibuat seperti halte-halte saja, yang terdiri dari beberapa jalur untuk antisipasi bus yang berhenti dengan tujuan berbagai kota. Dia berhenti sampai dengan bus di belakangnya yang satu trayek 'nyundul' atau bisa saja dia tidak perlu menunggu yang di belakang kalau memang sudah penuh. Lokasinya pun dipilih tidak terlalu jauh dari keramaian pusat kota seperti pasar atau pusat perbelanjaan. Terminal yang ada diapakan dong? Ya bisa saja dimanfaatkan untuk pangkalan bus antar kota yang memang trayeknya dimulai/diakhiri di kota tersebut, bisa juga untuk terminal peti kemas, atau mungkin dibangun mall di situ ... (ah, ini usulan-2 yang 'maksa' ya...). 

Minggu, 18 November 2012

Gaya komunikasi AHOK: pil pahit yang harus ditelan

Beredarnya video AHOK ke publik melalui YouTube, baik video rapat dengan dinas PU Pemprov DKI dan video-video aktifitas lainnya wakil gubernur yang bernama lengkap BASUKI TJAHAJA PURNAMA mengundang pujian, tapi juga kritikan. Gayanya memimpin rapat yang tidak formal seperti diakuinya sendiri, langsung to the point, ceplas-ceplos, tanpa basa-basi mengagetkan sementara pihak yang masih memandang bahwa semestinya memimpin rapat di pemerintahan tidak seperti itu. Pandangan ini mewakili stereotype birokrasi itu penuh dengan etika, sopan santun, berbicaranya tenang dan tertata, dan tidak ada kata-kata kasar atau ungkapan bahasa keseharian 'loe, gue'. Terlebih dengan sengaja dipublikasikan, dianggap mempermalukan jajaran dinas Pemrpov DKI. Gaya AHOK dinilai MENOHOK birokrasi.

Terlepas dari materi yang dibahas, gaya AHOK sebenarnya biasa, bahkan sangat biasa. Di swasta tertentu, rapat-rapat diadakan dengan efektif, pembicaraan to the point pada materi yang dibahas. Tidak banyak basa-basi seperti kalimat pembuka "kepada yang terhormat bapak fulan, kepada yang terhormat ...." dengan menyebut satu per satu pejabat yang hadir atau basa-basi yang lain. Saya bukan PNS, tapi pernah mengikuti beberapa rapat di pemerintahan memang rasanya membosankan. Sambutan-2 pejabat terasa hambar tanpa dinamika, datar, dan dengan bahasa yang kelihatan santun beretika, tapi sebenarnya tidak 'ngeh', tidak menggigit. Mungkin ada yang tidak seperti yang pernah saya ikuti, tapi mungkin juga tidak banyak.

AHOK mengingatkan pada sosok Jusuf Kalla (JK) yang menurut saya juga tidak penuh basa-basi, gaya bicara yang antusias, ada penekanan pada kata kunci yang ingin ditonjolkan, dengan mata berbinar dan sorot mata menyapu semua audience. Semangat. AHOK lebih bersemangat lagi dan bagi kalangan tertentu menjurus kasar. Mungkin karena keduanya lahir dan besar di lingkungan swasta, bukan PNS karier. Atau karena keduannya bukan orang JAWA yang secara kultur memiliki gaya komunikasi berbeda?

Ini bukan soal suku mana berasal sebenarnya. Tapi lebih karena urgensi-nya dimana kondisi negeri kita ini memang sedang memerlukan sosok-sosok pemberani, yang mau melawan arus demi Indonesia baru yang lebih bersih. Carut marut negeri ini memerlukan pemimpin yang tegas, terbuka, penuh semangat, dan berkomitmen tinggi. Ahok menayangkan video itu ke YouTube tentu ingin membuktikan apa yang dikerjakan demi JAKARTA BARU. Bahwa kampanye-nya bukan slogan semata, tapi dibuktikan dengan kinerja. Sebagai langkah awal 'pengobatan' pada kondisi birokrasi yang sakit, gaya AHOK adalah pil pahit yang harus ditelan. Saya yakin kalau birokrasi di bawahnya sudah pada track yang diinginkan oleh JOKOWI-AHOK, gaya mereka tidak akan 'kasar' lagi (menurut mereka yang menganggap kasar).


Jumat, 16 November 2012

Makan buah sukun, buang air jadi lancar

Kamis sore (15/11/12) yang lalu teman saya bertamu ke rumah. Suasana agak mendung, isteri saya menyuguhkan teh hangat dan buah sukun goreng. Tumben nih ada sukun. Lama sekali tidak mengkonsumsi buah sukun yang buahnya bulat hijau mirip jeruk bali kalau sudah tua. Saat masih muda buah sukun seperti berduri. Dulu (medio 90-an) pernah tinggal di Cilacap di sebuah rumah yang halaman depannya luas dan ada dua pohon sukun di situ. Sampah daunnya bikin kesal karena tiap pagi daun-daun kering berserakan. Harus rajin menyapu tentu saja.

Bukan kali ini saja saya makan buah sukun. Baik digoreng, direbus (dikukus) maupun dibikin keripik. Namun yang dylu-dulu kok tidak merasakan langsung manfaat dan khasiat buah sukun ya... apakah karena masih muda dan sehat, dalam arti belum ada aneka penyakit di badan ini?

Tapi dalam dua hari ini isteri selalu menyajikan buah sukun, kadang digoreng kadang direbus (lebih tepatnya dikukus atau dalam istilah kampung saya dirawun). Saya sangat merasakan khasiatnya, terutama buang air besar jadi lebih lancar dan lebih terasa terbuang dengan bersih, seakan tidak ada kotoran yang tersisa di perut. Lendir pun tidak ada.

Lalu dari khasiat yang terbukti nyata ini saya browsing mencari pembenaran ilmiah atas apa yang saya rasakan. Dan apa yang ditulis oleh banyak orang di blog dan web-nya memang saya rasakan. Buah sukun kaya serat sehingga melancarkan pencernaan. Kaya karbohidrat namun rendah kalori sehingga cocok untuk penderita diabetis. Anda yang sedang diet menurutnkan berat badan jangan ragu makan buah sukun karena BAB anda akan lancar. Juga dikatakan cocok untuk para penderita penyakit liver, jantung dan ginjal.

Saya pernah punya kadar gula dalam darah tinggi di atas normal. Dan dalam setahun terakhir ini menghindari konsumsi gula, makan nasi cukup satu centong, banyak makan buah dan sayur serta rajin olah raga (yoga tiap Selasa dan Kamis pagi, bad minton Sabtu pagi, masih ditambah kadang-kadang sepedaan atau jalan pagi). Alhamdulillah gula kembali normal, berat badan turun sekitar 14 kg dalam setahun. Namun harus konsisten dalam pola makan untuk tetap mempertahankan kondisi. Dan dengan buah sukun ini kelihatannya akan cocok sebagai tambahan menu makanan untuk menjaga tubuh tetap sehat.

Buah sukun mudah dicari. Di pasar-pasar tradisional selalu ada buah sukun. Dan harganya pun murah. Rasanya empuk, halus seperti roti. Silahkan mencoba. Saya sudah membuktikan.

Lagi, tentang pemberian grasi Ola dan peredaran mirasantika

Kira-kira pukul 18.30-an kemarin saya posting soal pemberian grasi kepada Ola yang bisa jadi akan meningkatkan 'moril' pengedar, pemakai dan siapa pun yang terlibat dalam peredaran narkoba... Sebentar kemudian menonton TV. Dan.... betapa miris dan prihatin, di berita malam TV One ada diskusi tokoh-tokoh BNN, polisi dan mantan hakim soal pengeroyokan Briptu Joko oleh beberapa oknum TNI dan polisi di Pakanbaru, Riau. Dan menurut detik.com :  http://news.detik.com/read/2012/11/13/161024/2090602/10/joko-dieksekusi-8-orang-kapolresta-pekanbaru-diduga-terkait-narkoba?nd771108bcj kasus ini terkait narkoba. Diberitakan pula para pengeroyok Joko dari tes urine yang dilakukan positif mengkonsumsi narkoba. Na'udzubillahi mindzalik...

Sungguh memprihatinkan. Narkoba telah memasuki semua segment dan instansi. Polisi, TNI, hakim, anggota legislatif, eksekutif, PNS, wartawan tak luput dari incaran para pengedar. Jangan tanya remaja dan mahasiswa. Juga di pedesaan-2 yang jauh dari pantauan aparat keamanan, narkoba dalam ragam jenis sudah menjadi hantu yang seharusnya menakutkan bagi masa depan negeri ini. Belum lagi peredaran miras yang sekalipun daerah-2 memiliki peraturan daerah (perda) yang mengatur peredaran miras, namun dalam prakteknya sangat mudah dan dalam jarak yang dekat orang bisa membeli miras. Dan seperti gosip yang beredar, sejumlah oknum memback-up distribusi ini. Tidak pernah ada operasi miras yang berhasil, karena sebelum sampai ke TKP sudah bocor dulu sehingga barang-2 haram sudah disingkirkan.

Saya pernah melihat di lapak pengepul barang rongsokan, dimana di situ ditampung juga botol-botol dari berbagai jenis, sungguh mencengangkan bahwa dari para pemulung setiap harinya bisa terkumpul beberapa karung botol minuman keras. Itu hanya satu dari banyak pengepul rongsokan di sebuah kota. Fakta ini menunjukkan konsumsi miras di masyarakat setiap harinya. Siapa yang peduli dengan semua ini? Sangat mudah bagi kita untuk mengatakan bahwa keluarga adalah benteng, peran orang tua dan guru sangat penting dalam mencegah anak-anak terpengaruh mirasantika (pinjam istilah Rhoma Irama), namun ketika tidak ada benteng dari negara dengan tidak adanya pengamanan (dan celakanya aparatur malah terlibat dalam peredaram mirasantika), sampai kapan keluarga akan berdaya?

Pimpinan nasional yang seharusnya menjadi teladan dan figur bagi rakyatnya telah tergelincir dalam putusan yang mengecewakan bagi elemen bangsa (dan juga keluarga-keluarga) yang punya komitmen tinggi menumpas segala kejahatan narkoba. Apa pun rasionalisasinya, seperti alasan "kita kan sering minta pengampunan untuk warga negara kita yang diputus mati di luar negeri, maka kita pun memberikan pengampunan atau grasi" sungguh tidak bisa diterima oleh hati nurani dan akal sehat saya. Sungguh mengherankan bahwa seorang presiden dengan pemberian grasi Ola seperti tidak punya sensitifitas tinggi. Makanya masuk akal kalau seorang Mahfud MD berkomentar, "jangan-jangan benar dugaan bahwa mafia narkoba telah memasuki kalangan istana".

Anak saya yang paling kecil, kelas 7 SMP, pun sampai berujar "lha bagaimana sih... jelas-jelas penjahat kok dikasih ampunan, hukum mati ya mati aja.... narkoba bahaya sekali mbok...". 







Rhoma Irama dan "Partai Dangdut Indonesia"

Rhoma Irama nyalon presiden? Ah yang bener aja.... Siapa yang akan mengusung? PDI = Partai Dangdut Indonesia? atau PTI = Partai Terlalu Ih....

Adalah hak warga negara untuk dicalonkan dan mencalonkan diri, inilah demokrasi. Namun kok ya ada rasa yang aneh (kalau bukan 'rasa yang tertinggal') kalau seorang Rhoma sampai nyalon presiden. Ini menjadikan politik mengarah pada semacam lelucon. Ya lelucon, karena semestinya proses politik termasuk pencalonan presiden punya fatsoen sendiri, Karena lelucon maka tidak perlu ditanggapi serius bukan?

Ah... tapi Rhoma Irama memang terbukti pemberani. Beberapa lagu-lagunya di jaman orde baru sarat kirik seperti Adu Domba, Pembaruan, dan lain-2.  Salah satu syairnya mengkritik disparitas kaya-miskin yang makin melebar. "yang kaya makin kaya... yang miskin makin miskin..." itu kritik Rhoma dalam salah satu lagunya yang judulnya saya lupa. Karena kritik dan aktifitas politiknya dulu Rhoma Irama pernah dicekal untuk pentas dan masuk TVRI (satu-satunya TV ketika Orde Baru dulu).

Tapi kali ini keberanian Rhoma mengesankan bahwa dia tidak tahu diri ya.... (ini rasa yang saya sebut aneh dan teringgal kalau tidak dituliskan di sini). Lha waktu membela Foke saja dia kalah. Kalau memang pengikut dia banyak dan militan (sebagaimana dikatakan ormas Wasiat), mestinya Foke menang karena pengikut Rhoma akan ikut pilihan Rhoma. Nyatanya? Ini fakta yang baru beberapa bulan lalu terjadi.

Saya pencinta dangdut, menyukai lagu-lagu Rhoma Irama bahkan sejak lagu-lagu yang diproduksi di tahun 1970-an. Kalau pulang kampung kondangan, 'operator' sound system yang bernama Tarwad yang sering 'ditanggap' sohibul hajat akan memutarkan lagu-lagu Rhoma Irama untuk saya. Karena pernah beberapa waktu lalu saya menyanyikan lagu "Air Mata Darah" dalam resepsi pitulasan di depan balai desa, maka lagu itu tanpa saya minta langsung diputar oleh mas Tarwad begitu saya datang di kondangan. (Tarwad adalah pemilik seperangkat sound system yang laris ditanggap oleh warga yang hajatan baik khitanan maupun mantu, dia mewarisi kakeknya sejak masih memakai media piringan hitam hingga saat ini sudah memakai MP3. Ciri khas Tarwad adalah selalu memutar lagu-lagu lama).

Namun mencintai dangdut dan menyukai lagu-lagu Rhoma Irama adalah hal yang berbeda dengan memilih presiden. Peminat dangdut (anggota "Partai Dangdut Indonesia") bukanlah manusia bodoh yang bisa diacak-acak logika politiknya. Jadi, pencalonan Rhoma Irama mudah-mudahan tidak serius dan memang berniat membuat lelucon meramaikan jagat politik Indonesia yang sudah hiruk pikuk.

Grasi Ola dan hak hidup bebas dari (ancaman) narkoba

Ingin menghindari menulis soal sosial politik, namun kasus-kasus di tanah air akhir-akhir ini membuat gatal untuk menuangkan pendapat tentang soal-soal sosial politik ini, Salah satunya adalah soal pemberian grasi oleh Presiden SBY kepada terpidana mati kasus narkoba Meirika Franola alias Ola.

Pemberian grasi benar adalah kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Namun yang membuat geram adalah kenapa grasi mesti diberikan kepada gembong narkoba yang dalam kampanye-2 dikatakan sebagai barang yang membahayakan masa depan generasi muda? Apa artinya Denny Indrayana (Wamenkumham) bersama BNN tlasap-tlusup ke LAPAS di tanah air untuk membongkar mafia peredaran narkoba dari balik jeruji LAPAS kalau pada akhirnya ada 'pengampunan' bagi salah satu gembong-nya? Ini menjadi langkah yang kelihatan kontradiktif.

Okelah, secara legal konstitusional Presiden bisa menganulir hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup didasarkan atas pertimbangan kemanusian dan Hak Asasi Manusia. Ini sejalan dengan dengan konstitusi dan norma HAM internasional. Namun hakim yang memutuskan vonis mati juga pastilah sudah berdasarkan undang-undang. Artinya sah dan legal juga. Persoalannya adalah sebagaimana Mahfud MD geram pada pemberian grasi ini, apakah motif sebenarnya dari pemberian grasi ini? Apakah semata-mata alasan kemanusiaan? Lalu bagaimana dengan korban yang berjatuhan akibat dari pemakaian narkoba ini, yang tentunya berasal dari aktifitas transaksional narkoba oleh sang gembong?

Mestinya tidak hanya legal formal yang dikedepankan, namun masa depan generasi muda bangsa ini yang lebih dikedepankan. Konstitusi (UUD 1945 pasal 28A dan pasal  28I ayat 1) mengakui dengan tegas bahwa hak hidup setiap orang adalah hak asasi paling fundamental yang harus dilindungi dan dihormati serta tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non derogable right).  Namun demi hak hidup seorang OLA haruskah mengebiri hak hidup berjuta orang untuk bebas dari ancaman kematian karena narkoba yang diedarkannya? apalagi konon OLA masih melakukan aktifitas transaksional menurut berita-2 yang dilansir media. Kata para ahli penegakan hukum itu harus paralel dengan penegakan keadilan. Orang mencari keadilan lewat proses hukum, nah kalau hukum dirasakan tidak adil apakah masih disebut sebagai hukum?


Pemberian grasi ini bisa jadi akan membangkitkan 'moril' para pengedar, kurir, bahkan pemakai yang merasa "ah, presiden juga mengampuni pengedar narkoba kok...". Kegeraman Mahfud MD sangat bisa dipahami, sekalipun ketua MK ini berargumen dari sisi perlunya 'akuntabilitas publik' di balik alasan pemberian grasi ini, seperti siapa yang mengusulkan (karena MA toh tidak merekomendasi), apa alasan-alasan pokoknya, namun saya yakin kegeraman Mahfud MD salah satunya disebabkan keprihatinan akan betapa bahayanya narkoba ini. Dalam obrolan di warung kopi, di pantry, di ruang-ruang terbatas publik, timbul pertanyaan-2 bagaimana mungkin presiden bisa memberikan grasi kepada gembong narkoba, lalu apa artinya kampanye-2 di sekolah, di spanduk-2, aktifitas BNN, kerja polisi mencegah dan memburu kejahatan ini kalau pada akhirnya ada pemberian grasi ini?

Konsistensi. Ini yang tidak ada dalam upaya-upaya menuju Indonesia yang lebih baik.