Kamis, 17 Juli 2014

Media massa sebagai 'pamflet politik' sang pemilik

Dalam Pilpres 2104 kita menyaksikan perbedaan penayangan hasil quick qount (QC) di antara stasiun TV. Ada yang menayangkan hasil QC yang memenangkan calon tertentu dan sebaliknya. Media sudah sangat partisan. Masyarakat umum dibuat bingung, siapa yang jujur dan siapa berbohong. Kredibilitas lembaga survey penyelenggara QC pun dipertanyakan. "Lembaga survey purchasable" alias bisa dibeli, demikian pendapat pada umumnya. Hal ini menjadikan lembaga survey yang sebenarnya kredibel ikut-ikutan tercitrakan sebagai bisa dibeli. Audit yang dilakukan Perhepi pun ada yang meragukan independensinya, mengingat afiliasi pengurusnya pada calon tertentu.

Pemihakan media TV, dan juga media online serta media cetak sudah tampak jauh sebelum release QC. Sejak masa kampanye sudah tampak keberpihakan itu. Menilik sejarah media massa di Indonesia (utamanya pers sebagai cikal bakal media massa), sejak awal kelahirannya memang berawal dari 'pamflet politik'. Namun keterlibatan media massa / pers dalam politik itu dalam pengertian yang positif: mendukung kemerdekaan Indonesia, melawan penjajahan kolonial. Begitulah makanya banyak wartawan yang kemudian menjadi 'wartawan pejuang' yang larut secara dalam, ikut 'memperjuangkan kemerdekaan'. Banyak tokoh nasional kala itu adalah sekaligus seorang jurnalis dan mengelola surat kabar.

Apa yang terjadi saat ini, media telah menjelma menjadi alat propaganda politik. Kontrol pemilik atas konten siaran sangat terasa sehingga kaidah-kaidah etika peliputan sudah diabaikan. Tidak ada niatan menghadirkan keseimbangan dalam pemberitaan. Kalau dulu sikap media (pers) dituangkan secara khusus dalam "Tajuk Rencana" atau "Editorial", maka kini baik media elektronik maupun cetak dan juga media online, banyak terjerembab dalam "keberpihakan" pada kelompok alias menjadi partisan dalam konten berita. Di dalamnya termasuk penempatan kolom, pengambilan judul, pemilihan nara sumber, dll. Obyektifitas telah dicampakkan dari dalam newsroom mereka.

Profesional media pun seperti tidak lagi bisa menyuarakan idealisme-nya. Mereka menjadi sosok-sosok yang pernah disindir oleh PK Ojong: tunduk pada kepentingan pemilik modal, dan hanya menjadi 'kuli tinta' dengan penekanan pada kata 'kuli'.

Memang seperti pernah dikatakan oleh Katherine Graham, pemilik The Washington Post, pemilik atau penerbit media (publisher) memiliki kontrol segalanya atas media yang dipublikasikan. Dari mulai judul, berita/event yang dimuat, penempatan kolom, sampai pada rekrutmen karyawannya. Namun pada jaman dulu itu dilakukan dengan tidak sangat mencolok. Ruang opini dan berita dipisahkan dalam batas yang tampak tegas. "Kita" yang menunjuk pada "saya, pemilik media" hanya ada di ruang kolom editorial.

Kini semua ruang adalah 'kita' - selalu cenderung diselaraskan dengan kepentingan pemilik, apakah sejalan dan mendukung garis politik sang pemilik. Semua kolom seakan-akan menjadi prerogratif pemilik.Kalau sudah demikian, masihkan kita perlu mendengarkan berita TV dan membaca surat kabar atau meng-klik media online? Dari mana publik akan memperoleh 'kebenaran' atau obyektifitas?

Tidak semua pembaca/pendengar (audience) memiliki kemampuan filter yang sepadan. Tidak semua memiliki daya kritis. Inilah yang seharusnya menjadi 'tanggung jawab' media agar tidak mencecoki dengan informasi salah yang disengaja, atau 'memilih-milih fakta' yang diberitakan hanya yang mendukung sikap politiknya, dengan memanfaatkan minimnya daya kritis sebagian pemirsa/pendengar/pembaca.

Lalu kontrol atas bentuk tanggung jawab itu ada pada siapa? Komisi Penyiaran Indoensia (KPI) 'kah? Konsep tentang 'kebebasan pers yang bertanggung-jawab' sepertinya mendesak dikedepankan. Namun bukan dalam pengertian masa lalu di era Orde Baru, dimana 'kebebasan yang bertanggung-jawab' (disebut sebagai pers Pancasila oleh pemerintah saat itu) berkonotasi bebas memberitakan asal tidak menyerang/mengkritik pemerintah. Tapi dalam artian sebenarnya yaitu tanggung jawab atas obyektifitas/fakta/data yang sejujurnya, dan bisa di-validasi. Tanggung jawab pers atau media pada nilai-nilai universal yang menjadi common sense masyarakat, bukan pada kepentingan pemiliknya.

Tapi kelihatanya memang sulit kita mendapatkan yang ideal, dan kita harus terbiasa melihat kenyataan ini. Tabayun (konfirmasi) kita atas informasi yang tersedia di media harus kita cari sendiri, dan ketika ketika tidak menemukan yang kita percaya menjaga obyektifitas, ya sudah diam saja sambil merenung dan bertanya dalam hati. Pada akirnya nurani kita yang menentukan informasi itu baik/buruk, salah/benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar