Jumat, 16 November 2012

Grasi Ola dan hak hidup bebas dari (ancaman) narkoba

Ingin menghindari menulis soal sosial politik, namun kasus-kasus di tanah air akhir-akhir ini membuat gatal untuk menuangkan pendapat tentang soal-soal sosial politik ini, Salah satunya adalah soal pemberian grasi oleh Presiden SBY kepada terpidana mati kasus narkoba Meirika Franola alias Ola.

Pemberian grasi benar adalah kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Namun yang membuat geram adalah kenapa grasi mesti diberikan kepada gembong narkoba yang dalam kampanye-2 dikatakan sebagai barang yang membahayakan masa depan generasi muda? Apa artinya Denny Indrayana (Wamenkumham) bersama BNN tlasap-tlusup ke LAPAS di tanah air untuk membongkar mafia peredaran narkoba dari balik jeruji LAPAS kalau pada akhirnya ada 'pengampunan' bagi salah satu gembong-nya? Ini menjadi langkah yang kelihatan kontradiktif.

Okelah, secara legal konstitusional Presiden bisa menganulir hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup didasarkan atas pertimbangan kemanusian dan Hak Asasi Manusia. Ini sejalan dengan dengan konstitusi dan norma HAM internasional. Namun hakim yang memutuskan vonis mati juga pastilah sudah berdasarkan undang-undang. Artinya sah dan legal juga. Persoalannya adalah sebagaimana Mahfud MD geram pada pemberian grasi ini, apakah motif sebenarnya dari pemberian grasi ini? Apakah semata-mata alasan kemanusiaan? Lalu bagaimana dengan korban yang berjatuhan akibat dari pemakaian narkoba ini, yang tentunya berasal dari aktifitas transaksional narkoba oleh sang gembong?

Mestinya tidak hanya legal formal yang dikedepankan, namun masa depan generasi muda bangsa ini yang lebih dikedepankan. Konstitusi (UUD 1945 pasal 28A dan pasal  28I ayat 1) mengakui dengan tegas bahwa hak hidup setiap orang adalah hak asasi paling fundamental yang harus dilindungi dan dihormati serta tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non derogable right).  Namun demi hak hidup seorang OLA haruskah mengebiri hak hidup berjuta orang untuk bebas dari ancaman kematian karena narkoba yang diedarkannya? apalagi konon OLA masih melakukan aktifitas transaksional menurut berita-2 yang dilansir media. Kata para ahli penegakan hukum itu harus paralel dengan penegakan keadilan. Orang mencari keadilan lewat proses hukum, nah kalau hukum dirasakan tidak adil apakah masih disebut sebagai hukum?


Pemberian grasi ini bisa jadi akan membangkitkan 'moril' para pengedar, kurir, bahkan pemakai yang merasa "ah, presiden juga mengampuni pengedar narkoba kok...". Kegeraman Mahfud MD sangat bisa dipahami, sekalipun ketua MK ini berargumen dari sisi perlunya 'akuntabilitas publik' di balik alasan pemberian grasi ini, seperti siapa yang mengusulkan (karena MA toh tidak merekomendasi), apa alasan-alasan pokoknya, namun saya yakin kegeraman Mahfud MD salah satunya disebabkan keprihatinan akan betapa bahayanya narkoba ini. Dalam obrolan di warung kopi, di pantry, di ruang-ruang terbatas publik, timbul pertanyaan-2 bagaimana mungkin presiden bisa memberikan grasi kepada gembong narkoba, lalu apa artinya kampanye-2 di sekolah, di spanduk-2, aktifitas BNN, kerja polisi mencegah dan memburu kejahatan ini kalau pada akhirnya ada pemberian grasi ini?

Konsistensi. Ini yang tidak ada dalam upaya-upaya menuju Indonesia yang lebih baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar