Sabtu, 03 Desember 2011

Bandar Lampung dan memori "Butir-butir Pasir di Laut"

Perjalanan ke Bandar Lampung termasuk perjalanan yang saya impikan sejak lama. Pasalnya nama Bandar Lampung jaman dulu, yaitu Tanjung Karang (dipisah atau digandeng?), sudah sangat akrab sejak kecil, saat  masih SD - SMP. Keakraban nama kota itu karena sering saya 'menyeetel' gelombang radio RRI Tanjungkarang, terutama serial sandiwara radio "Butir-butir Pasir di Laut" dengan bintang radio Olan Sitompul dan Hastin Atas Asih (bener gak ya menulisnya, dengernya begitu sih), yang suaranya sangat  khas. Biasanya disetel menjelang warta  berita  jam19.00 (tepatnya lupa jam berapa). Juga siaran pedesaan yang berisi siaran petunjuk teknis pertanian (kalau ini bapak-ku yang rajin mendengarkan).

Yang mengherankan gelombang SW RRI Tanjungkarang sangat jelas diterima di kampung saya, Galuhtimur, Tonjong, Brebes, dari sebuah radio merk Phillips dengan tenaga  batu  baterai 4 biji @1,5 volt. Ya.... pakai batu baterai karena listrik belum masuk desa saya saat  itu.

Ikon Lampung
Bandar Lampung saat masih SD pada pelajaran ilmu bumi belum dikenal. Yang dihapal saat pelajaran peta buta adalah kota-kota Panjang (pelabuhan), Teluk Betung dan Tanjung Karang sebagai ibu kota propinsi Lampung. Gambar peta ujung Pulau Sumatera yang seperti kepala ikan itu sangat saya hapal. Karenanya kesempatan pergi ke Bandar Lampung menjadi sangat unik karena menjadi pembuktian dengan mata kepala, melihat secara nyata kota-2 yang sudah akrab didengar sejak kecil itu.

Saya memilihi perjalanan Jakarta Merak dengan bus umum, karena kalau dengan pesawat tidak akan bisa mengalami sensasi menyeberang dengan feri. Dari pemberhentian bus Kebonjeruk ke Merak menggunakan bus Primajasa. Sampai di pelabuhan penyeberangan senja menjelang maghrib,  situasinya aman-aman saja --tidak seperti yang pernah diceritakan orang-2. Sejak turun dari bus, pembelian tiket kapal feri, naik kapal dan sampai tiba di Bakauheni berjalan lancar. Tidak ada insiden yang menakutkan. Saya nilai interkoneksi antara moda transportasi darat dan laut di pelabuhan penyeberangan Merak ini sangat baik. Pemberhentian bus dengan dermaga tidak jauh. Papan penunjuk yang ada pun jelas.

Sampai di Bakauheni sekitar jam 20.00an, masih ada bus dari terminal Bakauheuni menuju Bandarlampung. Namun melihat kondisi bus-nya yang kurang bagus (non AC dan tua), saya lebih memilih naik 'travel' plat hitam yang mangkal di luar terminal Bakauheni. Yang menawarkan travel ini seorang pengojek yang rupanya mendapat tips dari sopir travel. Menunggu agak lama (sekitar  1 jam) untuk menunggu mobil Inova minimal terisi 6 penumpang, saya sempatkan untuk minum kopi di lapak pedagang kaki lima di situ. Angin pantai mengiris kulit... hmmm untung membawa jaket. Perjalanan malam menuju hotel di Bandar Lampung tidak memungkinkan saya mengamati keadaan sekeliling jalan yang dilalui.

MIRIP
Kota-kota di Indonesia umumnya berkembang hampir mirip. Ini bisa dilihat dari 'tampak luar' bangunan seperti ruko, mall, hotel. yang dibangun dengan model arstektur yang hampir sama. Tak terkecuali Bandarlampung. Yang terlihat berbeda saya lihat di Rantepao, Tana Toraja, dimana bangunan hotel masih mengadopsi ciri khas bangunan setempat. Mungkin ada yang khas juga di kota lain yang belum pernah saya kunjungi.

Di Bandarlampung saya sempatkan berkeliling hingga Teluk Betung, kota yang kelihatannya tua, tampak dari bangunan-2 yang tersisa. Bandarlampung dan Telukbetung ternyata 'nggandeng', karena memang menjadi bagian dari Kota Bandarlampung. Tak lupa mampir ke tempat makan 'pempek' yang cukup terkenal di jalur Bandarlampung - Telukbetung. Juga tentunya oleh-oleh khas Lampung: kopi dan aneka keripik pisang.

Sekian.... Tanjung Karang, Bandar Lampung .... mengingatkan pada Butir butir Pasit di Laut.
Area Bisnis Bandarlampung








Perbukitan yang akan menjadi pemukiman?









Jumat, 02 Desember 2011

Universal Studio - industri kreatif Singapura

Universal Studio menjadi salah satu daya tarik Singapura. Tulisan ini semata ingin menunjukkan bagaimana pengelolaan obyek wisata dilakukan profesional. Universal Studio kesan saya menampilkan miniatur berbagai peradaban baik kuno dan modern, fantasi maupun faktual. Gabungan masa lalu dan masa kini, tradisional dan modern, imajinasi dan realita. The lost world, jurassic park, shrak (maaf kalau salah tulis) adalah fantasi-fantasi masa lalu dan juga masa kini. Spink, piramida adalah bagian peradaban masa lalu, namun Hollywood dan New York adalah ciri kemodernan.

Bersih adalah ciri utama Singapura, tak terkecuali Universal Studio. Keteraturan dan disipin juga tercermin di sini. Satu pengalaman unik, ketika seorang teman mencoba menjual tiket lebih (karena beberapa orang anggota rombongan tidak jadi berangkat ke Universal Studio dan tiket sudah dibeli jauh hari sebelumnya) kepada calon pengunjung lain, ketika sedang menawarkan tiket dengan diskon kepada orang Malaysia, begitu ketahuan oleh petugas langsung diingatkan untuk membeli tiket di loket resmi. Percaloan dilarang.... dan temanku tersipu malu. "Ketahuan kalau Indonesia banget" (he3.... maaf jangan ada yang tersinggung ya, ini fakta bahwa di negeri kita praktek percaloan masih ada, dan saya setuju itu bukan praktek yang baik).

Universal Studio adalah bagian dari indutri kreatif Singapura saya kira. Ketika negeri ini tidak punya keindahan alam (pantai, gunung, gua) untuk dijual kepada wisatawan, atau peninggalan sejarah monumental (seperti candi, bangunan kuno, situs,dll) maka membuat bangunan baru dengen mengimitasi peradaban dunia adalah pilihan tepat. Sama seperti kreatifitas Singapura  menggelar balapan F1 di jalanan kota Singapura. Tidak perlu membangun sirkuit, karena lahan yang  terbatas, namun  highway disulap menjadi track balapan yang tersohor ke seluruh penjuru dunia, dan penggila balapan datang ke negara  kota  ini. Selain tentunya menjadi sangat  terkenal karena F1  disiarkan televisi ke seluruh dunia.

Tanpa kehilangan kecintaan pada negeri sendiri Indonesia, kita tidak perlu malu belajar  hal yang baik dari negeri tetangga.... (awal Des 2011)