Sabtu, 01 Desember 2012

Kepemimpinan Jokowi dan kharisma yang tidak bisa dibeli

Pagi ini (2/12/12) tanpa sengaja menyaksikan 'blusukan' Jokowi ke sekolah-sekolah membagikan Kartu Jakarta Pintar (KJP), di sebuah acara infotainment televisi. KJP ini menurut info yang saya baca adalah  sejenis ATM yang bisa akses ke ATM Bank DKI yang digunakan oleh mereka yang mendapat bantuan pemprov DKI. Bantuan untuk penerima akan ditransfer (pindahbukukan) melalui rekening tiap bulan dan si penerima mengambil uangnya di ATM. Ini terobosan yang luar biasa, karena dana bantuan langsung di-akses oleh si penerima, tanpa melalui perantara birokrasi, sehingga bantuan tidak bisa 'disunat'. Dari segi biaya, memang akan timbul biaya pencetakan kartu, penyediaan ATM Bank DKI yang mungkin harus ditambah, dll. Tapi inilah harga yang harus dibayar untuk pencegahan korupsi dan lebih menjamin bantuan diterima oleh warga.

"Blusukan" Jokowi seperti dikatakan sendiri bukan main-main. Sekalipun mendapat kritik antara lain dari mantan Gubernur DKI Sutoyoso, Jokowi terus saja blusukan ke kampung-kampung di Jakarta. Dia ingin mendengar langsung dari rakyat permasalahan yang dihadapi. Pengalaman sebelumnya di birokrasi mungkin membuat dia 'kapok' menerima laporan hanya dari staf yang tidak valid dan melaporkan yang baik-baik saja (ABS). Nah kesukaan Jokowi 'blusukan' ini yang membuat acara infotainment pun tergerak untuk menayangkan kegiatan JOKOWI. Kalau biasanya infotaniment memberitakan yang terkait politik hanya sebatas pada pemberitaan artis yang terjun di politik, misalnya pemberitaan Angelia Sondakh dalam kasus korupsi atau Rhoma Irama yang ingin nyapres, ini lain dari biasanya. Seorang JOKOWI yang bukan berasal dari artis masuk berita infotaiment.

Menurut saya ini karena kharisma Jokowi yang hebat. Ya hebat di tengah krisis (ketiadaan) pemimpin yang mau berbaur, mau nyambangi rakyat, mau mendengar langsung derita rakyat, dan kesederhanaan yang ditampilkan telah sedikit memberi harapan akan "kepemimpinan yang seharusnya". JOKOWI adalah oase. Bagaimana dia mau berdesak-desakan dengan warga, meninjau langsung banjir, kampung kumuh, pengapnya angkutan umum adalah aktifitas yang langka seorang pejabat negeri ini. Bagi yang apriori, ini akan dinilai sebagai pencitraan, apalagi yang dilakukan pada saat kampanye. Tapi terbukti ketika sudah menjabat pun Jokowi tetap saja blusukan. Nah kegiatan yang tidak main-main ini menjadikan kharisma tersendiri bagi Jokowi. Peran media pastilah ada dalam menyebarluaskan aktifitas Jokowi ini, tapi tetap saja 'perasaan publik' berbeda kalau bukan karena kesungguhan dari Jokowi sendiri.

(Jokowi membedakan dengan pejabat yang dalam kunjungan ke daerah-daerah anak-anak sekolah dan warga berbaris di pinggir-pinggir jalan, melambaikan bendera saat pejabat itu lewat, diiringi voorrjder, dengan pegawalan ketat. Penuh protokoler, formalistik dan berkesan tidak tulus)

Kita lihat betapa para pemimpin politik dan calon pemimpin lainnya berusaha membangun citranya dengan memasang baliho dimana-mana, dicitrakan pro UKM, sering tampil di acara-acara TV (yang sebelumnya bukan merupakan kegiatan rutinnya), iklan radio/TV dan liputan-liputan media yang memang diarahkan untuk semakin menonjolkan popularitas calon pemimpin ini. Di belakangnya pastilah para ahli / konsultan media mengatur sedemikian rupa dengan target dan analisis tertentu. Tapi apakah pencitraan demikian akan mengena di hati rakyat? Apakah 'perasaan publik' akan 'ikhlas' menerima pemimpin yang by design dibesarkan media? Bukan besar dari dirinya sendiri?

Saya jadi ingat pepatah "kharisma tidak bisa dibeli". Apalagi kharisma pemimpin atau mereka yang ingin jadi pemimpin. Secara guyon teman saya berkata: ada kharisma yang bisa dibeli yaitu 'H*nda kharisma' (hmm... ini kan merk motor).

MP 02-Des-12 (foto:  poskota.com)

1 komentar: