Jumat, 16 November 2012

Lagi, tentang pemberian grasi Ola dan peredaran mirasantika

Kira-kira pukul 18.30-an kemarin saya posting soal pemberian grasi kepada Ola yang bisa jadi akan meningkatkan 'moril' pengedar, pemakai dan siapa pun yang terlibat dalam peredaran narkoba... Sebentar kemudian menonton TV. Dan.... betapa miris dan prihatin, di berita malam TV One ada diskusi tokoh-tokoh BNN, polisi dan mantan hakim soal pengeroyokan Briptu Joko oleh beberapa oknum TNI dan polisi di Pakanbaru, Riau. Dan menurut detik.com :  http://news.detik.com/read/2012/11/13/161024/2090602/10/joko-dieksekusi-8-orang-kapolresta-pekanbaru-diduga-terkait-narkoba?nd771108bcj kasus ini terkait narkoba. Diberitakan pula para pengeroyok Joko dari tes urine yang dilakukan positif mengkonsumsi narkoba. Na'udzubillahi mindzalik...

Sungguh memprihatinkan. Narkoba telah memasuki semua segment dan instansi. Polisi, TNI, hakim, anggota legislatif, eksekutif, PNS, wartawan tak luput dari incaran para pengedar. Jangan tanya remaja dan mahasiswa. Juga di pedesaan-2 yang jauh dari pantauan aparat keamanan, narkoba dalam ragam jenis sudah menjadi hantu yang seharusnya menakutkan bagi masa depan negeri ini. Belum lagi peredaran miras yang sekalipun daerah-2 memiliki peraturan daerah (perda) yang mengatur peredaran miras, namun dalam prakteknya sangat mudah dan dalam jarak yang dekat orang bisa membeli miras. Dan seperti gosip yang beredar, sejumlah oknum memback-up distribusi ini. Tidak pernah ada operasi miras yang berhasil, karena sebelum sampai ke TKP sudah bocor dulu sehingga barang-2 haram sudah disingkirkan.

Saya pernah melihat di lapak pengepul barang rongsokan, dimana di situ ditampung juga botol-botol dari berbagai jenis, sungguh mencengangkan bahwa dari para pemulung setiap harinya bisa terkumpul beberapa karung botol minuman keras. Itu hanya satu dari banyak pengepul rongsokan di sebuah kota. Fakta ini menunjukkan konsumsi miras di masyarakat setiap harinya. Siapa yang peduli dengan semua ini? Sangat mudah bagi kita untuk mengatakan bahwa keluarga adalah benteng, peran orang tua dan guru sangat penting dalam mencegah anak-anak terpengaruh mirasantika (pinjam istilah Rhoma Irama), namun ketika tidak ada benteng dari negara dengan tidak adanya pengamanan (dan celakanya aparatur malah terlibat dalam peredaram mirasantika), sampai kapan keluarga akan berdaya?

Pimpinan nasional yang seharusnya menjadi teladan dan figur bagi rakyatnya telah tergelincir dalam putusan yang mengecewakan bagi elemen bangsa (dan juga keluarga-keluarga) yang punya komitmen tinggi menumpas segala kejahatan narkoba. Apa pun rasionalisasinya, seperti alasan "kita kan sering minta pengampunan untuk warga negara kita yang diputus mati di luar negeri, maka kita pun memberikan pengampunan atau grasi" sungguh tidak bisa diterima oleh hati nurani dan akal sehat saya. Sungguh mengherankan bahwa seorang presiden dengan pemberian grasi Ola seperti tidak punya sensitifitas tinggi. Makanya masuk akal kalau seorang Mahfud MD berkomentar, "jangan-jangan benar dugaan bahwa mafia narkoba telah memasuki kalangan istana".

Anak saya yang paling kecil, kelas 7 SMP, pun sampai berujar "lha bagaimana sih... jelas-jelas penjahat kok dikasih ampunan, hukum mati ya mati aja.... narkoba bahaya sekali mbok...". 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar