Minggu, 15 April 2012

Menginjak ribuan bantalan rel tiap hari, demi 'menghilangkan kebodohan'

Setiap kereta akan melewati jalur (track) antara stasiun Bumiayu menuju stasiun Linggapura, Kab Brebes, Jawa Tengah,  dalam perjalanan ke Jakarta dari Purwokerto,  saya selalu  ingin berada di bordes, untuk bisa leluasa melihat kanan-kiri pemandangan di sepanjang jalur itu dari balik kaca pintu. Apakah ada yang berubah dari 32 tahun lalu, apakah hutan jati dan sono keling masih rimbun di kanan kiri jalur itu.

Ya antara tahun lalu 78-80, rel kereta api yang membelah Galuhtimur,  desa kelahiran saya, menuju ke Tonjong (tepatnya stasiun Linggapura -entah kenapa dinamai stasiun L:inggapura, padahal lokasinya di desa Tonjong)  menjadi saksi bisu ketika setiap pagi harus berjalan 'menghitung bantalan rel' menuju sekolah SMP Pemda Tonjong. Jaraknya sekitar  3 km. Kalau jarak antar bantalan 1 mtr (pasti kurang sih) maka jumlah bantalan yang saya injak dalam sehari minimal 6000 (enam  ribu) bantalan (pulang-pergi). Kalau dikalikan jumlah hari selama bersekolah di SMP, berapa kali menginjak bantalan rel? He..he...

Ketika itu bantalan rel masih terbuat dari besi baja, bila hujan licin dan kalau siang hari panas karena terkena sinar matahari. Bantalan kemudian diganti dengan bantalan kayu, dan kini sejak beberapa tahun lalu berganti menjadi bantalan terbuat dari beton.

Tak terbayangkan kalau itu dilakukan hari ini, ketika transportasi sudah lebih mudah dengan dibangunnya infra struktur jalan raya Galuhtimur - Kaligadung. Ketika saya SMP, jalan itu masih berupa jalan tanah, sebagian berupa jalan batu yang tidak tertata. Tidak ada angkutan mobil. Sesekali ada mobil masuk ke kampung kami, yaitu mobil Pak Camat yang harus pelan-pelan melewati jalan yang 'pating gricul' (tidak rata dengan batu pecah tidak rata).

Dan kalau mengukur semangat kala itu, kalau dikenang sekarang, sungguh luar biasa. Berjalan sejauh 3 km setiap hari menuju sekolah! Apalagi, tidak hanya berjalan di atas rel yang antara dua rel ada batuan kerikil penyangga rel, namun harus menyeberang jembatan kereta dengan rongga menganga di antara bantalan. Kalau terpeleset, ya jatuh ke sungai penuh batu besar (tentu saja keras, karena bukan 'apem') dengan ketinggian lebih dari 20 meter.

Kok bisa ya melakukan semua itu?!

Ada tiga jembatan yang harus dilalui untuk sampai  ke Tonjong. Pertama jembatan Kali Belang (lihat posting tentang jembatan peninggalan Belanda ini); jembatan Kali Glagah, dan jembatan Kali Kalong. Jembatan Kali Belang tidak menantang, karena ada jembatan kedua di bawahnya yang dibuat khusus untuk dilewati orang. Yang menantang dan beresiko tinggi jembatan Kali Glagah dan Kali Kalong.

Menyeberang dua jembatan itu, telapak kaki kita harus meninginjak tepat di bantalan dengan seimbang, kalau terlalu ke depan atau ke belakang, bisa terpeleset dan terjatuh ke sungai. Jembatan Kali Glagah cukup panjang, mungkin lebih dari 50 meter, kali kalong sekitar 20 meter. Yang paling menakutkan kalau malam sebelumya  turun hujan, bantalan basah dan licin. Kelicinan bertambah kalau ada olie dari mesin loko yang menetes. Kalau kondisi sangat licin, kami memilih turun lewat jalan setapak, kemudian menyeberangi sungai, melepas sepatu dan melompat dengan pijakan batu untuk menghindari kedalaman sungai. Jembatan Kali Glagah ini pernah memakan korban, seorang pelajar (kakak angkatan saya) terjatuh karena terpeleset saat menyeberang. Untuk menambah kepercayaan diri, kami kadang berjalan bergandengan tangan dengan teman. Atau kalau ada yang lebih tua, biasanya yang tua menggandeng yang lebih muda.

Resiko lainnya saat menyeberang jembatan, adalah kalau ada kereta yang lewat.... hmmm, harus punya pendengaran yang kuat. Kami harus buka telinga lebar-lebar dulu, adakah gemuruh suara kereta yang biasanya sudah terdengar walaupun masih jauh. Kalau tidak ada suara ... "oh berarti tidak segera akan ada kereta yang lewat, maka berani menyeberang". Tapi sebaliknya kalau ada suara gemuruh yang terdengar, sekalipun lamat-lamat penyeberangan harus ditunda sampai kereta lewat.

Setiap hari kami harus berjalan cepat kalau tidak ingin terlambat masuk kelas dan disetrap Pak Guru. Sampai di sekolah berpeluh keringat dan tentu saja bau tak sedap, tapi kami tak pedulikan. Teman-2 dari Tonjong dan Linggapura yang dekat dengan sekolah pun tampak maklum, kami orang desa dari pinggiran ini memang harus berkeringat.

Tidak hanya para pelajar yang harus berjalan pulang pergi sejauh 3 km demi menuntut ilmu 'ngilangna kebodohan', tapi juga para petani dan pedagang sayur-mayur, dan pemilik warung yang harus setiap hari bolak-balik Galuhtimur-Tonjong dengan berjalan kaki. Petani menjual hasil bumi (jagung, singkong, melinjo, kacang tanah, dll) ke pasar prapatan Tonjong, ada juga yang dipool oleh pedagang sayur mayur (terutama daun so/melinjo), sedangkan pemilik warung kebutuhan sehari-hari mesti kulakan setiap hari. Ada pula penjual kayu bakar yang harus memikul dua gulungan ikat kayu untuk  dijajakan di sekitar pasar Tonjong. Tapi para penjual kayu bakar ini biasanya berangkat lebih pagi (habis subuh), dan ketika pulang berpapasan dengan kami para pelajar.

Mungkin karena jarak tempuh yang jauh, jumlah anak yang melanjutan sekolah setelah lulus SD/MI bisa dihitung dengan jari. Pun generasi angkatan saya. Dari 11 teman yang lulus SD di angkatan saya, hanya 6 yang melanjutkan ke SMP, namun seingat saya yang 2 DO. Jadi hanya 4 yang sampai lulus. Dari 4 teman ini, 2 sampai jenjang SMA dan 2 tamat  PT (saya dan M Najib Ronas, lulusan Fak Teknologi Tekstil UII, kini pengusaha di Bandung). Jadi bisa dibayangkan tingkat pendidikan penduduk desa kami saat itu.

Kenapa dulu dari kampung kami ada sedikit anak-anak, termasuk saya, yang mau berpeluh keringat setiap hari pergi ke sekolah? -- Kalau pulang matahari masih belum jauh berada di atas ubun-ubun, panasnya jangan ditanya. Kalau hujan pasti kehujanan dan harus meneruskan perjalanan karena sepanjang jalur rel tidak ada 'tempat berteduh'. Tidak ada kampung atau rumah penduduk di pinggir rel antara Galhtimur - Tonjong. Saat itu kami tidak pernah bertanya, mengapa dan kenapa mau seperti itu (capai-capai berkeringat) saban hari?

Ketika ada omongan-2 yang menggoda 'Arep dadi apa sekolah duwur-duwur?' (Mau jadi apa sekolah tinggi-tinggi), kami hanya nyengir dan 'he..he...he...'. Hanya menggumam dan tidak bisa mendebat. Hanya saja saya ingat, masa-masa itu membayangkan suatu saat kelak bisa menyandang predikat 'mahasiswa'. Kata 'mahasiswa' kedengarannya sangat keren untuk ukuran saya yang tinggal di kampung saat itu. Pasalnya ada satu orang dari kampung kami yang di akhir dekade 70-an menyandang status itu (kuliahnya di Universitas Brawijaya Malang), yang kalau pulang ke kampung mengenakan jaket kebesarannya yang terlihat sangat keren. Tidak hanya itu, ia juga terlibat dalam aktifitas politik, dan berkampanye (Pemilu '77) untuk sebuah partai di jaman Orba. Kalau mau berangkat kampanye ia dijemput dengan mobil (walaupun mobil masuk ke kampung kami saat itu harus bersusah payah, karena jalan belum diaspal). Kelihatan sangat dihargai dan hebat sekali orang yang menyandang status 'mahasiswa'.

Kalau ada pertanyaan yang ditujukan kepada orang tua kami dari orang-orang yang masih berfikir 'eman-eman' mengeluarkan biaya untuk pendidikan anak, jawabnya tidak berbelit-belit, atau mencari-cari alasan yang logis (atau dilogis-logiskan).

Contohnya pertanyaan: "Angger nggo tuku kebo... biaya nyekolahna bocah wis olih pira kuwe.." (Kalau dibelikan kerbau biaya untuk menyekolahkan anak dapat berapa ekor itu?). Orang tua kami setahu saya tidak pernah mendebat atau menyampaikan alasan-2 yang logis, karena ayah saya sekolah hanya SR (itu pun tidak berijazah setahu saya, tapi tulisan latinnya mirip-2 tulisan Bung Karno) dan ibu saya bahkan buta huruf (kalau angka masih mengerti). Paling-paling hanya menjawab, "Niate ngilangna kebodohan" (Niatnya menghilangkan kebodohan).

Tidak berfikir sama sekali "supaya jadi ini... jadi itu... dll", karena membayangkan 'suatu profesi' saja kayaknya tidak bisa bagi orang tua kami. "Sing penting dadi wong sing pinter, dadi apa-apa tah apa mbesuke bae" (Yang penting jadi orang yang pintar, jadi apa nanti pekerjaannya itu urusan kelak).

Jadi tidak perlu bertele-tele menjawab 'mengapa dan kenapa'... tapi 'jalani saja dengan sungguh-sungguh dan niatnya ikhlas'. Begitu mungkin prinsip orang tua kami. Dan bagi kami para pelajar saat itu, bisakah disebut (bagian dari) telah 'full tilt' dalam meraih sesuatu?
Jembatan Kali Belang dekat kampung kami 

Di jembatan Kali Belang bisa lewat atas dg aman (atas)

                  di Jembatan Kali Belang kita bisa lewat bawah (jembatan dari kayu, ini gambar 3 tahun lalu)
ilustrasi : bantalan rel yang tiap hari harus dilalui

Menyeberang jembatan kereta seperti ini yang harus dilakoni tapi dengan type jembatan spt di bawah ini (tidak ada besi baja di kanan / kiri):


Ilustrasi: jembatan Kali Keruh yang tiang-2nya mirip jembatan Kali Glagah (foto dari blog anaksastraunida)






1 komentar:

  1. Sungguh terenyuh bacanya Pak, salut dengan Pak Puad.

    Salam kenal dari saya, anak kampung dari Pamijen, Tonjong

    Semua akan indah pada saatnya, :)

    BalasHapus